Sunday, May 28, 2017

BSG - Bab 3 : Gilang Pamungkas Babak – 18

BALADA SWANDARU GENI
Bab 3 : Gilang Pamungkas
Babak – 18
Tetapi sebelum pisau kecil itu melesat membelah udara siang yang panas itu, hatinya tersedak. Gilang merasa seolah ada yang menahan gerakannya. Dalam umurnya yang tergolong masih bocah itu, ada pemahaman bahwa Ibundanya saat ini sedang melakukan sebuah perang tanding melawan Ki Sekar Tawang, apapun hasilnya tidak boleh ada yang ikut campur. Adalah bukan sikap seorang ksatria seandainya ia harus mempengaruhi perang tanding itu dengan lemparan yang diluncurkan secara diam-diam meskipun itu mungkin menolong Ibundanya.
Sangat berbeda dengan yang dihadapi oleh Wahana tadi, yang justru sedang dikeroyok oleh dua orang lawan berikut burung-burung peliharaannya.
Karena itu Gilang membatalkan lemparannya dan kembali menurunkan pisau kecil yang tinggal satu-satunya itu. Disaat yang sama, matanya kemudian terbelalak ketika melihat Ibundanya melakukan sebuah gerakan indah dan sangat berbahaya yang membuatnya berdecak kagum.
Saat itu Pandan Wangi memang merasa tidak ada ruang untuk menghindar lagi dan keadaan itu sangat membahayakan dirinya. Tubuhnya terpelanting dan jatuh ke tanah, hanya saja disaat itu pula ingatannya melayang pada percakapannya dengan Agung Sedayu pada malam ia menyudahi laku terakhirnya.
“Wangi, laku yang telah kau jalani ini akan membawa pengaruh yang sangat besar atas kemampuan yang sudah kau miliki. Menurut Ki Jayaraga, ketika siang berpuasa sementara sore dan malam harinya kau hanya makan empon-empon saja, tanpa daging ataupun buah-buahan yang tumbuh dari pohon bagian atas, maka saat itu sesungguhnya kau sedang menyelaraskan getar dalam tubuh fisik dan psikismu dengan sifat-sifat alami tanah atau bumi. Bukankah semua empon-empon yang selama ini kau makan semuanya berasal dari tanah terpendam atau yang biasa kita sebut pala kependem?”
Kata-kata Agung Sedayu itu seolah tertiup dekat ditelinganya.
“Mungkin sekarang kau belum menyadarinya dengan penuh, tetapi penyelarasan inti bumi itu bisa kau bangkitkan disaat memerlukannya, bahkan bisa saja gerak naluriahmu akan membantu. Saat terbaik untuk penyelarasan dan penyerapan kekuatan inti bumi adalah ketika tubuhmu menyatu dengan tanah. Sementara untuk menyalurkannya kau tinggal mengungkapnya dengan kemampuanmu yang sudah kau miliki”
Semua ingatan itu melintas dengan sangat cepat di benak Pandan Wangi, seolah muncul mendadak kemudian pergi begitu saja.
Tidak ada waktu lagi untuk menimbang-nimbang, dan gerak naluriah Pandan Wangi telah menuntunnya untuk merebahkan tubuhnya terlentang di tanah menghadap ke langit, seolah tiada daya. Tetapi ketika hampir seluruh badannya terbaring ditanah itu, sesungguhnya Pandan Wangi sedang menghimpun niat dan tenaga cadangannya untuk menyerap kekuatan inti bumi.
Disaat itulah Ki Sekar Tawang mengaum dengan sangat keras, suaranya bergemuruh mengguncang arena pertarungan, sementara dengan gerak harimau yang garang, tubuhnya melesat cepat menerkam Pandan Wangi yang tergolek di tanah.
Ki Sekar Tawang yang kali ini sangat yakin bahwa lawannya tidak akan lolos sengaja mengerahkan segenap tenaga cadangannya. Kematian saudara angkatnya Ki Juwana dan kekalahan anak muridnya membuat hatinya waringuten. Tak ayal, tenaga serangan itu begitu dahsyatnya sehingga membawa hembusan angin yang sangat keras dengan suara menderu-deru.
