Sunday, May 28, 2017

BSG - Bab 3 : Gilang Pamungkas Babak – 13

BALADA SWANDARU GENI
Bab 3 : Gilang Pamungkas
Babak – 13
Tetapi Wahana sama sekali tidak terlihat gentar meskipun harus menghadapi keroyokan dua orang aneh yang berkemampuan tinggi itu. Ia tidak menghindar melainkan justru memperberat bobot tubuhnya sehingga kedua kakinya seolah melekat dan menyatu dengan tanah yang dipijaknya. Sementara itu tangannya melakukan dua kali gerak tepisan yang menimbulkan suara mencicit akibat terbelahnya udara dengan tenaga cadangan yang keluar dari kedua tangannya.
Terdengar letupan-letupan kecil akibat terjadinya benturan yang tidak bisa mereka hindari. Serangan kaki Paksi Wulung bersaudara yang tiba mendahului gerak tangannya ternyata tidak bisa menyentuh sasaran sama sekali. Tubuh Wahana seperti dilindungi sebuah kekuatan yang tidak terlihat yang dengan langsung menolak dan membelokkan tendangan kaki Paksi Wulung bersaudara itu ke samping. Sementara masih diliputi keterkejutan, kedua tangan kedua orang aneh itu ternyata justru ditepis oleh sebuah tenaga yang sangat kuat sehingga mereka berdua terpaksa melontarkan tubuhnya jauh ke belakang untuk memunahkan kekuatan tepisan itu dan bahkan terpaksa membuat putaran di udara dua kali sebelum mendarat di tanah.
Kedua Paksi Wulung bersaudara itu terdengar menggeram keras, agaknya mereka menyadari kemampuan lawannya yang tinggi dan itu justru membuat mereka bergairah.
Sementara itu, Wahana ternyata tidak mempunyai kesempatan untuk mengejar kedua Paksi Wulung bersaudara itu lebih lanjut. Tiba-tiba saja kepalanya disambar secara bergantian oleh burung raksasa yang menjadi piaraan lawannya itu. Burung-burung itu terbang merendah dan melesat cepat dengan cakar-cakarnya yang tajam mengincar wajah dan kepala Wahana secara bergantian. Terpaksa Wahana merendahkan kepalanya dan mengangkat tangannya ke atas sambil melancarkan pukulan yang membawa angin mendesing kuat untuk mengusir burung-burung itu.
Jumlah burung yang teramat banyak itu ternyata cukup menyulitkan Wahana. Serangan yang meluncur dari tangannya seolah tidak berpengaruh pada ke sebelas burung itu, karena mereka menyambar dan langsung melesat menjauh dengan cepat secara bergantian dan terus menerus. Ia tidak dapat secara khusus menjatuhkan burung-burung itu satu persatu karena pada saat yang bersamaan, serangan yang sesungguhnya dan sangat berbahaya justru datang dari kedua Paksi Wulung bersaudara.
Waktu yang pendek disaat Wahana disibukkan oleh burung-burung peliharaannya itu dimanfaatkan kedua Paksi Wulung bersaudara untuk kembali menyusun dan melancarkan serangan yang ganas. Keduanya tetap melancarkan serangan sebagaimana serangan awal, yaitu mengincar bagian atas dan bawah secara bersamaan tetapi kini mereka menambahkan dan melambarinya dengan sebagian tenaga cadangan mereka. Gerakan dan serangan itu terlihat cepat dan sangat ganas.
Tak ayal, kembali terdengar letupan yang lebih keras dari sebelumnya dan kembali kedua Paksi Wulung bersaudara itu berjumpalitan ke belakang dan kali ini bahkan sambil mengumpat-umpat kasar.
“Gila, agaknya inilah aji Lembu Sekilan. Siapakah kau anak muda?”
Salah seorang dari mereka terlihat penasaran dan mengangkat dan menggoyang-goyangkan tangannya dengan gerakan tertentu seolah memberi isyarat agar burung-burung peliharaannya itu menghentikan serangannya kepada Wahana terlebih dulu.
Wahana menarik nafas dalam-dalam dan segera memperbaiki posisinya. Meskipun tubuhnya sama sekali belum tersentuh lawan, tetapi benturan yang terakhir barusan membuat tulang tubuhnya sedikit nyeri menandakan betapa besar tenaga cadangan dari dua Paksi Wulung bersaudara itu. Agaknya ia harus merubah gaya bertarungnya agar tidak selalu menjadi sasaran serang dari lawannya. Sambil memikirkan cara untuk menyerang, Wahana menjawab pertanyaan lawannya.
“Namaku Wahana Sari, Ki”, - jawabnya singkat.
“Gila, aku tidak peduli namamu. Siapakah gurumu?”
Bibir Wahana nampak tersenyum tipis. Meskipun usianya masih terhitung muda, tetapi ia cukup memahami watak seseorang. Dalam pandangannya, Paksi Wulung bersaudara ini mempunyai watak angkuh dan tinggi hati serta mudah tersinggung. Padahal sebagaimana nasehat yang sering didengarnya, dalam sebuah pertarungan dibutuhkan hati dan penilaian yang jernih atas lawan sehingga bisa mengambil keputusan yang tepat.
“Saat kemarahan memuncak, biasanya tandang seseorang akan kurang terkendali. Biarlah aku coba membuat mereka marah”, - desisnya dalam hati.
Tiba-tiba saja jiwa muda Wahana dipenuhi rasa usil.
“Eh, dasar manusia burung dungu! Apakah kalian tidak ingat aku lagi?”
