Wednesday, May 31, 2017

#NulisRandom2017
START-UP BIZ
Day-1

“Yak apa ini mas, bisnis-ku layu sebelum berkembang. Bahkan ini terancam bubar!”, - suara Lukita di Hp terdengar memelas.
Bian menarik nafas dalam-dalam, sambil berjalan mengelilingi ruangan ia memutar otaknya. Agak sulit baginya untuk memberi saran karena ia sendiri merasa masih miskin pengalaman dan bahkan bukan penggemar kopi yang menjadi ‘core’ bisnis adik semata wayangnya itu.
Sejak awal sebenarnya Bian sudah memperingatkan Lukita agar berhati-hati dan membuat ‘biz-planning’ yang matang terlebih dahulu sebelum terjun di dunia bisnis. Hanya saja karena ini termasuk dalam mata kuliah ‘E-2’ (Enterpreneur Biz – Semester 2), maka pelaksanaannya secara berkelompok dan tidak bisa ditunda terlalu lama.
“Lho mas, ntar kalau kelamaan mikir malah peluang ini diambil orang lain. Stella sudah pernah ikut seminar tentang bisnis oleh Motivator yang sangat terkenal itu lho…intinya nekad saja dulu, tabrak saja, kerjakan dan jalani dulu…nanti feel-nya akan dapat dan kalau ada kesalahan kita perbaiki sambil jalan”, - ungkapan Lukita yang penuh keyakinan itu kini kembali terngiang di telinga Bian.
Mata Bian tiba-tiba beralih dan menatap ”Dart-Board” yang menempel di dinding ruang kerjanya. Tangan kanan-nya terangkat kedepan setinggi dada dan ditelapak tangannya kini ia menggenggam sebatang anak panah kecil.
“Ah, virus entrepreneur itu sudah menjalar bahkan pada anak usia belasan tahun. Hanya saja secara mental Lukita dan teman-temannya masih belum siap menghadapi rintangan apalagi kegagalan. Para Motivator itu lebih banyak memberi iming-iming, mengulas peluang dan nikmatnya sebuah keberhasilan, sementara potensi kegagalan hanya di poles sekedarnya”, - Bian setengah menggerutu dalam hati.
Tangan kanannya terayun cepat dan anak panah kecil itu melesat sambil meninggalkan suara mendesis pelan akibat udara yang tersibak oleh luncurannya. Anak panah kecil yang pangkalnya diberi sedikit pemberat berupa rumbai-rumbai itu menancap di dalam lingkaran berwarna-warni yang dipenuhi angka-angka. Ujungnya terhimpit diantara dua garis lingkaran yang menjadi sasaran bidik, tepat dibawah angka 20…..double bull.
“Mas…yak opo iki?”, - suara Lukita di HP terdengar setengah berteriak.
“Sik ta lah…mikir ini. Kamu dimana dik?”
“Kampus!”
“Masih puasa?”
“Mokel mas…tadi sekitar jam 12 ternyata aku haid”
“Walahh…”
Meski hanya berbicara via telepon, tetapi Lukita bisa merasakan bahwa kakaknya itu sedikit kaget sambil menggaruk-garuk kepala seperti kebiasaannya.
“Kenapa mas?”, - tanya Lukita mengejar.
“Wis, pulang saja dulu Luk…kalau kondisi begini kamu jelas gak bisa mikir jernih. Bahkan gak akan terima semua saranku…PMS tahu!”
“Maasss… aku ini perlu saran! Ini penting dan sebentar lagi mau tak bicarakan sama te…”
“Klik”
Suara Lukita yang nyerocos terpaksa berhenti di tengah jalan, agaknya Bian sengaja memutuskan sambungan telpon itu.
Hati Lukita bertambah galau, padahal ia harus menyusun alasan agar teman-temannya bisa bertahan dengan bisnis yang baru mereka tekuni selama hampir dua bulan ini. Ia bermaksud menelpon Bian lagi sebelum kemudian HP-nya berbunyi dan sebuah pesan WA masuk dari Bian.
“Saat hati dipenuhi kegalauan, emosi ataupun kemarahan…jangan terburu-buru membuat kesimpulan apalagi keputusan! Sudah pulang saja dulu…..ini tak belikan Nasi Bebek Prapat Kurung”
Tiba-tiba Lukita merasakan ada tetesan-tetesan sejuk yang mengusap hatinya. Bian selalu tahu bagaimana mendinginkan hati dan perasaannya.

Salam,

https://www.facebook.com/pudjo.riswantoro/posts/10208758004176184

Sunday, May 28, 2017

BALADA SWANDARU GENI - EL-CONDOR PASA - Sisipan

BALADA SWANDARU GENI
EL-CONDOR PASA
Sisipan


Sebenarnya ini adalah lagu rakyat Peru, hanya Simon N Garfunkel membuatnya mendunia…
Ketika lagu itu mengalun, yang terbayang adalah dataran maha luas yang hijau bercampur batu raksasa yang maha keras. Langit membiru dihiasi beberapa titik hitam yang bergerak perlahan yang menandakan kehadiran sang raja angkasa dengan kepak sayapnya, Rajawali.
Di pertengahan th-70-an, lagu/instrument ini senantiasa menjadi opsi wajib yang selalu diputar menjelang sabtu tengah malam, sebelum diputarnya ‘film akhir pekan’. Sebagian dari kita yg tertidur bahkan kemudian bangun akibat belaian lagu ini..
Lagu ini sangat melodius dan mengandung nilai magis yang tidak terbantahkan…..alam bawah sadarku melipat -nya erat sebagai sesuatu yang hanya kunikmati ketika masa kecil..
Puluhan tahun kemudian, aku sudah melupakan lagu ini..
Kemarin, seorang teman mengingatkan untuk mulai melaksanakan sholat tarawih di Jum’at (nanti) malam. Aku mengiyakan saja karena hal itu sudah aku ketahui dan memang setiap menjelang Ramadhan kita selalu melakukannya. Tidak ada yang spesial.
Tetapi, ketika aku mematikan lampu dan mulai membaringkan badan…..lagu itu hadir dengan tiba-tiba!! Menggetarkan alam bawah sadarku, begitu membelai, melodius dan penuh daya magis…. Lagu ini melemparku ke masa puluhan tahun silam ketika sarung adalah teman keseharian..
Kenangan masa kecil ketika menyalakan oncor dan berpawai menyambut bulan suci…
Saat peci terjatuh dan kita perlakukan sebagai benda suci yang harus kita cuci berkali-kali…
Saat mempertahankan puasa agar tidak kalah dengan teman lain meskipun wajah sudah pucat pasi…
Saat yakin para setan sudah terkunci sehingga kita berani melewati rumah kosong pak Carik yang menjadi sarang banaspati…
Ah…Ramadhan memang penuh daya magis…
(Halahh…wong arep nulis tentang Ramadhan ae koq muter-muter sampai Peru… )
Jangan salahkan aku kalau kesadaran itu justru muncul dari lagu yang puluhan tahun terendam dalam alam bawah sadarku. Aku tidak memintanya…..ia datang dengan tiba-tiba…
Yang pasti aku akan memasuki bulan Ramadhan ini dengan penuh kesadaran dan berharap daya magis-nya akan melindungi kita semua selaku keluarga besar. Aku akan ber-kontemplasi, hijrah menghindari dan menjauhkan nafsu diri.
Karenanya, selama bulan Ramadhan, serial - BALADA SWANDARU GENI – sebaiknya libur agar kita semua mampu memaknai bulan yang penuh barokah Ini dengan lebih baik…
MARHABAN YAA RAMADHAN
SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA RAMADHAN
Semoga Allah senantiasa membimbing kita semua sehingga bisa melewati bulan yang penuh ampunan, rahmat dan barokah-Nya. Marilah kita sambut bulan ini dengan penuh keihklasan…   
Banyak salam,
Music video by Simon & Garfunkel performing El Condor Pasa (If I Could) (Audio). (C) 1970 Sony Music Entertainment

