BALADA SWANDARU GENI
Bab 3 : Gilang Pamungkas
Babak – 10
Bab 3 : Gilang Pamungkas
Babak – 10
Sebelas burung berukuran besar yang terbang dan berbaris rapi itu mengiringi kehadiran dua orang majikannya yang berjalan di depan mereka dengan penampilan yang membuat semua orang mengerutkan keningnya.
Dua orang itu bagaikan pinang dibelah dua, berperawakan tinggi kurus tanpa baju tetapi sebagian dada serta punggungnya ditumbuhi bulu-bulu halus layaknya dada burung raksasa yang menjadi piaraannya. Tidak bisa dipastikan apakah bulu-bulu itu asli atau mungkin sekedar tempelan yang tersamarkan dengan sangat baik. Mengenakan celana ketat berwarna merah yang panjangnya sedikit dibawah lutut, sementara kedua kaki bagian bawah hingga jari-jarinya juga berwarna merah. Jika tidak jeli akan sedikit sulit melihat batas antara celana dengan kaki bagian bawahnya.
Kedua tangannya yang panjang terlihat polos tetapi kukunya terlihat sangat menonjol, meski tidak terlalu panjang tetapi kuku itu tebal dan melengkung kuat dengan warna merah menyala.
Tetapi dari semua yang terlihat aneh itu, pandangan orang pertama kali akan selalu tertuju pada wajah keduanya. Hidung kedua orang itu layaknya paruh dari burung peliharaan mereka, melengkung tajam dengan kedua lubangnya menghadap ke bawah. Sementara kedua kantong matanya di cat bulat berwarna kuning tak ubahnya mata dari burung hantu. Mulut yang melebar berwarna merah dan cenderung menyeringai seakan hendak memangsa apapun yang ada di dekatnya.
Kepala kedua orang itu dihiasi dengan semacam bulu-bulu panjang yang agaknya adalah bagian sayap atau ekor dari burung peliharaannya. Sebuah penampilan yang menunjukkan bahwa orang tersebut tidak menikmati dirinya yang terlahir sebagai manusia.
Hanya saja kedua orang itu tidak mempunyai sayap.
“Manusia burung!”, - tiba-tiba Gilang menimpali desisan Wahana.
Sambil menoleh mengamati keadaan sekeliling, PandanWangi berdesis pelan menanggapi perkataan anaknya.
“Gilang, ia hanyalah manusia biasa yang tidak pandai bersyukur. Keinginannya yang berlebihan untuk menjadi seekor burung justru akan menjauhkannya dari kelebihannya sebagai manusia”
Gilang mengerutkan keningnya, perkataan Ibundanya itu terlalu rumit dan kurang dimengertinya. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut, terlebih di sekeliling mereka tiba-tiba muncul beberapa orang yang berlari mendekat sambil berteriak-teriak keras. Jumlah mereka cukup banyak dan kini mereka berada dalam sebuah kepungan.
Seorang berumur setengah baya dengan pakaian serba hijau lumut terlihat menggerakkan tangannya beberapa kali memberi isyarat kepada anak buahnya. Tanpa berbicara lebih lanjut, tubuhnya meluncur bagaikan terbang mendekati Gilang yang berada di sisi bagian kiri. Gerakannya begitu ringan tetapi menimbulkan angin yang cukup keras dan menampar mereka yang berada di dekatnya, sementara ditangannya telah menggemggam sebatang tombak pendek yang teracu ke depan.
Kedua pedang tipis di Pandan Wangi tiba-tiba saja telah bergetar, ia siap untuk menyambut serangan orang berbaju lumut yang mengincar Gilang itu.
Tetapi orang berbaju lumut tersebut terpaksa membatalkan geraknya ditengah jalan dan dengan tergesa-gesa menggeliat kesamping ketika terdengar sebuah ledakan keras yang memapaki gerak luncurnya. Dengan muka merah padam dilihatnya Ki Widura sudah berdiri dihadapannya sambil menggenggam sebuah cambuk kecil berjuntai panjang.
