Sunday, May 28, 2017

BSG - Bab 3 : Gilang Pamungkas Babak – 15

BALADA SWANDARU GENI
Bab 3 : Gilang Pamungkas
Babak – 15
Wahana yang sudah mempersiapkan diri segera menghindari serangan itu dengan bergeser ke samping sambil menjulurkan tangan kanannya untuk mengancam pinggang lawan. Tetapi Paksi Wulung Muda yang pinggangnya terancam itu tidak mengelak melainkan tangan kirinya menebas hendak memapaki serangan Wahana. Ia memperhitungkan bahwa jika terjadi benturan, maka Wahana akan tergetar mundur dan saat itulah saudara tuanya mempunyai kesempatan untuk menyarangkan pukulannya ke tubuh Wahana.
Tetapi Wahana cukup bisa membaca situasi, tangan kanannya justru ditarik kembali dan dengan tiba-tiba ia membungkukkan badan dan kepalanya sambil kaki kirinya bergerak lurus melakukan tendangan ke arah paha kiri Paksi Wulung muda itu. Gerakan Wahana itu, sesungguhnya adalah untuk menghindari serangan dari Paksi Wulung tua yang mengancam tubuh bagian atasnya dari samping, sementara sambil menghindar ia merubah sasaran serangannya ke arah paha lawan. Paksi Wulung muda yang melihat serangan itu segera menarik kakinya sehingga terhindar dari tendangan Wahana.
Demikianlah, lingkaran pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit. Wahana bergerak seperlunya tetapi sangat efektif dan membahayakan kedua lawannya. Ia mampu menghindar sekaligus melakukan serangan yang tidak terduga dalam jarak pendek. Bahwa sekarang sudah tidak ada lagi serangan burung yang mengganggunya itu membuat ia dengan sepenuh hati bisa memusatkan perhatian pada lawannya. Sementara serangan kedua Paksi Wulung bersaudara itu datang membadai tiada henti. Angin menderu-deru sementara tangan dan kaki mereka berlompatan dan terayun bergantian dengan kerjasama yang teramat rapat, menutup ruang gerak lawan.
Sebenarnya Wahana ingin bertahan sambil mengamati serangan lawan yang seolah digerakkan oleh satu keinginan sehingga selalu serasi. Tetapi serangan kedua Paksi Wulung bersaudara itu semakin lama semakin cepat dengan tenaga yang meningkat sehingga membahayakan dirinya.
Karena itu dengan cepat Wahana melompat mundur untuk mengambil kesempatan. Ia tidak bisa mengandalkan perlindungan tubuhnya hanya kepada Aji Lembu Sekilan. Dalam waktu yang pendek setelah menggosokkan kedua tangannya dan mengusapkannya diwajah, sambil menahan nafas, Wahana kembali merangkapi tubuhnya dengan salah satu ilmunya yang bersifat bertahan sambil menggempur. Semua persiapan itu dilakukan dalam waktu yang sangat pendek.
Ketika datang sebuah serangan yang mengancam pelipis kanannya, sementara serangan yang lain mengancam pinggangnya, Wahana sengaja menunggu sesaat dan disaat yang tepat ia membentur serangan itu dengan kedua tangannya yang bergerak cepat. Tangan kiri Wahana menangkis serangan tangan Paksi Wulung Muda yang mengancam pelipisnya, sementara tangan kanannya menolak ke samping tendangan lurus yang dilakukan oleh Paksi Wulung Tua.
Terdengar suara letupan keras dua kali berturut-turut. Serangan Paksi Wulung Muda yang membentur tangan Wahana itu seolah terbelokkan sebagai akibat dari pertahanan Aji Lembu Sekilan, tetapi pada saat yang sama, tangan Wahana itu seolah mengeluarkan tenaga tolakan atau dorongan yang besar yang langsung menghantam dan melontarkan tubuh Paksi Wulung Muda dengan keras. Demikian pula yang terjadi dengan Paksi Wulung Tua, tendangan kakinya itu tertepis belok ke samping sebelum kemudian tiba-tiba saja tubuhnya dihempas oleh dorongan kuat yang tidak terlawan. Kedua tubuh Paksi Wulung bersaudara itu terlihat terlontar tinggi ke udara sebelum kemudian terbanting ke tanah.
Beruntung mereka berdua adalah tokoh-tokoh yang sudah kenyang pengalaman. Dengan sengaja mereka bergulingan ke tanah beberapa kali untuk memunahkan daya dorong itu, sambil mengambil jarak dari lawan. Sesaat kemudian mereka sudah berloncatan tegak dan siap menghadapi segala kemungkinan.