BSG - Bab 3 : Gilang Pamungkas Babak – 22

BALADA SWANDARU GENI
Bab 3 : Gilang Pamungkas
Babak – 22


--------------------------------
Mohon ijin kangmas, mbokayu…
Ternyata banyak yang penasaran dengan kemunculan ‘pemuda berwajah terang’ yang hendak membantu Wahanasari…dan ternyata hampir semua tebakan salah… duhhh…. Ada yg nebak anak Untara, Glagah Putih, Sabungsari bahkan Sukraaa wkwkwkk…. padahal di babak-20 sudah sy singgung adanya hubungan antara Wahana dengan tokoh pemuda berwajah terang ini…
Apresiasi yang tinggi pantas di hadiahkan kepada beliau yang paling jeli yaitu Ki Ageng Suryadi yang menebak dengan sangat tepat bahkan berikut ajian Narantaka yang jadi andalan sang tokoh.
Sebagai bentuk apresiasi, Ki Ageng Suryadi pantas menerima hadiah dari kami, yaitu sepotong handuk kecil yang akan kami kalungkan dileher. Selamat nggih Ki Ageng,…untuk becak-nya mohon beli sendiri…..sementara kami akan bantu carikan penumpang/langganan di sekitar alun-alun kidul….
Sugeng ngengkol nggih wkwkwkkkk……   
Nuwun…
-------------------------------
Pandan Wangi termangu-mangu, sementara pemuda tanggung berwajah terang yang tiba-tiba saja sudah berdiri disebelahnya terlihat menyunggingkan senyuman lebar. Kedua alisnya hitam tebal, sementara diatas bibirnya justru dihiasi dengan seleret kumis tipis yang membayang kebiruan, kulit wajahnya cenderung bersih sehingga perpaduan itulah yang membuat wajah itu begitu terang berseri.
Belum sempat Pandan Wangi mengajukan pertanyaan, ternyata Ki Widura dengan tertatih-tatih mendekat dan menyapa pemuda tanggung berwajah terang itu.
“Ah, agaknya Raden Bagus Wanabaya sudah bosan berada di padepokan Jati Anom sehingga harus menyusul kami. Maaf Raden, ternyata perjalanan kami tidak selancar yang kami perkirakan”, - berkata Ki Widura.
Terdengar suara tertawa pemuda tanggung yang oleh Ki Widura di panggil Raden Bagus Wanabaya itu.
“Aku bukannya bosan Kek, aku hanya mengikuti para cantrik dan sudah sejak siang berada di daerah ini. Ternyata disini semua mendapatkan pengalaman yang menyenangkan, sementara aku hanya menjadi penonton. Kakek Widura, sekarang biarlah aku membantu kakang Wahana”
Tanpa menunggu jawaban ataupun menoleh lagi, Raden Bagus Wanabaya itu langsung melangkah mendekati lingkaran pertarungan antara Wahana melawan dua Paksi Wulung bersaudara. Sementara Pandan Wangi dengan wajah keheranan berbisik kepada Ki Widura.
“Siapakah pemuda itu paman?”, - tanyanya dengan suara pelan.
Sambil mengajak Pandan Wangi untuk sedikit mundur, Ki Widura menjawab -,” Wangi, Raden Bagus Wanabaya adalah cucu Panembahan Senopati. Ibundanya adalah putri Panembahan Senopati yang tertua, yaitu Raden Ayu Sekar Pambayun sementara ayahandanya adalah penguasa Mangir kala itu”
Ki Widura tiba-tiba saja berhenti sesaat, sementara Pandan Wangi seolah baru saja di ingatkan akan sebuah cerita yang pernah didengarnya dan belun jelas kebenarannya.
“Jadi, apakah ayahandanya adalah Ki Ageng Mangir yang kemudian tewas itu paman?”, - suara Pandan Wangi seolah minta penegasan.
“Ya, benar”, - jawab Ki Widura dengan suara yang juga lirih -,”Karena ayahandanya meninggal, sejak kecil Raden Bagus Wanabaya telah ikut dan dalam asuhan Pangeran Benawa. Angger Wahana adalah teman sepermainan dan bahkan saudara seperguruannya”
Pandan Wangi tidak bertanya lagi, membicarakan asal-usul pemuda tanggung berwajah terang serta berdarah bangsawan itu seolah menimbulkan rasa enggan. Ia kini berdiri di samping Gilang sambil memandang lurus ke depan.
Sementara itu tanpa banyak pembicaraan ternyata Raden Bagus Wanabaya telah mengambil salah seorang dari dua bersaudara itu yaitu Paksi Wulung Muda. Dengan gerak keras Raden Bagus Wanabaya memaksa Paksi Wulung muda itu agar melayani serangannya sehingga dia akhirnya terpisah jauh dari kakaknya Paksi Wulung Tua. Padahal sesungguhnya ilmu mereka itu adalah ilmu gabungan yang memanfaatkan kesamaan simpul saraf pikiran, otak dan tindakan maupun semua yang mengalir dalam darah dan tubuh mengingat mereka adalah saudara kembar dengan kesamaan yang hampir bisa dikatakan sempurna. Kekuatan ilmu itu akan mencapai puncaknya jika mereka berdua bertarung secara bersama-sama.
Kini masing-masing berhadapan dengan satu lawan dalam jarak yang cukup jauh dan agaknya akan sulit untuk melakukan kerja sama sebagaimana sebelumnya. Keseimbangan pertarungan itu berubah dengan cepatnya.
Sementara itu, Gilang yang melihat kemunculan pemuda tanggung yang kini tengah bertarung itu merasakan kekaguman yang besar dalam dirinya.
“Raden Bagus Wanabaya itu mungkin hanya sekitar lima-atau enam tahun diatasku. Akan tetapi melihat kemampuannya yang ternyata tidak dibawah paman Wahana, aku benar-benar terkesan. Aku akan berlatih keras agar bisa menyusulnya”, - Gilang bergumam dalam hatinya - ,”Aku akan bujuk ibunda agar mau berkunjung ke Tanah Perdikan Menoreh. Disana aku akan bisa mendapat banyak petunjuk dari paman Agung Sedayu yang katanya kalau malam hari lebih banyak di rumah. Disana juga ada paman Glagah Putih sehingga bisa sering berlatih bersama-sama. Kalau aku terus berada di Sangkal Putung, maka perkembanganku tak ubahnya jalan seekor siput”
Gilang mengangkat wajahnya ketika terdengar ledakan keras disusul teriakan nyaring dari mulut kedua Paksi Wulung bersaudara. Keduanya terlontar dan terbanting di tanah dalam jarak yang berjauhan, akan tetapi tanah tempat mereka sekarang terbaring diam itu menampakkan gejala yang sama, yaitu adanya lubang menganga yang cukup lebar akibat lepasnya ajian Daya Klungsu!
******
Sementara itu di Kademangan Krikilan, dimar dan sentir mulai di nyalakan untuk memberi penerangan di beberapa bilik dan juga pendapa. Suasana kademangan secara keseluruhan sudah mulai tenang tetapi masih diliputi duka cita yang mendalam karena meninggalnya beberapa warga dalam kejadian yang baru saja menggemparkan seisi kademangan itu.
Kiai Garda baru saja menyelesaikan kuwajibannya dan berniat untuk turun dari pendapa kademangan sebelum tiba-tiba saja dengan langkah tergesa-gesa Nyi Sulastri menghampiri. Wajahnya terlihat tegang dan bahkan dari jarak yang masih cukup jauh ia sudah berkata setengah berteriak.
“Kiai…Ki Gupala, paman…”, - suaranya gugup, nadanya penuh kecemasan.
“Ada apa Lastri? Bukankah Ki Gupala tadi sempat tidur setelah siangnya kau suapi bubur hangat”, - wajah Kiai Garda menampakkan keheranan.
“Itu tadi Kiai, sekarang…”
Nyi Sulastri yang sudah berdiri dekat dengan Kiai Garda berusaha mengatur nafasnya, sementara Kiai Garda agaknya cukup tanggap akan keadaan sehingga ia langsung kembali naik ke pendapa sambil berkata.
“Baiklah, biarlah aku lihat keadaan Ki Gupala sebentar”
Nyi Sulastri tidak menjawab tetapi langkah-langkah kecilnya langsung mengikuti di belakang Kiai Garda.
Bilik dimana Swandaru beristirahat cukup luas dengan penerangan yang cukup. Ketika melangkah masuk, kening Kiai Garda berkerut ketika melihat betapa Swandaru Geni berbaring dengan posisi meringkuk. Wajahnya terlihat kembali memucat dan dipenuhi dengan butiran keringat yang semakin lama semakin banyak, sementara nafasnya agak kurang teratur.
Ketika punggung tangan Kiai Garda mencoba menempel di leher Swandaru, dirasakannya suhu badan tamu yang dikenalnya dengan nama Ki Gupala itu kembali panas sebagaimana pertama kali ia terluka dan dalam perawatannya.
Wajah Kiai Garda berkerut seolah sedang dipenuhi berbagai pertanyaan.
“Mengapa kondisinya kembali melemah seolah pengobatan sebelumnya sirna dengan seketika? Apakah yang sedang menimpa Ki Gupala ini?”
Sementara Swandaru yang menyadari akan kehadiran Kiai Garda itu tidak banyak bergerak. Ia merasakan tubuhnya panas menggigil, sementara aliran darahnya seolah saling bertabrakan. Terlebih ketika sebuah tangan halus berulang-kali mengusap keringat di dahinya menggunakan kain setengah basah.
Jantung Swandaru seolah sedang berpacu.
Salam,

