BALADA
SWANDARU GENI
Bab V: Ajaran Untuk Pulang
Babak – 16
Sebenarnyalah,
malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlupakan bagi Kiai Garda. Mata
wadag dan mata batinnya menjadi saksi dan mampu melihat dengan cukup jelas
betapa sinar petir kebiruan yang melompat dari ujung cambuk murid tertua Kiai
Grinsing itu menerobos celah menganga yang disediakan oleh Rudita. Sebuah
lontaran atau ungkapan ajian pamungkas yang teramat dahsyat yang kemudian
menyerang dan membentur bola api raksasa berwarna merah membara.
Sebuah
benturan yang tidak mungkin terelakkan telah terjadi!
Bola api
raksasa yang membara dengan dikelilingi api yang menjilat-jilat yang diyakini
merupakan Yoni sebuah pusaka yang mengandung kekuatan dengan aura gelap, telah
membentur kekuatan aji pamungkas dari perguruan Orang Bercambuk yang telah pula
menyelaraskan kekuatan dan energi tubuhnya dengan energi dari batu mustika Soca
Ireng yang mengandung energi alam yang sedemikian besar.
Itulah peristiwa
yang begitu dahsyat dan mengguncang suasana malam.
Benturan itu
terjadi di dalam bangunan perangkap berbentuk kerucut yang kemudian terguncang
dengan hebatnya. Bentuk kerucut atau kukusan berwarna kebiruan itu seperti
terbanting-banting atau dikocok untuk kemudian bentuk itu pecah berserakan
tidak mempunyai bentuk lagi. Dinding kebiruan itu telah pecah berhamburan akibat
pengaruh dahsyat dari benturan yang terjadi di dalamnya.
Akan tetapi
mata batin Kiai Garda segera melihat bahwa ribuan gelembung biru yang pecah
berserakan itu seolah telah bergerak dengan rapi dan mencoba menemukan
bentuknya kembali. Gelembung-gelembung itu mempunyai sifat dan daya pental yang
tinggi sehingga dengan cepat mampu membuat sebuah bangunan kerucut sebagai
perlindungan seperti sebelumnya. Hanya saja kini bangunan kerucut kebiruan itu
telah meninggalkan tempatnya semula dan tiba-tiba saja bergeser bahkan melewati
tempat Kiai Garda berdiri.
Ketika
menyadari keadaan, Kiai Garda segera melihat betapa bangunan kerucut kebiruan
itu telah berdiri dengan kokoh dibelakangnya, dimana di dalam bangunan
perlindungan itu terlihat Ki Widura, Swandaru, Pandan Wangi, Sekar Mirah dan
Gilang yang masih terduduk roboh dengan tubuh yang lemah serta wajah yang
sangat pucat. Segera Kiai Garda menyadari sepenuhnya bahwa agaknya Rudita berniat
melindungi mereka yang ada disitu khususnya Gilang, yang memang menjadi incaran
utama bagi Yoni yang mempunyai aura hitam menakutkan itu.
Perhatian
Kiai Garda segera kembali tertumpah pada akibat dari benturan antara dua
kekuatan dahsyat yang telah mengguncang malam itu. Sinar kebiruan yang sangat
tajam itu telah dengan telak menghantam
pusat bola api raksasa sehingga meledak dan menimbulkan suara menggelegar yang membelah
udara malam.
Kepingan-kepingan
bunga api terlontar berhamburan diatas permukaan sungai Belehan dan menimbulkan
sinar terang tetapi mengandung aura menakutkan. Belum lagi pecahan bola api
membara dan banyaknya kepingan bunga api itu turun jatuh ke bawah dan menyentuh
air, tiba-tiba dari samping berhembus udara yang sangat kuat. Udara atau angin
yang sangat kuat itu dengan cepat mengangkat semua yang hampir jatuh ke
permukaan air untuk kemudian menggulungnya dalam bentuk pusaran angin yang
sangat kuat.