Sambil tersenyum Ki Widura melangkah maju dan berkata.
“Selamat datang Ki Sanak, apakah kau yang bernama Ki Juwana?”
“Orang bercambuk!”
Wajah orang berbaju hijau lumut yang disebut bernama Ki Juwana itu terlihat kaget, ia tidak menyangka bahwa tiba-tiba muncul orang bercambuk yang ternyata sudah mengetahui namanya. Mendadak wajahnya berpaling dan memandang ke arah prajurit muda yang selama ini mengantar rombongan dari Sangkal Putung itu dengan mata yang memancarkan kemarahan.
Wajah prajurit muda dari Jati Anom yang sebelumnya bermimpi tentang istrinya yang baru melahirkan itu terlihat tegang. Ia merasakan ada sesuatu yang tidak beres, tetapi ia tidak tahu apakah itu. Hanya saja pandangan mata dari orang yang disebut Ki Juwana itu sangat di pahaminya, sehingga hatinya tercekat.
“ Pandangan mata seperti itu artinya adalah umurku tidak akan panjang lagi”, - keluhnya dalam hati -,”Padahal aku sama sekali tidak berkhianat”
Tiba-tiba prajurit muda itu bergerak cepat sekali, ia berdiri cukup dekat dengan Gilang dan dalam sekali lompatan ia sudah bisa berada di samping bocah kecil itu. Tangan kirinya segera meraih tubuh Gilang sementara tangan kanannya hendak mencabut pedang dari lambungnya untuk di kalungkan di leher bocah itu.
Tetapi sebelum pedang di lambungnya tercabut, prajurit muda itu mengeluh pendek ketika sebuah sabetan pedang tipis menyobek lambungnya diikuti sebuah tendangan kaki yang berputar dan menghantam keningnya. Tubuhnya langsung roboh dan tidak sadarkan diri.
Ki Juwana yang melihat kejadian itu menggeram keras, tetapi sebelum ia bergerak lebih jauh terdengar kembali suara Ki Widura yang telah berdiri di hadapannya.
“ Sabarlah Ki Juwana, kami sudah tahu rencanamu untuk menculik cucu-ku itu. Hanya saja aku memang penasaran buat apa kau repot menculik bocah kecil itu. Kalau kau mempunyai dendam kepada orangtuanya, kenapa kau tidak melakukannya dengan sikap jantan layaknya seorang laki-laki?”, - Ki Widura sengaja berbicara agak panjang untuk mengulur waktu dan memancing kemarahan lawan bicaranya itu.
“ Gila “, - suara Ki Juwana terdengar meninggi -,” Kau kira aku takut dengan Swandaru ataupun istrinya itu? Baik, aku akan menantangnya untuk berperang tanding sekarang”
Ki Widura justru mengeluarkan suara tertawanya.
“Tentu tidak sekarang Ki, biarlah Pandan Wangi melindungi anaknya dari kepungan puluhan anak buahmu. Sementara bagaimana kalau kita bermain-main dahulu disini”
Sambil melangkah maju, cambuk Ki Widura berputar cepat lalu meledak sebanyak tiga kali berturut-turut. Ledakan itu begitu memekakkan telinga dan terdengar keras hingga ratusan tombak jauhnya.
Wahana yang mendengar tiga kali ledakan dari cambuk Ki Widura itu menarik nafas dalam-dalam. Sepengetahuannya, nada ledakan itu adalah sebagai isyarat untuk memanggil bantuan dari para cantrik padepokan Jati Anom sesuai rencana.
Tetapi Wahana masih belum bisa menghilangkan debar di dadanya, agaknya perhitungan mereka kali ini sama sekali kurang tepat. Ia sungguh tidak menduga akan hadirnya dua orang bersaudara yang berpenampilan aneh berjuluk Paksi Wulung bersaudara ini.