BSG - Bab 3 : Gilang Pamungkas Babak – 21

BALADA SWANDARU GENI
Bab 3 : Gilang Pamungkas
Babak – 21

Tanpa menimbulkan suara, tubuh Pandan Wangi berkelebat seolah bayangan mengitari lawan. Kakinya sekali-kali menyentuh tanah sementara sambil bergerak, pedangnya mulai melakukan ayunan menyamping atau mengiris lawan. Ia tidak melakukan ayunan langsung ataupun tusukan lurus karena masih ingin menjajagi apakah pedangnya masih akan membentur dinding yang keras serta mampu memukul balik dirinya.
Ki Sekar Tawang sempat terperanjat melihat gerak Pandan Wangi yang melayang tanpa ancang-ancang dengan kecepatan yang tidak sewajarnya. Dalam waktu sekejab Pandan Wangi sudah begerak mengitari tubuhnya beberapa putaran dan yang membuat dada Ki Sekar Tawang berdegup kencang adalah ketika matanya tiba-tiba saja menangkap puluhan bahkan ratusan tangan sedang mengayunkan pedang tipis dengan gerak mengiris mengancam bagian-bagian tubuhnya pada saat yang bersamaan!
“Bukan main perempuan ini”, - Ki Sekar Tawang tanpa sadar mengeluarkan keringat dingin.
Dengan hati mencelos Ki Sekar Tawang terpaksa melakukan gerak melingkar untuk menghindari serangan yang seolah datang melandanya dari semua arah itu. Sebenarnya ia yakin akan mampu mengenali satu serangan sesungguhnya yang akan mengancam tubuhnya, hanya ia memang memerlukan waktu meskipun hanya sekejab. Sayangnya Pandan Wangi sama sekali tidak memberinya waktu yang sekejab itu.
Sambil bergerak menghindar tangan Ki Sekar Tawang meraih sesuatu di balik bajunya. Kini di tangan kanannya telah tergenggam sebuah trisula bermata tiga berpamor kebiru-biruan. Tubuhnya berputar cepat sementara tangan kanannya melakukan gerak menangkis dan berusaha memerangkap pedang lawan agar terjebak di antara libatan ujung mata trisulanya untuk kemudian diputar agar terlepas dari tangan lawan. Sementara tangan kiri Ki Sekar Tawang masih menebar udara dingin sambil mencari kesempatan menyerang lawan.
Tetapi Pandan Wangi yang melihat jenis senjata lawannya itu ternyata langsung maklum dan tahu bagaimana cara menghadapinya agar senjatanya tidak terperangkap. Yang terdengar kemudian adalah suara berdenting puluhan kali disertai percikan bunga api di udara disusul tubuh keduanya yang terlontar mundur mengambil jarak cukup jauh.
Meskipun tubuh Ki Sekar Tawang menebar hawa dingin, tetapi wajahnya terlihat kemerah-merahan akibat tekanan lawan. Ia benar-benar tidak menyangka akan menghadapi perlawanan yang sedemikian uletnya dari seorang perempuan yang tidak terlalu diperhitungkannya.
Sementara wajah Pandan Wangi terlihat juga semakin memerah, akibat pengerahan hawa murni dalam tubuhnya untuk melawan hawa dingin yang ditebar lawan. Dalam benturan senjata yang terjadi puluhan kali tadi, ia merasakan betapa hawa dingin itu tidak hanya menusuk kulitnya melalui angin serangan lawan, melainkan juga merasuk ke bagian dalam tubuhnya melalui benturan senjatanya. Seandainya ia terlambat untuk membuka simpul saraf untuk membangkitkan hawa panas dalam tubuhnya, maka hasilnya akan lain.
Tetapi Pandan Wangi masih ragu apakah lawannya telah melepas Aji Penthal Waja yang mampu membuat tulangnya begitu keras dan bahkan membalikkan serangan. Kenyataan bahwa Ki Sekar Tawang cenderung menghindari ujung pedangnya dan bahkan kemudian mengeluarkan senjata trisulanya untuk menangkis setiap serangan itu tidak berarti bahwa lawan telah melepas ajian Penthal Waja. Hal ini membuat Pandan Wangi berpikir keras dan menyusun sebuah serangan yang terencana.
“Aku tidak boleh tergesa-gesa, aku harus mencari saat yang tepat sebelum melepaskan serangan mematikan ke arah lutut bagian dalamnya. Aku yakin, itu adalah bagian terlemahnya bahkan seandainya masih dilindungi oleh aji Penthal Waja sekalipun”, - Pandan Wangi berkata dalam hatinya.
Tanpa menunggu lebih lama, kembali tubuh Pandan Wangi berkelebat menyerang lawannya. Beberapa kali Pandan Wangi bahkan melakukan gerak kembangan untuk mengelabuhi pandangan Ki Sekar Tawang yang kini merasa seolah sedang di kepung dan diserang oleh ratusan bahkan ribuan tubuh dengan kedua tangan yang terayun-ayun cepat mengayunkan pedang dengan bunyi mendesing tak berkesudahan. Jumlah tubuh dan tangan yang menyerang dari segala arah itu benar-benar membuat Ki Sekar Tawang harus memusatkan seluruh perhatiannya agar bisa menangkis dan menghindari serangan dengan tepat. Kini ternyata suara pedang Pandan Wangi yang terus terayun dilambari tenaga cadangan itu menimbulkan suara mendesing dan mulai menyakiti telinganya.
Pandan Wangi seolah berubah menjadi ribuan burung Srigunting yang selain bergerak cepat juga bersuara mencicit tanpa henti. Ia berusaha mengurangi kemungkinan benturan dengan senjata lawan karena agaknya itu akan kurang menguntungkan bagi dirinya.
Sementara Ki Sekar Tawang masih berusaha melayani serangan yang datang membadai itu dengan tenang. Ia mulai meningkatkan tenaga cadangan yang melambari setiap ayunan tangan maupun trisulanya sehingga hawa dingin yang diitimbulkannya semakin lama semakin menggigit. Angin berhawa sangat dingin yang ditimbulkan dari ayunan tangannya bahkan terasa oleh mereka yang berdiari agak jauh dari arena pertarungan.
“Ajian seribu bayanganmu ini hanya merepotkan Nyi, akan tetapi tidak akan mampu merobohkan aku”, - geram Ki Sekar Tawang.
Pandan Wangi yang mendengar perkataan lawannya itu tidak menyahut. Ia mengakui bahwa pengamatan Ki Sekar Tawang cukup baik sehingga setiap ayunan pedang rangkapnya yang nampaknya berjumlah ratusan bahkan ribuan itu ternyata mampu dihindari atau ditangkis lawannya dengan baik.
Bahkan kini giliran Pandan Wangi yang terperanjat ketika Ki Sekar Tawang merubah gaya bertarungnya.
Selain tenaga dan hawa dingin yang semakin bertambah, Ki Sekar Tawang tiba-tiba saja cenderung bergerak dengan cara memutar tubuhnya ke kiri bagaikan gasing. Ia seakan tidak peduli akan serangan yang mengarah kepadanya tetapi pada kenyataannya semua ayunan pedang rangkap Pandan Wangi selalu tertepis dan bahkan menyisakan rasa dingin yang semakin merasuk hingga ke kulit, daging dan bagian dalam lawan.
Gerakan memutar bagai gasing ini ternyata menyulitkan Pandan Wangi untuk mengarahkan serangannya. Terlebih kini tubuh di sekitar Ki Sekar Tawang seolah dilapisi uap dingin yang tebal yang membuat orang biasa akan menggigil karenanya.
