Sunday, May 28, 2017

BSG - Bab 3 : Gilang Pamungkas Babak – 19

BALADA SWANDARU GENI
Bab 3 : Gilang Pamungkas
Babak – 19
Lemparan caping lebar serta serangan kedua tangan Ki Sekar Tawang yang mengancam wajah Pandan Wangi itu datang susul menyusul hendak menutup ruang gerak Pandan Wangi. Rambut Pandan Wangi yang terurai serta bajunya yang memang agak longgar itu terlihat berkibar ke belakang akibat hembusan angin keras yang menyertai serangan Ki Sekar Tawang itu.
“Betapa anggun dan perkasanya perempuan ini”, - tanpa sadar Ki Sekar Tawang yang sempat melihat pemandangan di depan matanya itu bergumam dalam hati.
Tetapi pikiran yang hanya selintas itu tidak menghentikan gerak Ki Sekar Tawang yang hatinya sudah dipenuhi dengan rasa amarah yang bergelora. Sementara Pandan Wangi yang menyadari ganasnya serangan beruntun ini tidak tinggal diam. Segera tubuhnya melenting tinggi keatas melewati kepala lawannya dan kemudian justru mendarat di belakang Ki Sekar Tawang dalam jarak yang agak jauh. Dalam satu gerak Pandan Wangi mampu menghindari serangan ganas tangan Ki Sekar Tawang sekaligus terhindar dari lemparan caping lebar itu.
Disaat kakinya menyentuh tanah, telinga dan mata Pandan Wangi segera menangkap gerak caping lebar yang seolah mempunyai mata dan berbelok langsung meluncur memburunya. Gerak caping itu senantiasa mendahului seolah tidak menunggu perintah yang menggerakkannya yaitu Ki Sekar Tawang.
Bagi Pandan Wangi, serangan caping lebar ini sebenarnya mudah saja untuk menghindarinya. Tetapi ia sadar bahwa serangan caping lebar ini hanyalah semacam pengalih perhatian, sementara serangan yang sesungguhnya dan sangat berbahaya akan datang langsung dari Ki Sekar Tawang.
Karena itu, Pandan Wangi tidak mau terlambat dan telah membuat perhitungan cermat. Ketika caping lebar itu sudah sedemikian dekat, ia segera menghindar dengan cara melakukan gerak egos setengah lingkaran sehingga caping itu berdesing sekitar empat jari dari dadanya. Anginnya menampar keras dan bahkan ada hawa panas yang ikut menerpa tubuh Pandan Wangi.
Tetapi Pandan Wangi tidak menghiraukan udara yang menerpanya, saat melakukan gerak egos itu tubuh Pandan Wangi berputar setengah lingkaran dan kini telah menghadap searah dengan meluncurnya caping lebar yang baru dihindarinya itu. Tanpa menunggu sekejabpun, tubuh Pandan tiba-tiba melesat secepat tatit di udara, memburu dan mengejar caping lebar yang baru saja dihindarinya. Di kedua tangannya telah tergenggam pedang tipis pilihan yang merupakan pemberian Ayahnya, Ki Argapati atau yang juga dikenal sebagai Ki Gede Menoreh.
Jantung Ki Sekar Tawang tiba-tiba berdegup kencang sekali, gerak Pandan Wangi itu sama sekali tidak diduganya dan bahkan kecepatannya tidak terkejar lagi. Dia hanya mampu melihat dari balik punggung Pandan Wangi yang mengayunkan kedua pedang tipisnya itu bersilangan beberapa kali, sangat cepat dan tak tertahankan.
Bagaimanapun juga, caping lebar itu bergerak berdasarkan perintah tuan-nya yaitu Ki Sekar Tawang. Sementara Pandan Wangi bergerak sangat cepat dan sengaja memanfaatkan kekagetan lawannya. Ketika lawannya hanya sempat melihat punggungnya, saat itulah Pandan Wangi menyalurkan segenap tenaga cadangannya berikut kekuatan inti bumi yang mampu ia serap untuk menebas caping lebar itu beberapa kali. Ia yakin, melihat gerak caping yang sedemikian cepat dan agaknya bobotnya cukup berat, maka pastilah kerangka caping lebar terbuat dari besi atau bahan pilihan lainnya.
Untuk menghindari hal-hal yang mungkin diluar kesadarannya, maka Pandan Wangi tidak menghantam dengan gerak lurus dan langsung, melainkan melakukan gerak menebas berkali-kali dengan kedua tangannya seolah ia sedang mengupas buah mangga dengan gerak tidak beraturan. Ia masih memperhitungkan jikalau caping lebar itu mampu membalikkan tenaga serangannya sebagaimana yang dilakukan Ki Sekar Tawang, maka pengaruhnya sudah agak kecil.