Kini tepat diatas
kedung itu terlihat sebuah pusaran angin yang berputar dengan sangat cepat dan
telah menelan semua pecahan bola api membara maupun percikan bunga api akibat
benturan yang terjadi. Tidak ada sepotong ataupun sekeping pecahan bola api
atau bunga api yang sempat jatuh masuk ke dalam air. Semuanya tertelan pusaran
api itu yang terus berputar semakin lama semakin cepat. Pusaran itu seolah
sedang meremas dan mematikan semua bara api yang membara itu dengan kekuatan
angin maupun hawa yang juga teramat panas yang ikut menyertai putaran itu.
Bentuk
pusaran itu semakin lama semakin susut dan mengecil. Dalam benaknya Kiai Garda
meyakini bahwa itu artinya semua isi dalam pusaran itu sedang terkumpul dan
terpadatkan oleh tenaga raksasa yang menggerakkan pusaran itu.
Dengan sudut
matanya, Kiai Garda melihat betapa tubuh Agung Sedayu sedang bergerak sedikit
kesamping. Saat itulah sebenarnya Agung Sedayu memutuskan untuk melepas angin
pusarannya dan disaat yang hampir tiada jeda, meluncurlah kembali serangan maha
dahsyat berupa ajian yang bersumber dari perguruan Windujati yang tersalur
melalui sinar kebiruan dan terlontar dari ujung cambuknya. Serangan kedua ini
tidak kalah dahsyatnya dengan serangan yang pertama, meluncur secepat tatit di
langit membelah kerapatan udara dan megoyak gelap malam.
Angin
pusaran itu tiba-tiba berhenti dan lenyap tanpa bekas, akan tetapi dari dalam
pusaran yang berhenti itu terlontarlah sebuah benda kehitaman kelam yang padat.
Gumpalan hitam gelap inilah yang menjadi sasaran bidik Agung Sedayu sehingga
sinar kebiruan yang terlontar dan meluncur secepat tatit itu langsung
manghantamnya.
Untuk
kesekian kalinya terjadi ledakan dahsyat yang kembali mengguncang seluruh
kawasan di tepian sungai Belehan itu. Udara malam kembali tertekan dan demikian
pula dengan dada Kiai Garda yang terpaksa bertahan sekuat tenaga sambil
mengerahkan seluruh daya tahan tubuhnya. Untunglah bahwa Gilang dan yang
lainnya telah berada dalam ruang perlindungan yang terbuat dari energi
gelembung biru sehingga semua tekanan itu sudah tidak lagi terlalu menyakiti
dada mereka.
Dalam gerak
lambat, mata batin Kiai Garda melihat betapa gumpalan hitam itu benar-benar
pecah berhamburan dan bahkan menjadi abu hitam yang teramat lembut. Bertebaran
tertiup angin dan menyebar keseluruh kawasan diatas kedung. Malam itu udara malam
seolah sedang terbakar karena munculnya bau gosong yang teramat tajam dan
bahkan sangit.
Bola api
raksasa yang dikelilingi jilatan api membara serta gumpalan hitam yang
merupakan pecahan atau kepingan dari bunga api itu kini benar-benar musnah tak
berbekas. Inilah sebuah prosesi larung atau penghancuran Yoni sebuah pusaka
yang dipaksakan!
Daun-daun pepohonan
disekitar sungai itu tidak mampu lagi berpegangan pada rantingnya, jatuh
melayang dan terhempas angin hingga melayang-layang di udara. Akan tetapi angin
itupun kemudian batal dan tidak mampu untuk menerbangkan daun-daun tersebut
karena tiba-tiba udara terasa pampat dengan seketika. Semua yang ada di malam
itu terlihat tidak bergerak.
Semua terdiam
dalam kesunyian, yang tertinggal adalah sebuah perenungan yang dalam dalam
benak masing-masing.