Segera ia bergeser mendekat Pandan Wangi dan dengan suara yang bersungguh-sungguh ia berbisik.
“Nyi, agaknya kita salah perhitungan. Dua orang aneh ini berkemampuan sangat tinggi dan tidak masuk dalam keterangan yang kita peroleh. Apapun yang terjadi, jangan menjauh dari Gilang. Serahkan yang lainnya kepada kami”
Pandan Wangi yang mendengar bisikan Wahana itu menjadi berdebar-debar, tetapi ia tidak menjawab.
Sementara Wahana berjalan maju dan menyongsong kedatangan dua orang aneh yang berjuluk Paksi Wulung bersaudara itu. Dengan sikap menghormat layaknya anak muda mengadapi orang yang berumur lebih tua, Wahana berhenti dalam jarak sekitar tiga tombak sambil berkata.
“ Apakah benar aku sedang berhadapan dengan Paksi Wulung bersaudara yang namanya begitu tersohor di seluruh pesisir lor tanah Jawa ini?”
Salah seorang dari Paksi bersaudara itu terdengar tertawa keras, suara tertawanya mirip kaokan seekor burung yang puas setelah menangkap mangsanya. Sementara seorang lainnya hanya memasang wajah angker, tetapi tiba-tiba tangannya bergerak menebas dan serangkum angin tajam mendera ke arah dada Wahana.
Wahana yang merasakan terpaan angin tajam itu terpaksa sedikit bergeser kesamping, tetapi ia sama sekali tidak mundur.
Menyaksikan serangannya sama sekali tidak menghasilkan, dan bahkan berhasil dihindari dengan gerak sederhana, orang kedua yang tidak pernah tersenyum itu mendengus keras.
“Jadi, kau yang membunuh dua burung cantaka-ku itu”
Wahana tidak lagi menjawab, ia segera mempersiapkan diri untuk memasuki sebuah pertarungan. Sejauh yang ia dengar kedua orang aneh ini memiliki ilmu yang sangat tinggi dan tidak terduga. Karena itu ia tidak mau lengah dan tanpa di sadari oleh kedua lawannya, Wahana telah melindungi tubuhnya dengan ajian Lembu Sekilan.
Tetapi sebelum ketiganya bergerak saling menyerang, suasana di Lemah Cengkar itu kembali bergemuruh oleh suara derap kaki kuda dan ledakan-ledakan cambuk yang memekakkan telinga. Agaknya belasan cantrik yang memang sudah mengintai dari jarak yang cukup jauh itu mendengar isyarat dari Ki Widura dan segera menghambur ke arena pertarungan.
Ki Juwana yang melihat kedatangan belasan kuda itu menjadi sangat marah. Ia tidak menyangka bahwa usahanya menyisipkan prajurit muda untuk menculik anak Swnadaru Geni itu telah di ketahui lawan. Bahkan prajurit muda itu kini telah tertelungkup tak sadarkan diri atau bahkan mati akibat luka dan tendangan kaki Pandan Wangi.
“Hancurkan semua yang ada disini, lalu ambil bocah kecil anak Swandaru itu”, - suara Ki Juwana menggelegar mengatasi gemuruh derap kuda yang datang itu.
Suara itu merupakan aba-aba bagi pengikutnya dan tanpa menunggu perintah kedua kalinya, segera pedang dan tombak mereka teracu menyambut datangnya para cantrik yang berkuda itu. Dengan berteriak kasar mereka segera mengayunkan senjatanya untuk menyerang para cantrik yang baru datang itu.
Terjadilah pertempuran yang sengit di padang terbuka itu. Sebagian cantrik yang baru datang itu terpaksa harus turun dari kudanya sementara sebagian yang lain masih mampu bertarung diatas kuda sambil mengayunkan cambuk atau pedang yang menjadi senjata mereka masing-masing.