Terdengar bunyi berdentangan beberapa kali sedemikian keras dan menyakitkan telinga. Disusul kemudian suara jatuhnya benda yang cukup berat ke tanah, sementara tubuh Pandan Wangi melompat ke samping sambil menghadap Ki Sekar Tawang.
Kedua pedang tipisnya kini sudah kembali di sarungkan di kedua pinggangnya.
Wajah Ki Sekar Tawang terlihat merah padam, betapapun pengalaman telah tertimbun sedemikian banyak dalam perjalanan hidupnya, tetapi kejadian di depan matanya kali ini membuatnya terhenyak sehingga ia terdiam untuk beberapa saat. Dilihatnya caping lebar yang selama puluhan tahun menaungi wajah dan kepalanya dan bahkan telah melindunginya dari puluhan lawan, kini tergeletak dan tercabik-cabik hancur. Caping itu kini hanya menyisakan kerangka besi yang juga tergores serta bengkok di beberapa bagian serta tidak berbentuk caping lagi.
Diliputi rasa amarah yang sedemikian besarnya, mulut Ki Sekar Tawang justru membisu, ia seolah kebingungan untuk mengungkapkan rasa amarahnya itu. Lingkaran pertempuran antara Pandan Wangi dan Ki Sekar Tawang itu sesaat terasa hening.
Tetapi kebisuan itu tidak lama sebelum kemudian terdengar suara tertawa yang bergemuruh memenuhi udara terbuka itu. Agaknya Ki Sekar Tawang kesulitan memilih kata-kata, maka ia sengaja mengungkapkan amarahnya melalui suara tertawanya yang bergemuruh. Pandan Wangi, Ki Widura dan semua yang ada di lingkaran pertempuran itu dengan cepat mengatur debaran di dadanya ketika suara tertawa itu seolah memukul relung hati dan jantung mereka dengan keras.
“Tetapi ini agaknya bukan Gelap Ngampar”, - Ki Widura sempat berdesis.
Pandan Wangi yang berdiri paling dekat dengan Ki Sekar Tawang segera maju beberapa langkah. Hampir saja ia melompat menyerang untuk menghentikan suara tertawa yang telah menyakiti semua orang di sekitar arena. Tetapi ternyata Ki Sekar Tawang segera menghentikan tertawanya, agaknya ia memang hanya menyalurkan rasa amarahnya itu melalui suara tertawa yang dilambari tenaga cadangannya yang sedemikian besar.
Pandan Wangi yang sudah mempersiapkan diri, melangkah maju beberapa tindak.
“Marilah Ki, kalau kau memang ingin melanjutkan pertarungan ini aku tidak keberatan. Akan tetapi ada satu hal yang akan aku sampaikan kepadamu. Sesungguhnyalah anakmu, Mangesthi, pernah kita tawan di Kademangan Sangkal Putung, tetapi ia sudah meloloskan diri beberapa hari kemudian”, - tiba-tiba Pandan Wangi membuka pembicaraan.
Wajah Ki Sekar Tawang yang merah itu terlihat melengak diliputi tanda tanya.
“ Apa maksudmu Nyi?”, - tanyanya penuh keheranan.
“Sudah jelas”, - jawab Pandan Wangi tegas - ,” Aku tidak berbohong, anakmu telah melarikan diri beberapa saat setelah menjadi tawanan kami di Sangkal Putung. Soal sekarang ia dimana aku sama sekali tidak tahu”
Perkataan Pandan Wangi itu membuat Ki Sekar Tawang termangu-mangu, ia merasa aneh karena kalau benar anaknya itu mampu meloloskan diri, ia tentu akan kembali ke padepokannya. Terlebih kalau berita itu benar, kenapa Ki Juwana dan anak muridnya yang telah disebar beberapa lama di sekitar daerah Sangkal Putung sama sekali tidak mengetahui kabar bahwa Mangesthi telah melarikan diri.
Tiba-tiba ia mendengus keras.
“Kau jangan berbohong Nyi, agaknya kau sengaja ingin mengacaukan pikiranku dengan berita bohongmu itu. Sebagai seorang perempuan dan ibu seorang anak, seharusnya kau tahu perasaanku yang kini kehilangan seorang anak”, - suaranya terdengar berat dan parau.
Pandan Wangi terlihat mengangkat pundaknya sambil mempersiapkan diri untuk memasuki pertarungan selanjutnya.
“Terserah pendapatmu Ki, tetapi aku tidak bermaksud mempengaruhi pikiranmu. Jangan kau kira aku akan gentar menghadapimu sehingga harus mempergunakan cara-cara licik dengan mempengaruhi pikiranmu. Marilah, aku sudah siap”, - jawab Pandan Wangi sambil melebarkan kedua kakinya.
