Sunday, September 10, 2017

BSG - BAB.V - AUP - Babak-09

BALADA SWANDARU GENI
Bab V: Ajaran Untuk Pulang
Babak – 09



Senja baru saja lewat dan kegelapan mulai menyelimuti tepian sungai Belehan. Angin senja berhembus cukup kencang dan menimbulkan suara bergesekan antara dahan dan daun yang membuat suasana sedikit berisik.


Mereka yang ada di tepian sungai Belehan itu ternyata telah duduk dengan melingkar mengelilingi sebuah perapian yang sengaja di buat oleh Kiai Garda yang dibantu oleh Ki Widura dan Gilang. Dengan memanjat tebing sungai itu, ternyata mereka dengan mudah bisa menemukan beberapa ranting dan dahan kering yang kemudian mereka gunakan untuk membuat perapian.


Sesaat setelah menyadarkan semua orang yang tidak sadarkan diri, termasuk Ki Sindupati dan kedua pembantu Resi Kali Belehan, Agung Sedayu memang sempat berbisik kepada Kiai Garda - ,”Kiai, sebaiknya malam ini kita habiskan waktu di tepian sungai ini hingga esok pagi. Ini adalah waktu yang sangat baik untuk membangkitkan kesadaran kepada semua orang – khususnya adi Swandaru – dan semua bekas pengikut Resi Belehan. Aku mohon Kiai Garda bisa memberikan wejangan dan sesorah yang pastilah sangat diperlukan oleh kita semua. Suasana ditepi sungai Belehan ini agaknya akan memberi ingatan yang cukup kuat dalam alam bawah sadar mereka untuk mengingat dan menghindari kejadian serupa. Lebih jauh, sejujurnya aku masih merasakan akan adanya hal yang belum tuntas untuk diselesaikan disini”


Kiai Garda terlihat mengerutkan keningnya, secara tidak langsung sebenarnya Agung Sedayu sedang memperingatkannya bahwa kejadian di tepian sungai Belehan ini belum berakhir dan masih ada bahaya yang mungkin saja mengintai mereka semua.


Akan tetapi Kiai Garda berusaha tenang dan lebih memusatkan diri pada permintaan Agung Sedayu untuk memberi wejangan pada mereka semua yang sedang berkumpul. Sebagai murid Kanjeng Sunan Muria, selama ini ia memang sering ditunjuk oleh banyak orang untuk memberikan nasehat atau sesorah serta memimpin doa. Ia sangat memahami maksud Agung Sedayu dan karenanya sepakat untuk tetap berdiam di tepian sungai ini hingga esok pagi meskipun harus menghadapi tamparan angin yang keras serta suasana yang dingin dan mungkin juga bahaya.


Swandaru, Ki Sindupati dan kedua pembantu Resi Belehan itu sudah sadar sepenuhnya bahkan sebelum senja turun. Kiai Garda yang membantu mereka hingga siuman sempat menanyai tentang jati diri dan asal muasal kedua pembantu Resi Belehan itu.


Ternyata yang tertua dan bertubuh jangkung yang tadinya menjadi lawan dari Sekar Mirah biasa dipanggil dengan panggilan Gesit.

“Ah, itu tentu nama panggilanmu. Siapakah nama lengkapmu?”, - Kiai Garda sempat mengerutkan keningnya.


Laki-laki bertubuh jangkung itu terlihat mengerutkan keningnya, dengan agak ragu-ragu ia kemudian menjawab.


“Aku tidak tahu Kiai, sejak kecil kedua orangtuaku sudah meninggal dan aku tinggal dengan seseorang yang mengangkatku sebagai murid dan mereka memanggilku dengan sebutan itu. Di Padepokan itu tugas utamaku sejak kecil adalah memanjat dan mengambil buah kelapa dari puluhan pohon. Mungkin karena aku bisa melakukan tugasku dengan baik maka mereka memanggilku dengan sebutan Gesit”


Kiai Garda mau tidak mau terpaksa mengangguk-anggukkan kepalanya meskipun dari bibirnya tersungging senyuman kecil.


“Apakah nama padepokanmu dan dimana letaknya?”


“Seingatku, padepokan itu bernama Kalilom dan berada dekat dengan pantai di pesisir utara daerah Kacirebonan Kiai. Sepanjang ingatanku yang masih belum sepenuhnya pulih ini, aku sengaja meninggalkan padepokan itu tanpa pamit untuk menghindari rasa sakit hati dan kejadian yang mungkin akan lebih buruk lagi”


“Cobalah kau ingat dan ceritakan bagaimana kau meninggalkan padepokanmu yang dulu hingga kemudian menjadi pembantu Resi Kali Belehan ini”, - Kiai Garda menjadi tertarik dengan kisah orang bertubuh jangkung ini.


Laki-laki bertubuh jangkung itu terlihat menundukkan wajahnya, ia memang berusaha mengingat-ingat tentang dirinya sendiri yang seolah baru saja tersadarkan dari sebuah kungkungan gelap yang membuat daya nalarnya seperti mati.


Perlahan-lahan meluncurlah suara yang agak pelan dan bertutur tentang sepenggal kisahnya.