Tanpa diduga Wahana membentak kedua Paksi Wulung bersaudara itu dengan suara yang keras hingga mereka kaget dan bahkan mundur setapak. Selama hidupnya agaknya kedua Paksi bersaudara ini tidak pernah menerima bentakan yang merendahkan semacam ini.
“Siapa kau?”, - pertanyaan itu meluncur dengan tiba-tiba dari mulut salah satu dari mereka.
Terdengar suara tertawa Wahana berderai.
“Dasar bodoh. Aku adalah kakek gurumu, masa kau lupa. Dasar cucu murid dungu!”
Betapa geram hati kedua Paksi Wulung bersaudara itu, mereka sadar agaknya pemuda itu sengaja mempermainkannya. Karena itu tanpa berkata apa-apa lagi kembali tangannya bergerak memberi perintah agar burung-burung peliharaannya itu kembali menyerang, sementara mereka juga mempersiapkan diri untuk memasuki pertarungan dengan lebih bersungguh-sungguh.
Dalam hal ini agaknya Wahana salah perhitungan, sebab Paksi Wulung bersaudara adalah tokoh yang sudah malang melintang dalam olah kanuragan. Sudah tak terbilang jumlah lawan tangguh yang mereka hadapi dan takhlukkan. Karena itu, meskipun hati mereka dipenuhi oleh kemarahan, tetapi tindakan mereka selalu terukur dan penuh perhitungan.
Sebuah suitan nyaring terdengar dari salah satu Paksi Wulung bersaudara itu dan kembali burung-burung raksasa itu melesat dan menyerang Wahana dengan suara ribut.
Ketika Wahana disibukkan dengan burung-burung raksasa yang menyambar wajah dan kepalanya, pada saat yang bersamaan Paksi Wulung bersaudara itu melancarkan sebuah serangan yang kali ini mengancam tubuh samping kiri bagian bawah dan samping kanan bagian atas. Kesiur angin yang ditimbulkannya kini terasa lebih menyengat tajam menandakan tenaga cadangan yang menyertainya juga semakin meningkat besar.
Sungguh keadaan yang sulit bagi Wahana, kali ini ia terpaksa mengambil keputusan untuk melindungi wajah dan matanya dari cakar burung-burung raksasa itu. Sementara ia juga dan harus menerima hantaman tangan dari dua Paksi Wulung bersaudara itu dengan mempercayakannya pada ajian Lembu Sekilan yang melindungi tubuhnya. Hal ini terpaksa ia lakukan karena sifat perlindungan aji Lembu Sekilan yang terbesar adalah di bagian leher ke bawah, sementara pada bagian kepala, perlindungan itu sangatlah tipis atau bahkan bisa dibilang tidak ada.
Tetapi Wahana tidak mau gerakannya sia-sia, sambil memperkuat daya tolak Lembu Sekilan dalam dirinya, tangan kanannya mengayun dengan gerak menebas sementara tangan kirinya menyambut cengkeraman salah satu burung raksasa yang menyambarnya. Tangan kiri itu kemudian terkatub cepat dan melakukan gerak remasan.
Pada saat yang bersamaan kedua serangan dari Paksi Bersaudara itu dengan telak mengenai sasarannya. Kaki kiri Wahana terhantam sapuan kaki lawan, sementara pinggang kanan Wahana terasa seolah berputar dan sangat nyeri akibat hantaman dan daya cengkeram lawan yang kukunya sangat tajam.
Lingkaran pertarungan itu dipenuhi dengan jerit kaget, rintih kesakitan dan suara kaokan burung yang memekakkan telinga.
Semuanya itu terjadi dalam waktu yang sangat cepat. Hanya sekejab!
Tangan kanan Wahana yang melakukan tebasan dan dilambari tenaga cadangan itu dengan telak mangenai salah satu burung raksasa yang akan menyambarnya. Dalam jarak sekitar satu depa, burung itu berkaok-kaok keras dan langsung terbanting di tanah, lalu diam tanpa mengeluarkan darah sama sekali. Sementara itu tangan kiri Wahana berhasil menangkap cakar burung yang lain dan langsung meremasnya hingga hancur sama sekali.
Burung itu berkaok-kaok kesakitan dan langsung terbang membumbung tinggi meninggalkan suara yang memekakkan telinga. Agaknya salah satu cakarnya yang hancur itu menyisakan rasa jeri sehingga ia terbang menjauh tidak berani mendekat lagi.
Sementara itu, pertahanan tubuh Wahana yang dilapisi ajian Lembu Sekilan ternyata tidak mampu menahan serangan dahsyat dan secara bersamaan oleh kedua lawannya itu. Meskipun serangan itu sempat tertahan dan bahkan dibelokkan akibat penerapan aji Lembu Sekilan, tetapi konsentrasi Wahana yang terpecah akibat serangan burung di kepalanya itu membuat pertahanannya terkoyak.
Apalagi serangan lawannya kali ini dilambari tenaga cadangan yang berlipat dari sebelumnya. Kaki dan pinggang Wahana seolah menerima hantaman tongkat sekeras besi sehingga tubuh Wahana terputar dan bahkan terbanting di tanah.
Hati Pandan Wangi dan Gilang serasa meledak melihat pemandangan itu.
Terlebih, sebelum Wahana sempat bangkit, dua ekor burung raksasa kembali berkelebat dan mengancam kepala Wahana yang belum mempersiapkan diri. Sungguh keadaan yang sangat mencekam.
Saat itulah Gilang mengambil keputusan nekad.
Salam,

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...