Pandan Wangi yang kini merasakan tekanan balik terpaksa harus berjuang dan berpikir keras untuk melihat kelemahan lawannya. Tetapi ia sama sekali tidak ingin merubah rencana awalnya dan hanya mencari kesempatan untuk melakukannya disaat yang tepat.
Demikianlah, pertarungan diantara mereka menjadi semakin sengit, silih-ungkih singa-lena. Peluh bercucuran dan tenaga mereka berdua sedikit demi sedikit mulai menyusut. Ki Sekar Tawang yang sebenarnya mempunyai kelebihan tenaga terpaksa harus banyak menghamburkannya untuk melakukan gerak putaran bagai gasing disamping tenaga cadangannya yang semakin terkuras untuk menebar hawa dingin.
Mendadak Pandan Wangi melentingkan tubuhnya ke arah yang sama sekali tidak disangka-sangka lawan. Tubuhnya bagaikan seekor lalat yang mampu hinggap di punggung banteng lalu dengan cepat pindah ke kaki belakang lalu ke kepala atau bahkan wajah banteng itu sendiri. Tanpa dapat dicegah ribuan bayangan pedang rangkap seolah datang membadai mengancam ke seluruh bagian tubuh Ki Sekar Tawang disaat yang bersamaan. Ayunan pedang rangkap Pandan Wangi terlihat berkeredep akibat pantulan matahari sore yang hampir tenggelam diikuti suara mendesing yang semakin tajam. Benar-benar sebuah serangan yang mematikan!
Terdengar Ki Sekar Tawang menggeram, ia sadar bahwa Pandan Wangi tidak akan memberinya ruang gerak lebih luas. Tidak banyak pilihan, ia segera mengerahkan tenaga cadangannya hingga ke puncak dan putaran tubuhnya yang bagai gasing itu semakin cepat diiringi hembusan hawa dingin yang mulai terasa membeku.
Tiba-tiba gerak gasing itu berhenti seketika, trisula ditangan kanan Ki Sekar Tawang terlihat teracu ke atas seolah hendak menusuk langit. Disaat yang sama kaki kirinya di tekuk keatas sambil tangan kirinya melakukan gerak sembah didada. Ini adalah gerak persiapan untuk melepas ajian andalannya sebelum membentur serangan Pandan Wangi yang datang membadai. Agaknya Ki Sekar Tawang menyadari bahwa kali ini lawannya akan melancarkan sebuah serangan mematikan dan karena itu ia menghimpun seluruh tenaga cadangannya hingga ke puncak. Benturan yang akan terjadi kali ini akan menentukan siapa yang lebih unggul. Dengan tubuh yang diselimuti uap putih dan kembali berlindung pada ajian Penthal Waja Ki Sekar Tawang terlihat hendak memapaki serangan Pandan Wangi.
Saat itulah Pandan Wangi juga berniat melepaskan semua rencana serangannya. Ia sudah memperhitungkan akibat dari benturan-benturan awal yang mungkin terjadi, saat itulah ia merencanakan untuk bergerak menyusuri tanah sambil menghisap kekuatan inti bumi dan mengincar lutut bagian dalam lawannya yang ia yakini merupakan bagian terlemah. Diatas itu semua, Pandan Wangi berniat untuk menyerang menggunakan kelebihan yang selama ini belum dilihat lawannya yaitu kemampuannya untuk menjangkau sasaran terlebih dahulu bahkan sebelum pedangnya menyentuh kulit lawan. Ia meyakini unsur keterkejutan pada lawan akan memberi keuntungan baginya.
Ki Widura, Gilang dan beberapa cantrik yang melihat pertarungan itu tanpa sadar harus menahan nafas mereka masing-masing. Sungguh pertarungan yang luar biasa dan tidak pernah mereka saksikan sebelumnya. Ketegangan di hati mereka memuncak dan mereka menduga bahwa akan terjadi benturan yang sangat dahsyat nantinya.
Ketika semua perhatian terenggut akan adanya benturan atas pertarungan antara Pandan Wangi dengan Ki Sekar Tawang, saat itulah terdengar suara teriakan keras seorang wanita. Di lingkaran lain, sesosok tubuh ramping melayang dengan cepat memapaki serangan Paksi Wulung tua yang saat itu secara bergadengan dengan adiknya mereka sedang melancarkan sebuah serangan dahsyat ke Wahana.
Tidak banyak yang bisa dilihat oleh Ki Widura, Gilang ataupun para cantrik.
Hanya saja tubuh ramping yang memapaki serangan Paksi Wulung tua dari samping itu terlihat membentur lalu terlontar jauh ke belakang bagai layang-layang putus.
Saat itulah, hati Ki Sekar Tawang berguncang dan dengan gugup berkata.
“Tunggu Nyi, tunggu!”
Lalu tanpa menghiraukan Pandan Wangi ataupun keselamatan dirinya dari serangan lawan, Ki Sekar Tawang langsung melejit jauh, mengejar dan menangkap bayangan ramping yang terlontar ke udara itu.
Pandan Wangi yang sudah hampir melepaskan semua serangannya itu terpaksa berhenti. Adalah bukan sikap satria seandainya ia terus melanjutkan serangannya meskipun sesungguhnya saat itu ia mempunyai keuntungan waktu beberapa kejab.
Dilihatnya Ki Sekar Tawang mampu menangkap sosok ramping itu tepat sebelum jatuh ke tanah.
Sambil berjongkok di tanah Ki Sekar Tawang melihat wajah yang sangat dikenalnya itu terlihat pucat dan ada darah meleleh disusut bibir gadis bertubuh ramping itu.
Dengan suara bergetar terdengar suara Ki Sekar Tawang
“Mangesthi, kenapa kau lakukan itu nduk?”
“Bapa, marilah kita pergi. Ini bukan salah orang-orang Sangkal Putung”, - suara gadis ramping yang ternyata adalah Mangesthi itu terdengar lemah.
Ki Sekar Tawang tidak menjawab, diambilnya dua butir ramuan dari kantong ikat pinggangnya lalu dimasukkannya ke mulut Mangesthi. Denyut nadi Mangesthi lambat dan ini menandakan luka dalam yang cukup serius dan perlu penanganan segera.
Segera di bopongnya anak perempuannya itu dan sambil berdiri ia menghadap Pandan Wangi.
“Nyi Pandan Wangi, aku minta maaf telah melakukan tindakan yang salah. Saat ini yang terpenting adalah menyelamatkan nyawa Mangesthi anakku ini. Jika kau merasa perlu memberiku hukuman, silahkan datang ke Padepokanku. Aku pamit!”
Tanpa menunggu jawaban Pandan Wangi tubuh Ki Sekar Tawang melesat cepat. Dalam lima enam kali lompatan ia sudah menghilang dari lapangan terbuka ini.
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Matahari sudah sedemikian rendah dan sebentar lagi keadaan disini akan diselimuti kegelapan.
Akan tetapi yang terjadi di lingkaran pertarungan antara Wahana dan Paksi Wulung bersaudara seolah tidak segera berakhir.
Dengan langkah tanpa ragu Pandan Wangi mendekati arena pertarungan itu untuk mengambil alih salah satu lawan Wahana.
“Adalah cukup adil seandainya aku mengambil salah satu dari mereka sebagai lawanku”,- desis Pandan Wangi dalam hati.
Pandan Wangi menyarungkan kedua pedang rangkapnya dan bersiap memasuki arena.
“Nyi Pandan Wangi, biarlah aku saja yang menemani kakang Wahana!”
Suara itu datang begitu tiba-tiba.
Juga tanpa diketahui darimana datangnya, seorang pemuda tanggung yang berwajah sedemikian terang sudah berdiri dekat disebelah Pandan Wangi.
Salam,

