Sunday, May 28, 2017

BSG - Bab 3 : Gilang Pamungkas Babak – 14

BALADA SWANDARU GENI
Bab 3 : Gilang Pamungkas
Babak – 14
Tanpa di duga oleh Pandan Wangi maupun prajurit yang menjaganya, tiba-tiba Gilang meloncat turun dari kudanya dan tangannya meraih sesuatu dari balik bajunya. Dalam sekejab seolah tanpa jeda, sambil melayang turun kedua tangan Gilang terayun cepat dan membidik dua burung raksasa yang hampir saja menyambar kepala Wahana.
Terdengar pekikan atau lebih tepatnya kaok-an nyaring yang menyayat dan diikuti menggeleparnya dua tubuh burung raksasa yang langsung jatuh ke tanah. Dua buah pisau belati panjang menancap masing-masing di dada dua burung itu hingga tembus ke belakang, sekali lagi dua burung itu terlihat menggelepar sebelum kemudian tubuhnya terdiam untuk selamanya.
Agaknya kekuatiran Gilang memuncak saat melihat keadaan Wahana yang terancam bahaya. Sadar bahwa batu kali yang selama ini menjadi senjata andalannya tidak banyak berpengaruh, maka tanpa berpikir panjang ia langsung melemparkan dua buah pisau belati panjang yang selama ini di sangkutkan di balik bajunya.
Pada saat bersamaan Wahana bisa berguling beberapa kali mengambil jarak untuk kemudian melompat bangkit dan siap menghadapi segala keadaan.
Semua kejadian yang terjadi dalam waktu yang sangat cepat itu seolah menyadarkan prajurit Jati Anom yang selama ini mengiringi perjalanan mulai dari Sangkal Putung. Sambil menyarungkan pedang di-lambungnya, prajurit itu mendekati Gilang dan mengangkat bajunya serta memperlihatkan deretan pisau belati kecil yang melingkari pinggangnya.
“Gilang, mari kita berburu. Meskipun tidak sebaik bidikanmu, tetapi aku juga sering berlatih menggunakan pisau-pisau kecil ini”, - ujarnya sambil mencabut empat pisau kecil itu dan menyerahkannya kepada Gilang.
Wajah Gilang terlihat berseri-seri, tanpa menjawab ia segera menerima pisau kecil itu dan setelah menimangnya sesaat, pisau kecil itu melesat terbang ke arah gerombolan burung raksasa yang hendak melakukan penyerangan kepada Wahana. Dengan posisi berdiri diatas tanah, maka ketepatan dan kecepatan bidikannya menjadi semakin berlipat. Sebelum pisau belati kecil pertama itu mengenai sasarannya, Gilang telah menyusulinya dengan bidikan yang kedua.
Sementara itu, dari tangan prajurit Jati Anom itu juga meluncur sebuah pisau kecil membelah udara dan melesat mengincar salah satu diantara burung-burung itu.
Kembali terdengar pekikan-pekikan nyaring dan burung-burung itu berkaok-kaok ribut sekali. Dua burung kembali tertembus di leher dan dadanya oleh bidikan pisau Gilang hingga roboh jatuh ke tanah dan tewas seketika, sementara pisau prajurit itu menembus sayap salah satu burung yang menjerit keras dan terbang tinggi. Pisau itu masih menancap disayapnya sementara burung itu terbang semakin menjauh.
Gilang masih sempat mengayunkan sekali lagi pisaunya yang melesat cepat bagaikan tatit di langit dan kembali seekor burung incarannya menggelepar jatuh ke tanah lalu diam. Dalam setiap ayunannya, tidak ada satupun bidikan Gilang yang meleset. Sisa burung-burung itu terlihat jeri dan dengan ribut mereka terbang meninggi dan menjauh.
Dalam sekejab jumlah burung itu sudah berkurang lebih dari separo.
Betapa panas dan marahnya hati Paksi Wulung bersaudara melihat semua yang terjadi di depan matanya. Burung yang mereka pelihara selama belasan tahun itu tiba-tiba saja sebagian besar mati dengan mengenaskan dan bahkan sisanya terbang menjauh tanpa menghiraukan suitan dan tanda-tanda gerakan tangan mereka sebagai perintah selama ini.
Didorong oleh kemarahan yang memuncak, dua Paksi Wulung bersaudara itu tiba-tiba saja melakukan sebuah tindakan yang benar-benar tidak di duga oleh semua yang ada disitu. Meskipun seolah tidak berunding, tetapi mereka memang digerakkan oleh satu keinginan yang sama. Kedua tubuh Paksi Wulung bersaudara itu bagaikan terbang langsung melesat melancarkan pukulan keji yang membawa kesiur angin yang sangat tajam hendak menghantam sasaran.
Yang menjadi sasaran adalah Gilang!
Hati Pandan Wangi berguncang-guncang. Semua kejadian itu berlangsung sedemikian cepat. Saat ini posisi ia berdiri justru terhalang oleh tubuh Gilang, sehingga seberapapun cepatnya ia bergerak, agaknya akan terlambat untuk menyelamatkan anak semata wayangnya.
Didera oleh rasa kuatir yang memuncak serta guncangan hati yang sedemikian besar, kaki Pandan Wangi justru tidak mampu bergerak, ia seolah terkunci. Mulutnya menjerit lirih sambil matanya menatap semua kejadian yang ada di hadapannya.