Ki Widura yang sudah berhadapan dengan Ki Juwana menjadi berdebar-debar. Agaknya keterangan yang mereka peroleh kurang akurat, baik mengenai kemunculan dua orang dari Pulau Karimun ini maupun jumlah gerombolan yang menyerang, yang ternyata jauh lebih banyak jumlah cantrik yang kini datang membantu.
“Agaknya jumlah mereka hampir tiga kali lipat dari jumlah kami”, - ujarnya dalam hati.
Sebagai bekas seorang senapati pasukan Pajang pada masanya, Ki Widura dengan cepat membuat pertimbangan. Selain jelas kalah jumlah, ia juga belum mengetahui kemampuan para penyerangnya, terutama dua orang aneh yang tiba-tiba saja muncul.
Dengan pertimbangan matang, tiba-tiba saja Ki Widura justru mendahului menyerang beberapa orang yang mengepungnya. Cambuknya berputar dengan cepat kemudian meledak dengan keras berulang kali dan terayun-ayun ke kanan dan ke kiri bergantian.
Terdengar jerit kesakitan dari mulut beberapa orang yang mengepung Ki Widura itu ketika dada, pinggang atau pundak mereka tiba-tiba saja terasa perih dan mengeluarkan darah akibat ujung cambuk yang berkarah baja. Bahkan seorang diantaranya terkena tepat di pelipis kanan-nya sehingga tubuhnya terbanting dan pandangannya menjadi berkunang-kunang. Tiga orang kini sudah mengalirkan darah dan memperlonggar kepungan Ki Widura.
Tetapi Ki Widura tidak bisa mengulangi tindakannya karena Ki Juwana segera mengayunkan tombak pendeknya dari arah samping dan mengancam punggungnya. Ayunan tombak itu membawa suara angin yang menderu-deru menandakan betapa penyerangnya mempunyai tenaga yang sangat besar. Dengan cepat Ki Widura melakukan loncatan panjang ke samping untuk menghindari itu, tetapi ia justru melayang ke arah pengepungnya yang lain. Sambil menghindar dari serangan Ki Juwana, cambuk itu kembali meledak dan seorang pengepungnya kembali roboh dengan luka parah di lambungnya.
Ki Juwana menjadi sangat marah karenanya, tubuhnya dengan cepat bergerak dan melibat Ki Widura dalam jarak pendek. Tombaknya terayun-ayun dan kadang menusuk mendatar dengan ganas sehingga Ki Widura terpaksa harus melayaninya dengan sungguh-sungguh. Ia tidak bisa lagi melakukan lompatan panjang sambil mengurangi jumlah lawannya karena ayunan tombak pendek ini benar-benar membahayakan dirinya.
Sementara itu, tidak berbeda dengan Ki Widura, Pandan Wangi, Gilang dan seorang prajurit dari Jati Anom terpaksa beradu punggung menghadapi kepungan belasan orang. Kecuali Gilang yang masih berada diatas punggung kuda, Pandan Wangi dan prajurit dari Jati Anom itu sudah turun dari kuda karena merasa akan lebih leluasa bertarung di atas tanah.
Kedua pedang Pandan Wangi segera berputar menyambut serangan yang datang bertubi-tubi ke arahnya, demikian pula prajurit Jati Anom itu. Tetapi gerak mereka tidak bisa leluasa karena perhatian mereka terpecah untuk juga menjaga dan melindungi Gilang.
Lapangan yang cukup luas itu agaknya dimanfaatkan oleh para pengeroyoknya untuk memisahkan ketiganya. Dalam sebuah kesempatan yang terbuka, salah seorang pengeroyok yang berwajah bulat dan bengis tiba-tiba saja meloncat cepat ke arah Gilang sambil tangan kirinya terbuka melakukan gerak tangkapan, sementara ditangan kanannya tergenggam pedang yang berkilau tajam.
“ Gilang! “, - Pandan Wangi berteriak gugup.
Salam,
No comments:
Post a Comment