Wajah kedua saudara kembar itu terlihat merah menahan amarah serta rasa heran karena menemui lawan yang masih begitu muda tetapi mempunyai kemampuan yang sangat tinggi.
Tidak jauh dari lingkaran pertarungan itu, Ki Widura sudah bisa menarik nafas lebih leluasa. Kini ia hanya melayani Ki Juwana setelah pengeroyoknya yang lain dipaksa untuk melayani kedua cantrik dari Padepokan Orang Bercambuk. Melawan putaran dan tusukan tombak Ki Juwana ini Ki Widura terpaksa harus memeras keringatnya lebih banyak. Tetapi setelah berhadapan satu lawan satu, Ki Widura ternyata mampu mengimbangi gerak lawan dan serangan tombak itu dengan mengandalkan senjata cambuknya.
“Aku harus menghemat tenaga dan memanfaatkan senjata lenturku ini”, - desis Ki Widura dalam hati.
Menyadari usianya yang terus merangkak senja, Ki Widura sengaja tidak banyak bergerak. Tetapi senjata cambuknya yang berputar cepat itu mampu setiap saat mencegat gerak lawan dan beberapa kali meledak sangat dekat di permukaan kulit Ki Juwana yang kini harus melawannya seorang diri. Bahkan dalam suatu gerakan yang cepat, ternyata Ki Juwana terlambat untuk melompat mundur, sehingga sebuah ledakan yang keras tiba-tiba menyentuh pundak kirinya dan mengakibatkan bajunya terkoyak. Ada rasa pedih yang menyengat di kulit dagingnya dan darah mulai menitik meskipun tidak terlalu banyak.
Tetapi darah yang mulai menitik itu justru membuat tandang Ki Juwana semakin garang. Tombaknya berputaran dengan dahsyat dan putaran itu selain menimbulkan suara menderu-deru juga membawa angin tajam yang mulai mengusik kulit Ki Widura serta mengganggu geraknya. Pertarungan diantara mereka meningkat dengan sangat cepat.
Sementara itu, para cantrik lainnya mulai mampu menahan serangan dari para pendatang itu dengan lebih baik. Keputusan dan gerak Pandan Wangi yang mampu mengurangi jumlah lawan sedemikian banyak dan dalam waktu yang sangat cepat ternyata mempengaruhi keseimbangan pertempuran itu. Terlebih orang yang bertubuh kekurus-kurusan yang tadinya memimpin para pengeroyok itu sudah roboh di tanah, sehingga orang-orang itu seolah hanya asal bertempur tanpa ada yang mengarahkan.
Secara perlahan para cantrik itu mampu memperlonggar kepungan meskipun mereka juga tidak berani menusuk terlalu jauh mengingat pesan Pandan Wangi agar tidak jauh meninggalkan Gilang.
Meskipun hanya sekilas, semua kejadian itu tidak lepas dari pengamatan Pandan Wangi maupun Ki Sekar Tawang. Kedua orang yang sudah saling berhadapan itu masih belum bisa memperkirakan siapa yang akan keluar sebagai pemenang antara Wahana melawan dua Paksi Wulung bersaudara itu ataupun antara Ki Widura melawan Ki Juwana. Agaknya mereka semua masih belum mengeluarkan ilmu simpanan masing-masing.
Sementara Pandan Wangi sendiri menyadari akan tingginya ilmu Ki Sekar Tawang yang mempunyai tulang sangat keras serta kulit lentur yang mampu membuatnya terpental akibat tenaga serangannya yang tertolak balik. Sambil mempersiapkan diri ia berpikir cara terbaik untuk menghadapi lawannya itu.
“Pasti ada bagian tubuhnya yang tidak terlindungi oleh kerasnya tulang dan tingginya daya pental kulitnya itu. Aku harus menemukannya”, - desis Pandan Wangi dalam hati.
Sejenak kedua orang yang sudah berhadapan itu masih berdiam diri seolah saling menilai. Pandan Wangi sudah melambari dirinya dengan semua bekal yang ada ditubuhnya dan siap untuk dituangkan dalam pertarungan yang agaknya akan sangat menguras tenaga. Sementara mata Ki Sekar Tawang terlihat sedikit meredup. Sebagai tokoh yang merasa dirinya besar, ia sebenarnya tidak terlalu bergairah dengan pertarungan ini. Tetapi demi kepentingan anak gadisnya yang sepengetahuannya menjadi tawanan Mataram dan melihat tandang Pandan Wangi yang telah sedemikian cepatnya mampu merobohkan anak buahnya, diam-diam muncul kekagumannya dan rasa ingin menjajagi perempuan anggun yang kini berdiri di hadapannya itu.