Sebenarnyalah hatinya sangat kagum dan tertarik dengan sikap, kemampuan serta kejelitaan Pandan Wangi. Tetapi kenyataan yang dihadapinya sekarang ini seolah tidak memberinya pilihan selain harus melumpuhkan atau menghancurkan lawannya, siapapun itu.
“ Adalah sudah nasibmu harus tercabik-cabik dengan seranganku ini. Aku tidak akan menahan diri lagi”, - hati Ki Sekar Tawang seolah berteriak kencang.
Dalam gerak terkaman yang meluncur sedemikian cepatnya, Ki Sekar Tawang sempat mengamati apa yang dilakukan lawannya yang dengan cepat mengambil sikap terlentang dan tergolek ditanah. Hanya saja ia tidak perduli dengan gerak lawan lebih lanjut karena gerak terkamannya sudah sedemikian dekat. Terlebih Ki Sekar Tawang mempercayakan dirinya pada ajian yang mampu membuat tulangnya sekeras besi serta kulit tubuhnya yang mempunyai daya pental sangat tinggi.
Terjadilah sebuah benturan yang sama sekali tidak diperkirakan oleh Ki Sekar Tawang.
Dengan tubuh terlentang menghadap ke atas dan disaat yang sangat tepat, tiba-tiba saja kedua kaki Pandan Wangi bergerak cepat ke atas menyambut dan menyusup diantara kedua tangan lawan dan langsung bersarang di dada Ki Sekar Tawang. Dengan punggung masih bersandar di atas tanah disertai penyerapan atas tenaga inti bumi yang mampu diserapnya, maka tendangan kedua kaki Pandan Wangi itu sesungguhnya mempunyai kekuatan yang sangat dahsyat.
Ki Sekar Tawang agak terkejut melihat gerak cepat lawannya, tetapi ia sama sekali tidak berniat membatalkan serangannya ataupun menahan daya luncurnya. Dengan keyakinan penuh ditingkatkannya perisai yang melindungi tubuhnya baik melalui pengerasan tulang maupun daya pental pada kulitnya untuk menerima serangan Pandan Wangi.
Kembali udara terbuka itu dipenuhi suara ledakan dan teriakan keras akibat terjadinya benturan ilmu antara kedua orang yang sedang bertarung itu. Kedua kaki Pandan Wangi yang mempunyai daya jangkau lebih panjang dibandingkan kedua tangan lawannya itu mampu bersarang didada Ki Sekar Tawang terlebih dahulu.
Adalah suatu hal yang sangat mengherankan dan mengejutkan bagi Ki Sekar Tawang. Ia sama sekali tidak menyadari bahwa Pandan Wangi mampu menyerap kekuatan inti bumi hanya dalam waktu yang sangat pendek. Dengan tubuh yang terbaring menyentuh tanah, kekuatan inti bumi terserap dengan lebih cepat sementara sifat-sifat tanah mengiringi serangan yang terlontar melalui kedua kaki Pandan Wangi.
Tanah mempunyai sifat menawarkan berbagai hal yang bersifat negatif atau merusak. Layaknya ketika besi membara di hujamkan ke dalam tanah, dalam sekejab tanah mampu menawarkan daya panas itu hingga berkurang dengan cepat.
Demikian pula yang terjadi dalam benturan ilmu itu, ajian Ki Sekar Tawang seolah teredam oleh sifat-sifat inti bumi yang disalurkan melalui kedua kaki Pandan Wangi, yang membuat kekerasan dan daya pentalnya berkurang banyak bahkan seolah-olah tidak bekerja. Tak pelak, tubuh Ki Sekar Tawang terlempar ke udara sedemikian tinggi dan jauh, sementara serangannya tiada sempat menyentuh tubuh Pandan Wangi sama sekali.
Serangan kedua kaki Pandan Wangi itu selain mengandung sifat inti bumi juga dilambari tenaga cadangan yang cukup besar sehingga Ki Sekar Tawang merasa nafasnya bagaikan tersumbat. Kepalanya seperti berputar-putar, tulang-tulang di dadanya bagaikan retak sementara tubuhnya terlontar tinggi tak terkendali dan kemudian jatuh bagaikan layang-layang putus. Dengan keras tubuh itu terbanting ke tanah dan berguling beberapa kali.