*****
Pagi itu
suasana di tepian sungai Belehan terasa cerah. Matahari bersinar terang
sementara angin juga berhembus sepoi-sepoi. Meskipun tubuh sudah terasa begitu
lelah dan lemah akan tetapi semua orang masih berkumpul di tepian sungai
Belehan itu sambil mendengarkan beberapa uraian dari Kiai Garda yang mendekati
akhir.
“Kita
sesungguhnya tidak tahu asal dan keberadaan Yoni pusaka itu. Akan tetapi bahwa
semua yang berawal itu pasti akan ada akhirnya, demikian pula Yoni pusaka itu
maupun kehidupan kita semua sebagai manusia. Hanya Yang Maha Agung yang tidak
ber-awal dan juga tidak akan berakhir. Kepada sesembahan kita itulah kita
sandarkan seluruh hidup kita. Kepada Yang Maha Agung itulah kita akan kembali
pulang melalui jalan-jalan yang lurus sesuai ajaran yang kita percaya. Kita
tingkatkan kepercayaan atas kuasa Yang Maha Agung dengan menjalankan semua yang
menjadi perintahNya serta menjauhi semua yang menjadi laranganNya. Itulah
sebaik-baiknya ajaran menjelang kita pulang kembali kepadaNya”, - Kiai Garda
terlihat berhenti sejenak sebelum kemudian menutup sesorahnya -,”Sekarang
marilah kita kembali pulang ke rumah kita, ke kampung halaman dan keluarga kita
masing-masing. Pengalaman hari ini semoga memberi warna dan pelajaran yang
berguna bagi kehidupan kita selanjutnya. Bahwa musuh utama kita sesungguhnya
bersemayam dalam diri kita sendiri, yaitu nafsu untuk selalu berkuasa, nafsu
ingin selalu menang dan juga semua hal yang bersifat jahat. Kepada Yang Maha
Agung kita memohon perlindungan agar di jaga dari sikap-sikap pengumbaran
nafsu. Kepada Yang Maha Agung kita berserah diri agar jalan pulang kita akan
senantiasa terang. Sekali lagi, inilah sebaik-baiknya ajaran untuk pulang”
Matahari
naik semakin tinggi dan panasnya mulai menyengat kulit. Pandan Wangi dan Sekar
Mirah duduk menemani Swandaru yang tubuhnya masih lemah sehingga memilih
beristirahat sambil bersandar di akar pohon yang cukup besar.
Peristiwa
demi peristiwa yang terjadi sangat mencekam hati Pandan Wangi dan tanpa sadar ia
mengusap kedua matanya yang tiba-tiba saja basah tanpa disadarinya. Tidak ingin
menimbulkan tanda-tanya yang mungkin muncul pada Sekar Mirah yang duduk
disebelahnya, terpaksa Pandan Wangi bergeser sedikit menghadap ke kiri.
“Sesungguhnya
aku memang kurang menyadari darimana semua ini bermula. Akan tetapi aku sungguh
akan menjaga agar perjalananku ke depan akan selalu cerah dan membawa
kebahagiaan”, - desisnya dalam hati.
Tanpa sadar
sudut matanya melihat sekilas ke arah Agung Sedayu yang sedang bercengkerama
dengan Gilang di lereng sungai Belehan itu.
Dadanya
berdesir lembut.
TAMAT
Salam
Ries
5 comments:
Luar biasa... Begitu membaca, susah berhenti hingga tamat...
Ditunggu kelanjutannya kisanak...
Sayang sekali cepat sekali tamat...seandainya dapat diperpanjang lagi...?
Mantap sanget ceritanya Ki Pujo ngobati kangene Ati atas ADBM yang tidak terselesaikan.... Nuwun kulo tenggo lanjutane
Penulis sudah layak disebut sebagai pujangga
Agung sedayu,menjadi Kepala Perdikan Menoreh dan menjadi suami Pandan wangi seharusnya. hahaha. hahanya hayalanku saja. Sekarmirah lebih cocok jadi istri sidanti. wakakakkk... dan Swandaru beristrikan wanita padukuhan sekitar Sangkal putung. hihihi.
Post a Comment