BALADA
SWANDARU GENI
Bab V: Ajaran Untuk Pulang
Babak – 09
Senja baru
saja lewat dan kegelapan mulai menyelimuti tepian sungai Belehan. Angin senja berhembus
cukup kencang dan menimbulkan suara bergesekan antara dahan dan daun yang
membuat suasana sedikit berisik.
Mereka yang
ada di tepian sungai Belehan itu ternyata telah duduk dengan melingkar
mengelilingi sebuah perapian yang sengaja di buat oleh Kiai Garda yang dibantu
oleh Ki Widura dan Gilang. Dengan memanjat tebing sungai itu, ternyata mereka
dengan mudah bisa menemukan beberapa ranting dan dahan kering yang kemudian mereka
gunakan untuk membuat perapian.
Sesaat
setelah menyadarkan semua orang yang tidak sadarkan diri, termasuk Ki Sindupati
dan kedua pembantu Resi Kali Belehan, Agung Sedayu memang sempat berbisik
kepada Kiai Garda - ,”Kiai, sebaiknya malam ini kita habiskan waktu di tepian
sungai ini hingga esok pagi. Ini adalah waktu yang sangat baik untuk membangkitkan
kesadaran kepada semua orang – khususnya adi Swandaru – dan semua bekas
pengikut Resi Belehan. Aku mohon Kiai Garda bisa memberikan wejangan dan
sesorah yang pastilah sangat diperlukan oleh kita semua. Suasana ditepi sungai
Belehan ini agaknya akan memberi ingatan yang cukup kuat dalam alam bawah sadar
mereka untuk mengingat dan menghindari kejadian serupa. Lebih jauh, sejujurnya
aku masih merasakan akan adanya hal yang belum tuntas untuk diselesaikan disini”
Kiai Garda terlihat
mengerutkan keningnya, secara tidak langsung sebenarnya Agung Sedayu sedang
memperingatkannya bahwa kejadian di tepian sungai Belehan ini belum berakhir
dan masih ada bahaya yang mungkin saja mengintai mereka semua.
Akan tetapi
Kiai Garda berusaha tenang dan lebih memusatkan diri pada permintaan Agung
Sedayu untuk memberi wejangan pada mereka semua yang sedang berkumpul. Sebagai
murid Kanjeng Sunan Muria, selama ini ia memang sering ditunjuk oleh banyak
orang untuk memberikan nasehat atau sesorah serta memimpin doa. Ia sangat
memahami maksud Agung Sedayu dan karenanya sepakat untuk tetap berdiam di
tepian sungai ini hingga esok pagi meskipun harus menghadapi tamparan angin
yang keras serta suasana yang dingin dan mungkin juga bahaya.
Swandaru, Ki
Sindupati dan kedua pembantu Resi Belehan itu sudah sadar sepenuhnya bahkan
sebelum senja turun. Kiai Garda yang membantu mereka hingga siuman sempat
menanyai tentang jati diri dan asal muasal kedua pembantu Resi Belehan itu.
Ternyata
yang tertua dan bertubuh jangkung yang tadinya menjadi lawan dari Sekar Mirah
biasa dipanggil dengan panggilan Gesit.
“Ah, itu
tentu nama panggilanmu. Siapakah nama lengkapmu?”, - Kiai Garda sempat
mengerutkan keningnya.
Laki-laki
bertubuh jangkung itu terlihat mengerutkan keningnya, dengan agak ragu-ragu ia
kemudian menjawab.
“Aku tidak
tahu Kiai, sejak kecil kedua orangtuaku sudah meninggal dan aku tinggal dengan
seseorang yang mengangkatku sebagai murid dan mereka memanggilku dengan sebutan
itu. Di Padepokan itu tugas utamaku sejak kecil adalah memanjat dan mengambil
buah kelapa dari puluhan pohon. Mungkin karena aku bisa melakukan tugasku
dengan baik maka mereka memanggilku dengan sebutan Gesit”
Kiai Garda
mau tidak mau terpaksa mengangguk-anggukkan kepalanya meskipun dari bibirnya
tersungging senyuman kecil.
“Apakah nama
padepokanmu dan dimana letaknya?”
“Seingatku,
padepokan itu bernama Kalilom dan berada dekat dengan pantai di pesisir utara
daerah Kacirebonan Kiai. Sepanjang ingatanku yang masih belum sepenuhnya pulih
ini, aku sengaja meninggalkan padepokan itu tanpa pamit untuk menghindari rasa
sakit hati dan kejadian yang mungkin akan lebih buruk lagi”
“Cobalah kau
ingat dan ceritakan bagaimana kau meninggalkan padepokanmu yang dulu hingga
kemudian menjadi pembantu Resi Kali Belehan ini”, - Kiai Garda menjadi tertarik
dengan kisah orang bertubuh jangkung ini.
Laki-laki
bertubuh jangkung itu terlihat menundukkan wajahnya, ia memang berusaha
mengingat-ingat tentang dirinya sendiri yang seolah baru saja tersadarkan dari
sebuah kungkungan gelap yang membuat daya nalarnya seperti mati.
Perlahan-lahan
meluncurlah suara yang agak pelan dan bertutur tentang sepenggal kisahnya.