BSG - Bab 3 : Gilang Pamungkas Babak – 20

BALADA SWANDARU GENI
Bab 3 : Gilang Pamungkas
Babak – 20
Saat itu matahari sudah melewati puncaknya dan mulai bergeser ke arah barat. Beberapa pohon yang tumbuh agak jauh dari lapangan terbuka ini mulai menampakkan bayang-bayang panjangnya, tetapi itu sama sekali tidak menghadirkan kesejukan terutama di dua lingkaran pertarungan yang masih tersisa.
Wajah Wahana terlihat sedikit memerah, dengan cepat ia menarik nafas dalam-dalam dan mengumpulkan sebanyak-banyaknya udara di dalam perut untuk kemudian melepaskannya secara perlahan-lahan melalui mulutnya. Disaat yang sama Wahana juga mengalirkan udara itu menyusuri seluruh syaraf dan pori-pori tubuhnya. Semua tahapan dilakukan sedemikian halus dan lembut namun ini menguras tenaga Wahana, terlebih ia juga harus memperhatikan serangan lawan. Tetapi Wahana sudah memantapkan hatinya dan dalam kondisi yang sulit ini ia bertekad untuk menerapkan ajian yang menjadi andalannya itu.
Sesungguhnya ini adalah peningkatan dan pengembangan dari ajian Lembu Sekilan dan oleh orang yang menciptakannya di-namakan Aji Daya Klungsu.
“Aku masih belum menguasai sepenuhnya Aji Narantaka sebagaimana Adimas Bagus Wanabaya yang memang mempunyai bakat sangat tinggi. Semoga Aji Daya Klungsu ini mampu menahan gempuran dua manusia aneh ini”, - Wahana membuat beberapa pertimbangan dalam hati.
Ketika serangan dari dua Paksi Wulung bersaudara itu melandanya, maka Wahana cenderung tidak menghindar, melainkan melakukan gerak tolakan atas serangan tersebut. Tak dapat dihindari, kembali terjadi benturan di antara mereka yang sedang bertarung itu, hanya saja kali benturan itu seolah tidak menimbulkan bunyi sama sekali.
Tetapi akibat dari benturan itu sama sekali berbeda dibandingkan dengan benturan sebelumnya. Jika dalam benturan sebelumnya, serangan Paksi Wulung bersaudara itu tertahan dan bahkan berbelok serta sedikit terdorong karena penerapan Aji Lembu Sekilan. Kali ini serangan mereka sama sekali tidak mengenai sasaran, tubuh Wahana itu terlalu licin seolah tak terjangkau untuk disentuh.
Akibatnya, meskipun terjadi benturan tetapi tanpa dikehendaki serangan Paksi Wulung bersaudara itu selalu lewat sejengkal dari tubuh Wahana. Serangan mereka meleset, tetapi disaat yang sama Wahana masih mampu untuk tetap melancarkan daya dorong yang melanda Paksi Wulung bersaudara itu. Yang sangat mengejutkan adalah daya dorong itu kini besarnya belasan kali lipat di banding sebelumnya. Dada serta bagian dalam tubuh Paksi Wulung mendadak sesak bahkan sebelum tubuh mereka terbanting ke tanah.
Sebagai tokoh yang sudah berpengalaman, kedua Paksi Wulung itu segera sadar betapa berbahayanya daya dorong yang kini melanda tubuh mereka. Karena itu ketika masih melayang diudara, kedua tubuh orang aneh segera menggeliat dan membuat putaran diudara untuk terlepas dari garis dorongan yang dahsyat itu.
Kedua orang itu justru mampu meminjam daya dorong itu untuk kemudian melejitkan tubuh mereka keluar dari garis serangan dan kemudian berdiri tegak meskipun dengan susah payah.
Saat itulah terdengar dua buah ledakan yang sangat keras yang membuat wajah kedua Paksi Wulung bersaudara itu terperanjat bukan main. Degup jantung mereka berdentangan menjadi semakin keras.
“Untunglah, aku tidak terlambat untuk keluar dari garis serangan tadi”, - kedua Paksi Wulung bersaudara itu menyuarakan suara hatinya hampir bersamaan.
Ternyata Aji Daya Klungsu yang diterapkan Wahana mempunyai kemampuan selain menggeser serangan lawan, juga mengandung daya serang yang teramat dahsyat. Kekuatan itu tidak hanya mampu mendorong melainkan juga meledakkan tubuh lawan ketika daya dorong itu mencapai puncaknya.
Tanah yang merupakan ujung dari garis serangan Wahana itu meledak dengan sangat keras sehingga kerikil serta bebatuan disekitarnya berhamburan. Terlihat dua buah lubang yang cukup lebar dan dalam akibat ledakan Aji Daya Klungsu itu.
Kedua Paksi Wulung bersaudara itu merasakan betapa dahi dan punggung mereka semakin basah oleh keringat. Tetapi setelah hilang rasa terkejutnya, wajah mereka berdua justru nampak berseri-seri.
Tanpa berjanji mereka justru mengeluarkan suara tertawanya meskipun tidak terlalu keras.
“Apakah itu Aji Daya Klungsu?”, - tanya Paksi Wulung Muda
“Apakah itu penting Ki?”, - Wahana justru balik bertanya.
“Bagus anak muda, aku sungguh kagum kepadamu. Dimasa muda-ku dulu, aku pernah melihat ilmu semacam itu mampu mengalahkan guruku bahkan menewaskannya. Agaknya kita memang ditakdirkan bertemu disini untuk menuntaskan dendam. Nah, sekarang kita akan melihat apakah kau mampu mengalahkan ilmu yang kami ciptakan khusus untuk meredam ajian-mu itu”
Wahana mengerutkan keningnya, ia memang sama sekali tidak mengetahui alasan balas dendam yang dikatakan oleh Paksi Wulung muda itu. Menilik ucapan lawannya itu, agaknya guru atau pemilik Ajian Daya Klungsu itu pernah menewaskan guru kedua Paksi Wulung bersaudara ini.
Tetapi Wahana segera menghapus semua pertanyaan itu dan segera mempersiapkan dirinya ketika dilihatnya kedua lawannya itu kini justru saling mendekat bahkan merapat.
Sejauh ini Wahana sempat memperhatikan bahwa kedua lawannya itu senantiasa bergerak saling melengkapi. Ketika yang tua menyerang bagian tubuh atas, maka yang muda akan mengancam bagian tubuh bawah lawan dan menutup semua gerak untuk menghindar. Ketika ada yang menyerang samping kanan, maka yang satu akan menutup dengan serangan di samping kiri. Mereka seolah digerakkan oleh satu otak.
Tetapi kini kedua Paksi Wulung itu agaknya akan merubah total gaya penyerangan mereka. Mereka berdiri merapat dan ini bisa berarti bahwa serangan akan dipusatkan pada satu titik.
“Bukan main, jurus apakah yang hendak mereka perlihatkan kali ini?”, - Wahana berdesis dalam hati.
Sementara itu, di lingkaran lain, Pandan Wangi tengah berjuang keras untuk mengatasi serangan Ki Sekar Tawang yang datang membadai. Udara dingin yang menyembur lewat ayunan kedua tangan lawannya itu membuat Pandan Wangi harus sering mengambil jarak, terlebih setelah menyadari betapa kedua tangan itu mampu menggores dan menusuk tak ubahnya sebuah pedang. Karena itu, terpaksa kemudian Pandan Wangi harus mengandalkan kecepatan geraknya untuk mengambil jarak dan menghindari serangan. Sambil terus bergerak, Pandan Wangi berusaha mengamati lawan dan mencari celah untuk menyerang balik.
“Agaknya aku harus mengerahkan tenaga cadanganku semakin besar. Selain untuk menghindari serangan kedua tangan yang tajam itu, udara yang dilontarkannya semakin lama semakin dingin. Ini bisa memperlambat gerakku”, - desis Pandan Wangi dalam hati.
“Apakah yang dilakukan kakang Agung Sedayu jika menghadapi lawan seperti ini?”, - tanpa disadari pikiran Pandan Wangi membayangkan Agung Sedayu yang sudah melalui berbagai pertarungan yang sangat sengit dan bahkan hampir merenggut nyawanya.
Pandan Wangi memang mengagumi Agung Sedayu yang sudah dianggapnya sebagai seorang Guru. Terlebih ia sangat mempercayai semua perkataan dan kemampuan laki-laki yang pernah menempati relung khusus dalam hatinya itu. Karena itu, ketika dalam keadaan sulit, tiba-tiba saja alam bawah sadarnya langsung menyeruak dan memilah-milah semua perkataan Agung Sedayu sebagai acuan untuk bertindak.
“Wangi, empon-empon yang kau konsumsi ketika menjalani laku itu mempunyai sifat-sifat tanah atau bumi, tetapi pala kependem itu juga membawa sifat masing-masing. Nah, salah satunya adalah Jahe yang telah kau makan sekian lama ketika berbuka puasa. Jahe mempunyai sifat panas, dan ini juga sudah mengeram di dalam tubuhmu. Kau dapat membangkitkannya dengan mudah, bukalah simpul-simpul dalam tubuhmu dengan pengerahan sedikit tenaga cadangan yang dipusatkan pada pusarmu. Maka, semakin tinggi kau mengerahkan tenaga cadanganmu, tubuhmu akan semakin terasa hangat, bahkan dalam keadaan tertentu bisa saja seranganmu akan membawa udara panas”, - ucapan Agung Sedayu itu seolah kembali terngiang di telinga Pandan Wangi.
Saat itu, Sekar Mirah yang duduk di sebelah Agung Sedayu ikut bersuara dengan nada sedikit menggoda.
”Ketahuilah Pandan Wangi, sesungguhnya saat ini kau adalah murid kakang Agung Sedayu yang paling tangguh. Aku tentu sudah tidak dapat mengimbangimu”
“Ah..”, - Pandan Wangi mendesah.
Pandan Wangi sadar bahwa selama ini ia tidak punya banyak waktu khusus untuk berlatih. Kini ia justru harus menerapkan semua petunjuk Agung Sedayu itu justru dalam pertarungan yang sesungguhnya yang mempertaruhkan nyawanya.
Tiba-tiba Pandan Wangi melentingkan tubuhnya tinggi-tinggi melewati tubuh Ki Sekar Tawang untuk mengambil jarak. Tidak sebagaimana pertarungan sebelumnya, kali ini Ki Sekar Tawang sama sekali tidak mengandalkan kecepatannya dan ini menjadi perhatian Pandan Wangi.
“ Agaknya Ki Sekar Tawang ini harus melepaskan ajian sebelumnya untuk mengetrapkan ajian yang baru ini. Ia mungkin tidak bisa mengetrapkannya sekaligus secara bersamaan. Baiklah, sambil membangkitkan hawa panas dalam tubuhku ini, aku terpaksa mengeluarkan Aji Asta Sewu untuk balas menyerang”, - Pandan Wangi membuat sebuah rencana.
Udara di Lemah Cengkar itu terasa semakin panas meskipun matahari semakin bergeser merendah. Burung cantaka raksasa yang menjadi piaraan Paksi Wulung bersaudara sudah tidak terlihat sama sekali, mereka melarikan diri dari majikannya.
Pandan Wangi tiba-tiba menarik nafas pendek-pendek dengan cepat dan menyimpan udara itu dalam dadanya. Perutnya mengeras sebelum kemudian ia meloloskan kedua pedang tipis dari pinggangnya.
Salam,