Tanpa diiringi teriakan sama sekali, tiba-tiba saja tubuh Ki Sekar Tawang itu bagai terlontar menyerang Pandan Wangi. Gerakan tanpa ancang-ancang itu sedemikian cepat, tangan kanannya terbuka lebar hendak melakukan tangkapan sementara tangan kirinya mengepal menyerang pundak.
Tetapi Pandan Wangi menyadari bahwa serangan ini hanyalah penjajagan belaka. Meskipun sangat cepat, tetapi tenaga penyerangan dari kedua tangan itu tidak diikuti dengan tenaga yang membahayakan dirinya.
Karena itu, tiba-tiba terlintas sebuah pikiran dalam benak Pandan Wangi.
“Jika aku sekedar menggunakan tenaga wadag, pasti daya pental tubuhnya tidak sekuat jika aku melambari seranganku menggunakan tenaga cadangan. Biarlah aku simpan tenaga cadanganku dan menggunakannya disaat yang tepat. Sementara aku harus mencari kelemahan tulang dan kulit orang ini ada di bagian tubuhnya yang mana”.
Pandan Wangi mengatur siasat dan meningkatkan pengamatannya dengan hati-hati serta tidak terburu-buru.
Ketika serangan itu datang, dengan tenang Pandan Wangi menggeser kakinya ke samping kiri lalu disaat yang tepat ia memutar tubuhnya secara penuh sambil melakukan gerak dorongan. Dengan gerak egos satu lingkaran itu, ia terhindar dari serangan kedua tangan Ki Sekar Tawang dan disaat yang sama ia sudah berdiri agak dibelakang lawan sambil tangannya mendorong menggunakan tenaga wadag, sama sekali tidak dilambari tenaga cadangan.
Meskipun hanya tenaga wadag, tetapi serangan itu tidak boleh dianggap remeh. Orang biasa akan terjungkal dengan tubuh terbanting ditanah akibat tenaga dorongan yang sangat kuat yang dilakukan Pandan Wangi itu.
Sebaliknya, Ki Sekar Tawang yang melihat lawannya mampu meloloskan diri dengan gerak sederhana dan bahkan kini menyerang punggungnya itu tidak tinggal diam. Ia biarkan tangan itu menyentuh punggungnya dan disaat yang tepat nafasnya terdengar mendengus pendek seolah ia sedang mengeluarkan hentakan ditubuhnya untuk menolak serangan yang menyentuh punggungnya itu.
Dengus nafas pendek Ki Sekar Tawang itu biasanya menandakan lepasnya ilmu pertahanan dan sekaligus penyerangan dalam dirinya yang membuat tulangnya mengeras serta kulitnya mempunyai daya pental yang tinggi.
Terjadilah hal yang sama sekali tidak di duga oleh Ki Sekar Tawang. Dalam pikirannya, Pandan Wangi yang sudah berdiri di belakangnya meski agak ke samping itu, akan mempergunakan kesempatan baik itu untuk melancarkan serangan yang kuat dan ganas dengan sepenuh tenaga. Adalah sama sekali tidak diduganya bahwa tangan perempuan yang menyentuh punggungnya itu kemudian hanya melakukan gerak dorongan, sama sekali tidak ada tenaga cadangan yang melambarinya yang biasanya juga akan langsung menyerang bagian dalam tubuh lawan.
Akibatnya, hentakan ilmu dari dalam tubuhnya sama sekali tidak memperoleh sasaran dan seolah melawan angin.
Tubuh Ki Sekar Tawang benar-benar terdorong oleh tenaga wadag Pandan Wangi dan hampir saja ia terjerembab sebelum dengan sigap tangannya menyentuh tanah dan justru melakukan lompatan jungkir balik beberapa kali sebelum mendarat ditanah dengan baik.
Pandan Wangi sengaja tidak mengejar lawannya, ia berdiri tegak sambil menunggu lawannya itu siap.
“Agaknya ilmu mengeraskan tulang dan mempertinggi daya pental itu tidak berlaku jika aku menggunakan tenaga kecil atau tenaga wadag”, - diam-diam Pandan Wangi menilai kemampuan lawannya.
Meskipun tidak bisa melihat wajah Ki Sekar Tawang yang sebagian tersembunyi oleh caping lebar yang sudah dikenakannya kembali, Pandan Wangi bisa menduga bahwa wajah orang yang selalu bersikap angker itu kini diliputi kemarahan.
Tetapi Pandan Wangi sama sekali tidak gentar, dengan dada tengadah ia menunggu lawannya itu kembali menyerangnya.
Salam,

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...