“Kiai, waktu itu aku sudah puluhan tahun berada di Padepokan Kalilom dan dididik oleh seorang guru bernama Ki Oso. Umurku sudah lewat dari tigapuluh tahun, akan tetapi aku belum menikah karena saat itu sebenarnya aku menaruh hati pada satu-satunya putri guru. Akan tetapi, harapanku itu ternyata hancur berkeping-keping ketika pada suatu hari guru berniat menikahkan putrinya dengan adi Sugondo yang merupakan murid guru yang beberapa tahun lebih muda dari aku”


“Saat itu aku ingin memberontak dan menentang, akan tetapi sama sekali tidak ada keberanian karena aku tahu watak guru yang sangat keras jika ada anak muridnya yang membangkang. Karena itu, aku merencanakan untuk membunuh adi Sugondo secara diam-diam tanpa sepengetahuan guru. Kesempatan itu benar-benar aku dapatkan, akan tetapi ternyata dalam pertarungan itu justru aku yang dikalahkan oleh adi Sugondo. Aku yang berguru lebih lama ternyata tidak lebih baik dari adik seperguruanku yang beberapa tahun lebih lambat dariku dalam hal mempelajari ilmu dari guru yang sama. Harus aku akui, bahwa itu bukan salah guru atau karena guru pilih kasih, karena pada dasarnya  kami memiliki semuanya. Hanya saja ternyata adi Sugondo lebih masuk ke kedalaman dan mampu menyerap inti dari kekuatan ilmu yang diturunkan guru, sementara aku lebih banyak mempelajari dipermukaan dan lebih bangga melihat kewadagan”


“Kekalahan itu membuatku sangat kecewa pada diri sendiri. Aku telah membuang-buang waktuku belasan bahkan puluhan tahun untuk sesuatu yang hanya nampak dipermukaan. Terlebih aku telah mempunyai niat jahat untuk membunuh adi Sugondo yang untunglah ternyata mampu melindungi dirinya sendiri. Karena itu dengan segunung penyesalan aku memutuskan untuk pergi meninggalkan padepokan tanpa pamit. Aku tidak mendendam pada adi Sugondo dan aku berusaha pula untuk melupakan putri guru yang hampir saja membutakan mata hatiku. Tetapi aku sangat kecewa pada diriku sendiri dan karenanya aku pergi menjauh, melupakan semua kelemahan dan kegagalan yang pernah aku alami di padepokan itu”


Suara laki-laki jangkung yang bernama Gesit itu terdengar seperti tercekik. Agaknya beban perasaan itu masih hinggap sehingga menyisakan rasa pedih di hatinya.


“Saat itu aku pergi kearah matahari terbit dan tidak mempunyai tujuan pasti. Aku benar-benar sudah bisa melupakan wajah dan keinginanku untuk mempersunting putri guru. Akan tetapi ternyata aku tidak bisa melupakan kekalahan oleh adi Sugondo. Hal itu terasa sangat menyakitkan dan menuntunku untuk berlatih keras sepanjang perjalanan untuk memperbaiki kemampuan olah kanuraganku. Aku mengembara hingga berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun hingga suatu saat aku bertemu dengan Eyang Resi yang mampu memikatku dengan kemampuannya. Eyang Resi berjanji untuk mengangkat aku sebagai muridnya dan menurunkan semua ilmunya asalkan aku bersedia memenuhi semua perintahnya atau menjadi pelayannya. Sejak saat itu sesungguhnya aku telah mengabdikan seluruh hidupku untuk kepentingan Eyang Resi”


“Lalu apakah yang biasa diperintahkan kepadamu oleh Resi Belehan itu?”, - tanya Kiai Garda dengan nada penasaran.


Wajah laki-laki bernama Gesit itu terlihat menunduk dan sangat muram. Kegarangannya sama sekali tidak nampak dan bahkan tergantikan oleh wajah suram yang memelas.


Angin malam berhembus semakin dingin, sambil mendengar cerita Ki Trengginas beberapa kali Gilang dan Ki Widura melemparkan ranting kering ke dalam perapian itu untuk sekedar menambah kehangatan tubuh dan juga mengusir nyamuk. Sementara wajah laki-laki jangkung itu sempat dijilati sinar api kemerahan akan tetapi yang nampak adalah wajah yang sayu.


Hingga beberapa saat ternyata laki-laki bertubuh jangkung yang bernama Gesit itu tidak lagi mengeluarkan suaranya. Suasana terasa hening, masing-masing sibuk dengan pikirannya betapa nafsu untuk senantiasa unggul, atau nafsu untuk menjadi orang berkemampuan linuwih ternyata telah menuntun seseorang untuk melakukan hal-hal yang tidak terduga.


Mendadak mereka semua terperanjat ketika pada saat yang bersamaan Agung Sedayu dan Kiai Garda mengangkat wajah dan mendongakkan kepalanya. Bahkan keduanya kemudian dengan cepat meloncat bangkit dan berdiri tegak berjajar serta memandang permukaan kedung atau tempuran sungai Belehan itu dengan penuh kewaspadaan.



Salam,

Ries

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...