BSG - Bab 3 : Gilang Pamungkas Babak – 19

BALADA SWANDARU GENI
Bab 3 : Gilang Pamungkas
Babak – 19
Lemparan caping lebar serta serangan kedua tangan Ki Sekar Tawang yang mengancam wajah Pandan Wangi itu datang susul menyusul hendak menutup ruang gerak Pandan Wangi. Rambut Pandan Wangi yang terurai serta bajunya yang memang agak longgar itu terlihat berkibar ke belakang akibat hembusan angin keras yang menyertai serangan Ki Sekar Tawang itu.
“Betapa anggun dan perkasanya perempuan ini”, - tanpa sadar Ki Sekar Tawang yang sempat melihat pemandangan di depan matanya itu bergumam dalam hati.
Tetapi pikiran yang hanya selintas itu tidak menghentikan gerak Ki Sekar Tawang yang hatinya sudah dipenuhi dengan rasa amarah yang bergelora. Sementara Pandan Wangi yang menyadari ganasnya serangan beruntun ini tidak tinggal diam. Segera tubuhnya melenting tinggi keatas melewati kepala lawannya dan kemudian justru mendarat di belakang Ki Sekar Tawang dalam jarak yang agak jauh. Dalam satu gerak Pandan Wangi mampu menghindari serangan ganas tangan Ki Sekar Tawang sekaligus terhindar dari lemparan caping lebar itu.
Disaat kakinya menyentuh tanah, telinga dan mata Pandan Wangi segera menangkap gerak caping lebar yang seolah mempunyai mata dan berbelok langsung meluncur memburunya. Gerak caping itu senantiasa mendahului seolah tidak menunggu perintah yang menggerakkannya yaitu Ki Sekar Tawang.
Bagi Pandan Wangi, serangan caping lebar ini sebenarnya mudah saja untuk menghindarinya. Tetapi ia sadar bahwa serangan caping lebar ini hanyalah semacam pengalih perhatian, sementara serangan yang sesungguhnya dan sangat berbahaya akan datang langsung dari Ki Sekar Tawang.
Karena itu, Pandan Wangi tidak mau terlambat dan telah membuat perhitungan cermat. Ketika caping lebar itu sudah sedemikian dekat, ia segera menghindar dengan cara melakukan gerak egos setengah lingkaran sehingga caping itu berdesing sekitar empat jari dari dadanya. Anginnya menampar keras dan bahkan ada hawa panas yang ikut menerpa tubuh Pandan Wangi.
Tetapi Pandan Wangi tidak menghiraukan udara yang menerpanya, saat melakukan gerak egos itu tubuh Pandan Wangi berputar setengah lingkaran dan kini telah menghadap searah dengan meluncurnya caping lebar yang baru dihindarinya itu. Tanpa menunggu sekejabpun, tubuh Pandan tiba-tiba melesat secepat tatit di udara, memburu dan mengejar caping lebar yang baru saja dihindarinya. Di kedua tangannya telah tergenggam pedang tipis pilihan yang merupakan pemberian Ayahnya, Ki Argapati atau yang juga dikenal sebagai Ki Gede Menoreh.
Jantung Ki Sekar Tawang tiba-tiba berdegup kencang sekali, gerak Pandan Wangi itu sama sekali tidak diduganya dan bahkan kecepatannya tidak terkejar lagi. Dia hanya mampu melihat dari balik punggung Pandan Wangi yang mengayunkan kedua pedang tipisnya itu bersilangan beberapa kali, sangat cepat dan tak tertahankan.
Bagaimanapun juga, caping lebar itu bergerak berdasarkan perintah tuan-nya yaitu Ki Sekar Tawang. Sementara Pandan Wangi bergerak sangat cepat dan sengaja memanfaatkan kekagetan lawannya. Ketika lawannya hanya sempat melihat punggungnya, saat itulah Pandan Wangi menyalurkan segenap tenaga cadangannya berikut kekuatan inti bumi yang mampu ia serap untuk menebas caping lebar itu beberapa kali. Ia yakin, melihat gerak caping yang sedemikian cepat dan agaknya bobotnya cukup berat, maka pastilah kerangka caping lebar terbuat dari besi atau bahan pilihan lainnya.
Untuk menghindari hal-hal yang mungkin diluar kesadarannya, maka Pandan Wangi tidak menghantam dengan gerak lurus dan langsung, melainkan melakukan gerak menebas berkali-kali dengan kedua tangannya seolah ia sedang mengupas buah mangga dengan gerak tidak beraturan. Ia masih memperhitungkan jikalau caping lebar itu mampu membalikkan tenaga serangannya sebagaimana yang dilakukan Ki Sekar Tawang, maka pengaruhnya sudah agak kecil.
Terdengar bunyi berdentangan beberapa kali sedemikian keras dan menyakitkan telinga. Disusul kemudian suara jatuhnya benda yang cukup berat ke tanah, sementara tubuh Pandan Wangi melompat ke samping sambil menghadap Ki Sekar Tawang.
Kedua pedang tipisnya kini sudah kembali di sarungkan di kedua pinggangnya.
Wajah Ki Sekar Tawang terlihat merah padam, betapapun pengalaman telah tertimbun sedemikian banyak dalam perjalanan hidupnya, tetapi kejadian di depan matanya kali ini membuatnya terhenyak sehingga ia terdiam untuk beberapa saat. Dilihatnya caping lebar yang selama puluhan tahun menaungi wajah dan kepalanya dan bahkan telah melindunginya dari puluhan lawan, kini tergeletak dan tercabik-cabik hancur. Caping itu kini hanya menyisakan kerangka besi yang juga tergores serta bengkok di beberapa bagian serta tidak berbentuk caping lagi.
Diliputi rasa amarah yang sedemikian besarnya, mulut Ki Sekar Tawang justru membisu, ia seolah kebingungan untuk mengungkapkan rasa amarahnya itu. Lingkaran pertempuran antara Pandan Wangi dan Ki Sekar Tawang itu sesaat terasa hening.
Tetapi kebisuan itu tidak lama sebelum kemudian terdengar suara tertawa yang bergemuruh memenuhi udara terbuka itu. Agaknya Ki Sekar Tawang kesulitan memilih kata-kata, maka ia sengaja mengungkapkan amarahnya melalui suara tertawanya yang bergemuruh. Pandan Wangi, Ki Widura dan semua yang ada di lingkaran pertempuran itu dengan cepat mengatur debaran di dadanya ketika suara tertawa itu seolah memukul relung hati dan jantung mereka dengan keras.
“Tetapi ini agaknya bukan Gelap Ngampar”, - Ki Widura sempat berdesis.
Pandan Wangi yang berdiri paling dekat dengan Ki Sekar Tawang segera maju beberapa langkah. Hampir saja ia melompat menyerang untuk menghentikan suara tertawa yang telah menyakiti semua orang di sekitar arena. Tetapi ternyata Ki Sekar Tawang segera menghentikan tertawanya, agaknya ia memang hanya menyalurkan rasa amarahnya itu melalui suara tertawa yang dilambari tenaga cadangannya yang sedemikian besar.