“Kiai, waktu
itu aku sudah puluhan tahun berada di Padepokan Kalilom dan dididik oleh seorang
guru bernama Ki Oso. Umurku sudah lewat dari tigapuluh tahun, akan tetapi aku
belum menikah karena saat itu sebenarnya aku menaruh hati pada satu-satunya putri
guru. Akan tetapi, harapanku itu ternyata hancur berkeping-keping ketika pada
suatu hari guru berniat menikahkan putrinya dengan adi Sugondo yang merupakan
murid guru yang beberapa tahun lebih muda dari aku”
“Saat itu
aku ingin memberontak dan menentang, akan tetapi sama sekali tidak ada
keberanian karena aku tahu watak guru yang sangat keras jika ada anak muridnya
yang membangkang. Karena itu, aku merencanakan untuk membunuh adi Sugondo
secara diam-diam tanpa sepengetahuan guru. Kesempatan itu benar-benar aku dapatkan,
akan tetapi ternyata dalam pertarungan itu justru aku yang dikalahkan oleh adi
Sugondo. Aku yang berguru lebih lama ternyata tidak lebih baik dari adik
seperguruanku yang beberapa tahun lebih lambat dariku dalam hal mempelajari
ilmu dari guru yang sama. Harus aku akui, bahwa itu bukan salah guru atau
karena guru pilih kasih, karena pada dasarnya kami memiliki semuanya. Hanya saja ternyata
adi Sugondo lebih masuk ke kedalaman dan mampu menyerap inti dari kekuatan ilmu
yang diturunkan guru, sementara aku lebih banyak mempelajari dipermukaan dan
lebih bangga melihat kewadagan”
“Kekalahan
itu membuatku sangat kecewa pada diri sendiri. Aku telah membuang-buang waktuku
belasan bahkan puluhan tahun untuk sesuatu yang hanya nampak dipermukaan. Terlebih
aku telah mempunyai niat jahat untuk membunuh adi Sugondo yang untunglah
ternyata mampu melindungi dirinya sendiri. Karena itu dengan segunung
penyesalan aku memutuskan untuk pergi meninggalkan padepokan tanpa pamit. Aku
tidak mendendam pada adi Sugondo dan aku berusaha pula untuk melupakan putri
guru yang hampir saja membutakan mata hatiku. Tetapi aku sangat kecewa pada
diriku sendiri dan karenanya aku pergi menjauh, melupakan semua kelemahan dan
kegagalan yang pernah aku alami di padepokan itu”
Suara
laki-laki jangkung yang bernama Gesit itu terdengar seperti tercekik. Agaknya
beban perasaan itu masih hinggap sehingga menyisakan rasa pedih di hatinya.
“Saat itu
aku pergi kearah matahari terbit dan tidak mempunyai tujuan pasti. Aku
benar-benar sudah bisa melupakan wajah dan keinginanku untuk mempersunting putri
guru. Akan tetapi ternyata aku tidak bisa melupakan kekalahan oleh adi Sugondo.
Hal itu terasa sangat menyakitkan dan menuntunku untuk berlatih keras sepanjang
perjalanan untuk memperbaiki kemampuan olah kanuraganku. Aku mengembara hingga
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun hingga suatu saat aku bertemu dengan Eyang
Resi yang mampu memikatku dengan kemampuannya. Eyang Resi berjanji untuk
mengangkat aku sebagai muridnya dan menurunkan semua ilmunya asalkan aku
bersedia memenuhi semua perintahnya atau menjadi pelayannya. Sejak saat itu
sesungguhnya aku telah mengabdikan seluruh hidupku untuk kepentingan Eyang Resi”
“Lalu apakah
yang biasa diperintahkan kepadamu oleh Resi Belehan itu?”, - tanya Kiai Garda
dengan nada penasaran.
Wajah
laki-laki bernama Gesit itu terlihat menunduk dan sangat muram. Kegarangannya
sama sekali tidak nampak dan bahkan tergantikan oleh wajah suram yang memelas.
Angin malam
berhembus semakin dingin, sambil mendengar cerita Ki Trengginas beberapa kali
Gilang dan Ki Widura melemparkan ranting kering ke dalam perapian itu untuk
sekedar menambah kehangatan tubuh dan juga mengusir nyamuk. Sementara wajah
laki-laki jangkung itu sempat dijilati sinar api kemerahan akan tetapi yang
nampak adalah wajah yang sayu.
Hingga
beberapa saat ternyata laki-laki bertubuh jangkung yang bernama Gesit itu tidak
lagi mengeluarkan suaranya. Suasana terasa hening, masing-masing sibuk dengan
pikirannya betapa nafsu untuk senantiasa unggul, atau nafsu untuk menjadi orang
berkemampuan linuwih ternyata telah menuntun seseorang untuk melakukan hal-hal
yang tidak terduga.
Mendadak
mereka semua terperanjat ketika pada saat yang bersamaan Agung Sedayu dan Kiai
Garda mengangkat wajah dan mendongakkan kepalanya. Bahkan keduanya kemudian dengan
cepat meloncat bangkit dan berdiri tegak berjajar serta memandang permukaan
kedung atau tempuran sungai Belehan itu dengan penuh kewaspadaan.
Salam,
Ries
No comments:
Post a Comment