Kedua orang itu kembali berhadapan dan siap untuk memasuki pertarungan. Meskipun sudah bertarung sekian lama dan bahkan jatuh bangun akibat serangan lawan, tetapi keduanya merasa masih menyimpan tenaga yang cukup untuk pertarungan yang lebih bersungguh-sungguh.
Kembali tubuh Ki Sekar Tawang melesat sambil kakinya melakukan tendangan samping yang dilambari tenaga cadangan yang cukup besar. Sambil terus melakukan gempuran ke arah lawan, Ki Sekar Tawang mulai menghimpun tenaganya dan mengetrapkannya sebuah ajian baru dalam setiap geraknya.
Pandan Wangi yang melayani Ki Sekar Tawang dengan hati-hati itu melihat perubahan gerak lawannya. Kini Ki Sekar Tawang tidak lagi terlalu sering menyerang dengan mengandalkan kecepatan sebagaimana di awal pertarungan, hanya saja tenaga serangannya terasa semakin besar dan angin yang menyertainya terasa sedikit dingin. Bahkan kini Ki Sekar Tawang tidak lagi selalu mengejarnya melainkan lebih banyak menunggu untuk menyambut serangannya.
Pandan Wangi segera meningkatkan kewaspadaannya, penurunan kecepatan dan peningkatan tenaga lawannya itu menarik perhatiannya.
“Mungkin ia sedang menghimpun kekuatannya sebelum melepaskan aji andalannya yang baru”, - desis Pandan Wangi dalam hati.
Kewaspadaan Pandan Wangi itu menyelamatkannya.
Ketika itu ia merasakan bahwa sambaran angin dari ayunan tangan lawannya membawa hawa yang semakin lama semakin dingin, sementara sambaran kakinya sama sekali tidak diikuti udara dingin. Maka perhatiannya kemudian lebih terpusat pada ayunan tangan Ki Sekar Tawang dan saat itulah mata batinnya melihat kedua telapan tangan itu seolah terbungkus oleh selaput tipis yang senantiasa menebar angin dingin.
“Telapak tangan itu menyemburkan udara dingin dan ayunannya bagaikan sebilah pedang yang tajam, mengiris dan membelah apapun yang disentuhnya”, - diam-diam Pandan Wangi membuat penilaian.
Tiba-tiba Pandan Wangi ingin meyakinkan penilaiannya, dalam sebuah kesempatan, dengan gerak cepat Pandan Wangi meraih dua helai daun kering yang tergeletak ditanah dan sengaja melemparkan daun itu pada garis lintas ayunan tangan Ki Sekar Tawang. Tanpa dapat dicegah, masing-masing daun itu terbelah menjadi dua bagian dengan penampang daun terlihat rapi, seolah di iris oleh pisau yang sangat tajam. Bukan di robek oleh telapak tangan.
Butir-butir keringat di dahi Pandan Wangi muncul semakin banyak.
Sementara itu di lingkaran yang lain Wahana terlihat berjuang mati-matian menghadapi keroyokan dua orang Paksi Wulung bersaudara. Adalah sebuah kebetulan bahwa ia mampu melindungi tubuhnya dengan ajian Lembu Sekilan dan bahkan telah menerapkan tenaga cadangannya dalam gerak dorong yang menyatu dengan aji Lembu Sekilan itu. Jika tidak, agaknya ia sudah terkapar sedari tadi.
Kedua lawannya benar-benar merupakah tokoh yang penuh dengan pengalaman dan berkemampuan sangat tinggi. Meskipun mereka belum mengeluarkan gerak atau ajian andalan, tetapi serangan yang terus menerus berbarengan yang dilambari tenaga cadangan yang besar membuat Wahana semakin lama semakin terdesak.
Tulang di beberapa bagian tubuhnya mulai terasa nyeri meskipun kulitnya sama sekali tidak terluka ataupun lecet akibat benturan-benturan yang keras. Sementara serangan kedua Paksi Wulung bersaudara itu sedemikian rapi dan seolah tiada henti serta menutup ruang geraknya.
“Jika begini terus, agaknya aji Lembu Sekilan akan bisa tertembus. Terpaksa aku harus menggunakan cara lain, meskipun mungkin akan menguras tenagaku”, - tiba-tiba Wahana mengambil sebuah keputusan.
Ketika ada kesempatan, Wahana segera melontarkan dirinya agak jauh kebelakang. Wajahnya terlihat menegang, kedua kakinya merenggang lebar sementara kedua tangannya bersilang didada.
Salam,

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...