Pandan Wangi yang sudah mempersiapkan diri, melangkah maju beberapa tindak.
“Marilah Ki, kalau kau memang ingin melanjutkan pertarungan ini aku tidak keberatan. Akan tetapi ada satu hal yang akan aku sampaikan kepadamu. Sesungguhnyalah anakmu, Mangesthi, pernah kita tawan di Kademangan Sangkal Putung, tetapi ia sudah meloloskan diri beberapa hari kemudian”, - tiba-tiba Pandan Wangi membuka pembicaraan.
Wajah Ki Sekar Tawang yang merah itu terlihat melengak diliputi tanda tanya.
“ Apa maksudmu Nyi?”, - tanyanya penuh keheranan.
“Sudah jelas”, - jawab Pandan Wangi tegas - ,” Aku tidak berbohong, anakmu telah melarikan diri beberapa saat setelah menjadi tawanan kami di Sangkal Putung. Soal sekarang ia dimana aku sama sekali tidak tahu”
Perkataan Pandan Wangi itu membuat Ki Sekar Tawang termangu-mangu, ia merasa aneh karena kalau benar anaknya itu mampu meloloskan diri, ia tentu akan kembali ke padepokannya. Terlebih kalau berita itu benar, kenapa Ki Juwana dan anak muridnya yang telah disebar beberapa lama di sekitar daerah Sangkal Putung sama sekali tidak mengetahui kabar bahwa Mangesthi telah melarikan diri.
Tiba-tiba ia mendengus keras.
“Kau jangan berbohong Nyi, agaknya kau sengaja ingin mengacaukan pikiranku dengan berita bohongmu itu. Sebagai seorang perempuan dan ibu seorang anak, seharusnya kau tahu perasaanku yang kini kehilangan seorang anak”, - suaranya terdengar berat dan parau.
Pandan Wangi terlihat mengangkat pundaknya sambil mempersiapkan diri untuk memasuki pertarungan selanjutnya.
“Terserah pendapatmu Ki, tetapi aku tidak bermaksud mempengaruhi pikiranmu. Jangan kau kira aku akan gentar menghadapimu sehingga harus mempergunakan cara-cara licik dengan mempengaruhi pikiranmu. Marilah, aku sudah siap”, - jawab Pandan Wangi sambil melebarkan kedua kakinya.
Kedua orang itu kembali berhadapan dan siap untuk memasuki pertarungan. Meskipun sudah bertarung sekian lama dan bahkan jatuh bangun akibat serangan lawan, tetapi keduanya merasa masih menyimpan tenaga yang cukup untuk pertarungan yang lebih bersungguh-sungguh.
Kembali tubuh Ki Sekar Tawang melesat sambil kakinya melakukan tendangan samping yang dilambari tenaga cadangan yang cukup besar. Sambil terus melakukan gempuran ke arah lawan, Ki Sekar Tawang mulai menghimpun tenaganya dan mengetrapkannya sebuah ajian baru dalam setiap geraknya.
Pandan Wangi yang melayani Ki Sekar Tawang dengan hati-hati itu melihat perubahan gerak lawannya. Kini Ki Sekar Tawang tidak lagi terlalu sering menyerang dengan mengandalkan kecepatan sebagaimana di awal pertarungan, hanya saja tenaga serangannya terasa semakin besar dan angin yang menyertainya terasa sedikit dingin. Bahkan kini Ki Sekar Tawang tidak lagi selalu mengejarnya melainkan lebih banyak menunggu untuk menyambut serangannya.
Pandan Wangi segera meningkatkan kewaspadaannya, penurunan kecepatan dan peningkatan tenaga lawannya itu menarik perhatiannya.
“Mungkin ia sedang menghimpun kekuatannya sebelum melepaskan aji andalannya yang baru”, - desis Pandan Wangi dalam hati.
Kewaspadaan Pandan Wangi itu menyelamatkannya.
Ketika itu ia merasakan bahwa sambaran angin dari ayunan tangan lawannya membawa hawa yang semakin lama semakin dingin, sementara sambaran kakinya sama sekali tidak diikuti udara dingin. Maka perhatiannya kemudian lebih terpusat pada ayunan tangan Ki Sekar Tawang dan saat itulah mata batinnya melihat kedua telapan tangan itu seolah terbungkus oleh selaput tipis yang senantiasa menebar angin dingin.
“Telapak tangan itu menyemburkan udara dingin dan ayunannya bagaikan sebilah pedang yang tajam, mengiris dan membelah apapun yang disentuhnya”, - diam-diam Pandan Wangi membuat penilaian.
Tiba-tiba Pandan Wangi ingin meyakinkan penilaiannya, dalam sebuah kesempatan, dengan gerak cepat Pandan Wangi meraih dua helai daun kering yang tergeletak ditanah dan sengaja melemparkan daun itu pada garis lintas ayunan tangan Ki Sekar Tawang. Tanpa dapat dicegah, masing-masing daun itu terbelah menjadi dua bagian dengan penampang daun terlihat rapi, seolah di iris oleh pisau yang sangat tajam. Bukan di robek oleh telapak tangan.
Butir-butir keringat di dahi Pandan Wangi muncul semakin banyak.
Sementara itu di lingkaran yang lain Wahana terlihat berjuang mati-matian menghadapi keroyokan dua orang Paksi Wulung bersaudara. Adalah sebuah kebetulan bahwa ia mampu melindungi tubuhnya dengan ajian Lembu Sekilan dan bahkan telah menerapkan tenaga cadangannya dalam gerak dorong yang menyatu dengan aji Lembu Sekilan itu. Jika tidak, agaknya ia sudah terkapar sedari tadi.
Kedua lawannya benar-benar merupakah tokoh yang penuh dengan pengalaman dan berkemampuan sangat tinggi. Meskipun mereka belum mengeluarkan gerak atau ajian andalan, tetapi serangan yang terus menerus berbarengan yang dilambari tenaga cadangan yang besar membuat Wahana semakin lama semakin terdesak.
Tulang di beberapa bagian tubuhnya mulai terasa nyeri meskipun kulitnya sama sekali tidak terluka ataupun lecet akibat benturan-benturan yang keras. Sementara serangan kedua Paksi Wulung bersaudara itu sedemikian rapi dan seolah tiada henti serta menutup ruang geraknya.
“Jika begini terus, agaknya aji Lembu Sekilan akan bisa tertembus. Terpaksa aku harus menggunakan cara lain, meskipun mungkin akan menguras tenagaku”, - tiba-tiba Wahana mengambil sebuah keputusan.
Ketika ada kesempatan, Wahana segera melontarkan dirinya agak jauh kebelakang. Wajahnya terlihat menegang, kedua kakinya merenggang lebar sementara kedua tangannya bersilang didada.
Salam,