Tetapi Ki Sekar Tawang memang tokoh linuwih, betapapun sulit keadaannya ia berusaha bangkit meski sambil mengerang dan tertatih-tatih. Wajahnya terlihat pucat sementara bajunya dipenuhi debu tanah akibat jatuh bergulingan. Hanya saja caping lebarnya ternyata masih tersangkut di lehernya, seutas tali kecil melingkar dilehernya sehingga caping itu tidak terlepas.
Sementara itu Pandan Wangi tidak luput dari kesulitan pula. Gerak yang tergesa-gesa, baik dalam penyerapan tenaga inti bumi maupun dalam menghimpun tenaga cadangan yang kemudian tersalur lewat kedua kakinya, membuat ia tidak bisa lepas sepenuhnya dari pengaruh serangan lawan. Kedua kakinya bagaikan membentur lembaran baja yang sangat keras dan bahkan lembaran baja itu juga memukul baik dirinya sehingga tubuhnya bagaikan di banting dan di benamkan ke dalam tanah. Pukulan balik itu sangat keras sehingga tulang-tulang di punggungnya terasa ngilu akibat benaman dan gesekan dengan tanah.
Dengan mata yang sedikit berkunang-kunang dan sambil menahan nyeri di punggungnya, Pandan Wangi segera bangkit dengan penuh kewaspadaan. Dilihatnya sekilas, tanah tempat tubuhnya berbaring itu melesak ke dalam serta meninggalkan bekas yang cukup jelas terutama di bagian punggungnya. Tetapi ia merasa bahwa keadaannya tidak lebih buruk dari keadaan lawan.
Ketika Pandan Wangi sudah mampu berdiri tegak, Ki Sekar Tawang yang berjarak cukup jauh, sekitar enam tombak juga sedang berusaha untuk memperbaiki dirinya. Pengalaman yang tertimbun bertahun-tahun dalam dirinya sangat membantunya sehingga ia bisa berdiri tegak ketika pandangan Pandan Wangi menatapnya.
Tetapi Pandan Wangi sengaja tidak mengejarnya dengan serangan susulan. Hal ini menguntungkan Ki Sekar Tawang yang segera memanfaatkannya untuk mengalirkan udara di dalam tubuhnya. Aliran udara itu mengusap dan mengurangi rasa sakit di sekitar tulang serta bagian-bagian tubuh yang lain.
“Ajian apakah yang dipergunakan oleh perempuan tangguh ini sehingga mampu menahan Aji Penthal Waja yang sudah aku trapkan dengan kekuatan penuh?”, - hati Ki Sekar Tawang mendesah.
Sementara itu, sebagaimana sifat dasarnya yang lebih banyak menunggu, Pandan Wangi memang tidak mempergunakan kesempatan itu untuk terus mengejar lawan. Ia memilih memperbaiki keadaan tubuhnya agar siap untuk pertarungan berikutnya. Dalam waktu yang pendek matanya sudah tidak lagi berkunang-kunang dan rasa nyeri di tulang punggungnya juga sudah banyak berkurang.
Tidak berselisih lama, ternyata Ki Sekar Tawang juga sudah merasa siap untuk melanjutkan pertarungan. Dalam jarak yang masih cukup jauh, tiba-tiba caping lebar itu sudah berpindah ke tangan kanannya dan dalam sekejab mata caping itu sudah menderu-deru meluncur sambil berputar cepat menyambar tubuh Pandan Wangi dengan ganasnya.
Adalah hal yang mengejutkan hati Pandan Wangi, bahwa selain caping lebarnya yang menderu-deru berputar yang sekarang mengancam keberadaannya, ternyata tubuh Ki Sekar Tawang juga melesat dan melakukan serangan ganas mengancam kepalanya. Gerakannya seolah berbarengan dan saling mengisi dengan lemparan caping yang membidik dadanya!
Salam,

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...