Saat itulah sesosok bayangan berkelebat cepat menyongsong salah seorang dari Paksi Wulung bersaudara itu. Tanpa dapat dicegah, terjadi benturan yang dahsyat yang membuat salah satu dari Paksi Wulung bersaudara itu menjerit keras dan terpental kebelakang lalu bergulingan di tanah sebelum kemudian berdiri kembali.
Disaat yang bersamaan, sebuah benda berbentuk lingkaran terdengar menderu-deru dan menyambar dengan cepatnya ke arah Paksi Wulung bersaudara lainnya yang sedang meluncur ke arah Gilang. Dalam keadaan melayang di udara, satu dari Paksi Wulung bersaudara itu melihat akan adanya benda berputar yang menyambarnya dengan hawa yang menderu-deru. Tidak ada pilihan lain, terpaksa ia menyambutnya dengan pukulan tangannya sambil berteriak nyaring.
Terjadilah benturan yang menimbulkan ledakan keras. Benda berputar dengan suara menderu-deru yang tidak lain adalah caping lebar dari Ki Sekar Tawang itu nampak terpental jauh sebelum kemudian berbalik ke arah dan tangan pemiliknya, yaitu Ki Sekar Tawang yang telah melesat dan berdiri dihadapan satu dari dua Paksi Wulung bersaudara itu.
Sementara Wahana juga berdiri disamping Ki Sekar Tawang menghadapi satu dari Paksi Wulung bersaudara itu, agaknya bayangan yang pertama melesat dan berbenturan tadi adalah Wahana.
Keduanya berdiri membelakangi Gilang, seolah siap untuk melindungi bocah kecil itu. Sementara Pandan Wangi bagaikan tersadar dari kebisuannya dan segera melenting lalu berdiri di samping Gilang.
Satu dari Paksi Wulung bersaudara yang telah membentur caping lebar dari Ki Sekar Tawang itu terlihat menahan kemarahan dan rasa herannya. Tangannya terasa panas akibat benturan dengan caping lebar tadi.
Dengan wajah penasaran ia menudingkan tangan kirinya kepada Ki Sekar Tawang.
“Apa maksudmu menghalangiku Ki? Bukankah orangmu, Ki Juwana yang minta bantuanku untuk urusan ini?”, - nada suaranya begitu diliputi rasa amarah.
Terdengar Ki Sekar Tawang mendengus pelan, agaknya ini adalah kebiasaannya ketika memulai pembicaraan.
“Paksi Wulung Muda, siapapun tidak boleh mengganggu bocah kecil itu, apalagi hendak melukai atau membunuhnya. Ia adalah milikku, bukankah aku sudah memperingatkanmu?”, - suaranya terdengar penuh ancaman -,” Nah, terserah urusanmu dengan anak muda lawanmu itu. Aku akan kembali melayani Nyi Pandan Wangi, ibu dari bocah kecil itu”.
Lalu tanpa menunggu jawaban dari Paksi Wulung Muda itu, tubuh Ki Sekar Tawang kembali melesat kembali ke tempat ia semula berdiri. Dengan suara datar, ia berkata pelan tetapi cukup bisa di dengar oleh siapapun yang hadir ditempat itu.
“Marilah Nyi, kita lanjutkan permainan kita ini. Jangan kuatir, tidak ada yang akan mengganggu anakmu sampai kau sendiri yang harus merelakan dan menyerahkannya kepadaku”
Pada saat itu hati Pandan Wangi bagaikan teraduk-aduk.
Bagaimanapun juga, tindakan Ki Sekar Tawang itu telah menyelamatkan Gilang dari keganasan Paksi Wulung bersaudara dan untuk itu ia wajib berterima kasih. Tapi disisi lain ia juga menyadari bahwa tindakan itu di dorong oleh kepentingan Ki Sekar Tawang pribadi agar dapat mempergunakan Gilang sebagai alat tukar untuk anak perempuannya yang bernama Mangesthi.
“Kemanakah sebenarnya Mangesthi itu? Mengapa saat ia lepas sebagai tawanan di Sangkal Putung, kakang Swandaru dan bahkan kakang Untara sengaja merahasiakannya sehingga bahkan prajurit Jati Anom ini tidak tahu bahwa ia sudah terlepas?”, - tiba-tiba hati Pandan Wangi diliputi tanda tanya.
Sesaat tadi, Pandan Wangi memang sempat melupakan tentang peristiwa lepasnya Mangesthi. Tetapi ketika prajurit Jati Anom itu membisikinya, ingatannya langsung tertuju pada perkataan Sekar Mirah yang memintanya untuk tidak perlu memikirkan Mangesthi.
“Pandan Wangi, sebenarnya Mangesthi bukanlah perempuan jahat. Ia hanya terdorong oleh kemudaannya dan kebanggaannya karena menguasai kanuragan yang cukup tinggi. Terlebih ia kemudian bergaul dengan orang-orang yang salah. Sudahlah, hilangnya Mangesthi in tidak perlu dibahas atau dipikirkan. Aku bahkan sudah minta kepada kakang Untara dan kakang Swandaru untuk tidak usah mencarinya”, - perkataan Sekar Mirah itu kembali terngiang di telinganya.
Pandan Wangi tidak bisa melanjutkan angan-angannya, ia sadar bahwa Ki Sekar Tawang sedang menantinya.
“ Gilang, jaga dirimu, jangan bertindak sembrono”, - desisnya pelan.
Tanpa menunggu jawaban, tubuh Pandan Wangi terlontar cepat kedepan. Dengan dada tengadah Pandan Wangi segera mempersiapkan diri untuk memasuki sebuah pertarungan yang agaknya akan menguras tenaga.
Tetapi sebelum mulai, kembali terdengar jeritan nyaring dari lingkaran pertarungan antara Wahana melawan kedua Paksi Wulung bersaudara itu.
Salam,

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...