BSG - Bab 3 : Gilang Pamungkas Babak – 18

BALADA SWANDARU GENI
Bab 3 : Gilang Pamungkas
Babak – 18
Tetapi sebelum pisau kecil itu melesat membelah udara siang yang panas itu, hatinya tersedak. Gilang merasa seolah ada yang menahan gerakannya. Dalam umurnya yang tergolong masih bocah itu, ada pemahaman bahwa Ibundanya saat ini sedang melakukan sebuah perang tanding melawan Ki Sekar Tawang, apapun hasilnya tidak boleh ada yang ikut campur. Adalah bukan sikap seorang ksatria seandainya ia harus mempengaruhi perang tanding itu dengan lemparan yang diluncurkan secara diam-diam meskipun itu mungkin menolong Ibundanya.
Sangat berbeda dengan yang dihadapi oleh Wahana tadi, yang justru sedang dikeroyok oleh dua orang lawan berikut burung-burung peliharaannya.
Karena itu Gilang membatalkan lemparannya dan kembali menurunkan pisau kecil yang tinggal satu-satunya itu. Disaat yang sama, matanya kemudian terbelalak ketika melihat Ibundanya melakukan sebuah gerakan indah dan sangat berbahaya yang membuatnya berdecak kagum.
Saat itu Pandan Wangi memang merasa tidak ada ruang untuk menghindar lagi dan keadaan itu sangat membahayakan dirinya. Tubuhnya terpelanting dan jatuh ke tanah, hanya saja disaat itu pula ingatannya melayang pada percakapannya dengan Agung Sedayu pada malam ia menyudahi laku terakhirnya.
“Wangi, laku yang telah kau jalani ini akan membawa pengaruh yang sangat besar atas kemampuan yang sudah kau miliki. Menurut Ki Jayaraga, ketika siang berpuasa sementara sore dan malam harinya kau hanya makan empon-empon saja, tanpa daging ataupun buah-buahan yang tumbuh dari pohon bagian atas, maka saat itu sesungguhnya kau sedang menyelaraskan getar dalam tubuh fisik dan psikismu dengan sifat-sifat alami tanah atau bumi. Bukankah semua empon-empon yang selama ini kau makan semuanya berasal dari tanah terpendam atau yang biasa kita sebut pala kependem?”
Kata-kata Agung Sedayu itu seolah tertiup dekat ditelinganya.
“Mungkin sekarang kau belum menyadarinya dengan penuh, tetapi penyelarasan inti bumi itu bisa kau bangkitkan disaat memerlukannya, bahkan bisa saja gerak naluriahmu akan membantu. Saat terbaik untuk penyelarasan dan penyerapan kekuatan inti bumi adalah ketika tubuhmu menyatu dengan tanah. Sementara untuk menyalurkannya kau tinggal mengungkapnya dengan kemampuanmu yang sudah kau miliki”
Semua ingatan itu melintas dengan sangat cepat di benak Pandan Wangi, seolah muncul mendadak kemudian pergi begitu saja.
Tidak ada waktu lagi untuk menimbang-nimbang, dan gerak naluriah Pandan Wangi telah menuntunnya untuk merebahkan tubuhnya terlentang di tanah menghadap ke langit, seolah tiada daya. Tetapi ketika hampir seluruh badannya terbaring ditanah itu, sesungguhnya Pandan Wangi sedang menghimpun niat dan tenaga cadangannya untuk menyerap kekuatan inti bumi.
Disaat itulah Ki Sekar Tawang mengaum dengan sangat keras, suaranya bergemuruh mengguncang arena pertarungan, sementara dengan gerak harimau yang garang, tubuhnya melesat cepat menerkam Pandan Wangi yang tergolek di tanah.
Ki Sekar Tawang yang kali ini sangat yakin bahwa lawannya tidak akan lolos sengaja mengerahkan segenap tenaga cadangannya. Kematian saudara angkatnya Ki Juwana dan kekalahan anak muridnya membuat hatinya waringuten. Tak ayal, tenaga serangan itu begitu dahsyatnya sehingga membawa hembusan angin yang sangat keras dengan suara menderu-deru.
Sebenarnyalah hatinya sangat kagum dan tertarik dengan sikap, kemampuan serta kejelitaan Pandan Wangi. Tetapi kenyataan yang dihadapinya sekarang ini seolah tidak memberinya pilihan selain harus melumpuhkan atau menghancurkan lawannya, siapapun itu.
“ Adalah sudah nasibmu harus tercabik-cabik dengan seranganku ini. Aku tidak akan menahan diri lagi”, - hati Ki Sekar Tawang seolah berteriak kencang.
Dalam gerak terkaman yang meluncur sedemikian cepatnya, Ki Sekar Tawang sempat mengamati apa yang dilakukan lawannya yang dengan cepat mengambil sikap terlentang dan tergolek ditanah. Hanya saja ia tidak perduli dengan gerak lawan lebih lanjut karena gerak terkamannya sudah sedemikian dekat. Terlebih Ki Sekar Tawang mempercayakan dirinya pada ajian yang mampu membuat tulangnya sekeras besi serta kulit tubuhnya yang mempunyai daya pental sangat tinggi.
Terjadilah sebuah benturan yang sama sekali tidak diperkirakan oleh Ki Sekar Tawang.
Dengan tubuh terlentang menghadap ke atas dan disaat yang sangat tepat, tiba-tiba saja kedua kaki Pandan Wangi bergerak cepat ke atas menyambut dan menyusup diantara kedua tangan lawan dan langsung bersarang di dada Ki Sekar Tawang. Dengan punggung masih bersandar di atas tanah disertai penyerapan atas tenaga inti bumi yang mampu diserapnya, maka tendangan kedua kaki Pandan Wangi itu sesungguhnya mempunyai kekuatan yang sangat dahsyat.
Ki Sekar Tawang agak terkejut melihat gerak cepat lawannya, tetapi ia sama sekali tidak berniat membatalkan serangannya ataupun menahan daya luncurnya. Dengan keyakinan penuh ditingkatkannya perisai yang melindungi tubuhnya baik melalui pengerasan tulang maupun daya pental pada kulitnya untuk menerima serangan Pandan Wangi.
Kembali udara terbuka itu dipenuhi suara ledakan dan teriakan keras akibat terjadinya benturan ilmu antara kedua orang yang sedang bertarung itu. Kedua kaki Pandan Wangi yang mempunyai daya jangkau lebih panjang dibandingkan kedua tangan lawannya itu mampu bersarang didada Ki Sekar Tawang terlebih dahulu.
Adalah suatu hal yang sangat mengherankan dan mengejutkan bagi Ki Sekar Tawang. Ia sama sekali tidak menyadari bahwa Pandan Wangi mampu menyerap kekuatan inti bumi hanya dalam waktu yang sangat pendek. Dengan tubuh yang terbaring menyentuh tanah, kekuatan inti bumi terserap dengan lebih cepat sementara sifat-sifat tanah mengiringi serangan yang terlontar melalui kedua kaki Pandan Wangi.
Tanah mempunyai sifat menawarkan berbagai hal yang bersifat negatif atau merusak. Layaknya ketika besi membara di hujamkan ke dalam tanah, dalam sekejab tanah mampu menawarkan daya panas itu hingga berkurang dengan cepat.
Demikian pula yang terjadi dalam benturan ilmu itu, ajian Ki Sekar Tawang seolah teredam oleh sifat-sifat inti bumi yang disalurkan melalui kedua kaki Pandan Wangi, yang membuat kekerasan dan daya pentalnya berkurang banyak bahkan seolah-olah tidak bekerja. Tak pelak, tubuh Ki Sekar Tawang terlempar ke udara sedemikian tinggi dan jauh, sementara serangannya tiada sempat menyentuh tubuh Pandan Wangi sama sekali.
Serangan kedua kaki Pandan Wangi itu selain mengandung sifat inti bumi juga dilambari tenaga cadangan yang cukup besar sehingga Ki Sekar Tawang merasa nafasnya bagaikan tersumbat. Kepalanya seperti berputar-putar, tulang-tulang di dadanya bagaikan retak sementara tubuhnya terlontar tinggi tak terkendali dan kemudian jatuh bagaikan layang-layang putus. Dengan keras tubuh itu terbanting ke tanah dan berguling beberapa kali.
Tetapi Ki Sekar Tawang memang tokoh linuwih, betapapun sulit keadaannya ia berusaha bangkit meski sambil mengerang dan tertatih-tatih. Wajahnya terlihat pucat sementara bajunya dipenuhi debu tanah akibat jatuh bergulingan. Hanya saja caping lebarnya ternyata masih tersangkut di lehernya, seutas tali kecil melingkar dilehernya sehingga caping itu tidak terlepas.
Sementara itu Pandan Wangi tidak luput dari kesulitan pula. Gerak yang tergesa-gesa, baik dalam penyerapan tenaga inti bumi maupun dalam menghimpun tenaga cadangan yang kemudian tersalur lewat kedua kakinya, membuat ia tidak bisa lepas sepenuhnya dari pengaruh serangan lawan. Kedua kakinya bagaikan membentur lembaran baja yang sangat keras dan bahkan lembaran baja itu juga memukul baik dirinya sehingga tubuhnya bagaikan di banting dan di benamkan ke dalam tanah. Pukulan balik itu sangat keras sehingga tulang-tulang di punggungnya terasa ngilu akibat benaman dan gesekan dengan tanah.
Dengan mata yang sedikit berkunang-kunang dan sambil menahan nyeri di punggungnya, Pandan Wangi segera bangkit dengan penuh kewaspadaan. Dilihatnya sekilas, tanah tempat tubuhnya berbaring itu melesak ke dalam serta meninggalkan bekas yang cukup jelas terutama di bagian punggungnya. Tetapi ia merasa bahwa keadaannya tidak lebih buruk dari keadaan lawan.
Ketika Pandan Wangi sudah mampu berdiri tegak, Ki Sekar Tawang yang berjarak cukup jauh, sekitar enam tombak juga sedang berusaha untuk memperbaiki dirinya. Pengalaman yang tertimbun bertahun-tahun dalam dirinya sangat membantunya sehingga ia bisa berdiri tegak ketika pandangan Pandan Wangi menatapnya.
Tetapi Pandan Wangi sengaja tidak mengejarnya dengan serangan susulan. Hal ini menguntungkan Ki Sekar Tawang yang segera memanfaatkannya untuk mengalirkan udara di dalam tubuhnya. Aliran udara itu mengusap dan mengurangi rasa sakit di sekitar tulang serta bagian-bagian tubuh yang lain.
“Ajian apakah yang dipergunakan oleh perempuan tangguh ini sehingga mampu menahan Aji Penthal Waja yang sudah aku trapkan dengan kekuatan penuh?”, - hati Ki Sekar Tawang mendesah.
Sementara itu, sebagaimana sifat dasarnya yang lebih banyak menunggu, Pandan Wangi memang tidak mempergunakan kesempatan itu untuk terus mengejar lawan. Ia memilih memperbaiki keadaan tubuhnya agar siap untuk pertarungan berikutnya. Dalam waktu yang pendek matanya sudah tidak lagi berkunang-kunang dan rasa nyeri di tulang punggungnya juga sudah banyak berkurang.
Tidak berselisih lama, ternyata Ki Sekar Tawang juga sudah merasa siap untuk melanjutkan pertarungan. Dalam jarak yang masih cukup jauh, tiba-tiba caping lebar itu sudah berpindah ke tangan kanannya dan dalam sekejab mata caping itu sudah menderu-deru meluncur sambil berputar cepat menyambar tubuh Pandan Wangi dengan ganasnya.
Adalah hal yang mengejutkan hati Pandan Wangi, bahwa selain caping lebarnya yang menderu-deru berputar yang sekarang mengancam keberadaannya, ternyata tubuh Ki Sekar Tawang juga melesat dan melakukan serangan ganas mengancam kepalanya. Gerakannya seolah berbarengan dan saling mengisi dengan lemparan caping yang membidik dadanya!
Salam,

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...