BALADA
SWANDARU GENI
Bab V: Ajaran Untuk Pulang
Babak – 07
Wajah Agung
Sedayu tiba-tiba terlihat menegang dan dadanya berdetak lebih kencang. Baru
disadarinya bahwa ada sesuatu yang luput dari perhatiannya dan agaknya itu
adalah hal yang teramat penting terkait dengan keberadaan lawannya.
Agung Sedayu
segera memejamkan matanya dan dicobanya untuk mendudah semua ingatannya
saat-saat terakhir ia membidikkan bambu kuning temu ros-e yang menembus dada
sosok hitam yang selama ini mendukung jiwa Resi Kali Belehan. Saat yang hanya
sekejab, akan tetapi begitu banyak gerakan dan kejadian yang saling susul
menyusul dalam rentang waktu yang sekejab itu. Saat dimana perhatiannya
terpatri sepenuhnya pada gumpalan asap merah kehitaman yang merambat dari cakra
mahkota atau kepala lawannya menuju keris ber-luk tigabelas itu.
Sejenak
kemudian, Agung Sedayu sudah membuka matanya dan terdengar suaranya lirih - ,”Kiai,
agaknya memang ada yang luput dari perhatianku. Seranganku lebih banyak tertuju
pada asap merah kehitaman yang merambat hendak merasuk pada keris pusaka itu. Aku
berhasil membuyarkan kepekatan asap itu hingga pecah tidak berbentuk dan agaknya
itu juga menggagalkan proses oncat jiwa-nya. Perhatianku masih teralihkan pada
sosok hitam yang terlihat bergerak dan kemudian menjadi sasaran bidik bambu
kuningku hingga terbenam dan terkubur dalam dasar tempuran sungai itu”
Kiai Garda
mendengarkan keterangan Agung Sedayu itu dengan seksama, akan tetapi ternyata
penjelasan itu sama sekali tidak menurunkan ketegangan dalam hatinya.
“Lalu apakah
yang tertangkap oleh panggraita Ki Agung Sedayu terkait dengan keberadaan keris
pusaka itu saat masih bertarung ataupun saat ini”, - Kiai Garda mengejar dengan
pertanyaan susulan yang masih diliputi kecemasan.
Agung Sedayu
termangu-mangu, sesungguhnya sedikit banyak ia memahami kecemasan Kiai Grada.
Akan tetapi ia merasa sudah berbuat sejauh yang ia mampu dan ternyata ia kini
memang tidak bisa menangkap getar apapun yang terkait dengan keberadaan keris
pusaka yang ber-aura gelap itu.
Dengan lemah
Agung Sedayu itu menggelengkan kepalanya sambil berucap lirih - ,”Inilah bukti
kelemahan seseorang Kiai. Mungkin orang disekitarku ada yang beranggapan bahwa
aku mempunyai kemampuan melebihi mereka, akan tetapi sesungguhnya kelebihan itu
bisa saja setiap saat hilang atau bahkan tidak mendukung upaya kita. Saat ini
aku benar-benar tidak mampu melihat ataupun merasakan getar keberadaan keris
pusaka itu”
Jawaban Agung
Sedayu itu justru membuat Kiai Garda diliputi kecemasan yang lebih besar dan terus
membayang di wajahnya yang mulai berkerut oleh bertambahnya usia.
“Baiklah,
tetapi aku yakin bahwa Ki Agung Sedayu pernah mendengar kisah tentang sebuah keris
pusaka yang telah menelan paling tidak tujuh nyawa terkait kutukan dari seorang
linuwih yang bernama Mpu Gandring. Sebuah keris yang seberapapun rapat ia disembunyikan
agar tidak ada lagi yang menyentuhnya, akan tetapi pada kenyataannya tetap saja
ada korban yang jatuh tidak ter-elakkan”, - terdengar suara Kiai Garda penuh
tekanan.
Agung Sedayu
yang mendengar perkataan Kiai Garda itu termangu-mangu, sesungguhnya hatinya
semakin tercekat dan juga diliputi kekuatiran yang semakin membesar melihat
kesungguhan yang nampak pada wajah Kiai Garda.
”Kiai, apakah
ada hubungan antara keris ber-luk tigabelas yang dipegang Resi Kali Belehan itu
dengan keris pusaka yang telah menewaskan Ken Arok dan beberapa keturunannya
itu?”
Sambiil
menarik nafas dalam-dalam, Kiai Garda menjawab pertanyaan Agung Sedayu itu
dengan hati-hati.
“Sejujurnya
aku juga kurang mengetahuinya Ki, akan tetapi ada sebuah cerita yang pernah aku
dengar dari seorang pertapa di Gunung Pandan. Sesungguhnya beliau adalah guruku
yang mengajarkan ilmu tentang pengobatan dan tinggal di lereng Gunung Pandan
sebelah selatan”
Agung Sedayu
mengerinyitkan dahinya, tetapi ia memilih diam dan tidak memotong perkataan agar
Kiai Garda bisa segera melanjutkan kalimatnya.
“Semasa
muda, guru pernah belajar ilmu jaya kawijayan dan kanuragan pada seorang lurah
prajurit yang bertugas pada akhir pemerintahan Majapahit. Sebagai seorang lurah
prajurit, saat itu kakek guru lebih banyak ditugaskan untuk menjaga gedung
perbendaharaan pusaka. Itulah sebuah bangunan yang di dalamnya tersimpan begitu
banyak jenis pusaka mulai dari keris, tombak, pedang hingga payung ataupun
tunggul kerajaan. Kakek guru bertugas menjaga bangunan dan seisinya itu dari
tindakan pencurian, perampokan atau segala gangguan yang nyata dan terlihat
oleh mata wadag kita. Sementara, bersama kakek guru, ditugaskan pula seorang
linuwih yang sudah berusia lanjut dan berjuluk Mpu Dursila”
Kiai Garda
menghentikan kalimatnya sejenak sambil mengingat-ingat cerita yang pernah ia
dengar dari gurunya.
“Suatu
ketika, tengah malam sudah lewat dan kakek guru melihat betapa Mpu Dursila
tengah bersimbah peluh sambil duduk di halaman terbuka. Kedua tangannya
bersedekap di depan dada dan wajahnya terlihat sangat tegang dengan tubuh
mengginggil seolah ada sesuatu yang sedang bertarung di dalam dirinya. Kakek
guru memang sudah sering berbincang dengan Mpu Dursila dan dengan sikap itu,
kakek guru langsung mengetahui bahwa ada bahaya yang sedang mengintai dan kini
Mpu Dursila sedang berusaha mengatasi bahaya yang tidak nampak itu dalam sebuah
pertarungan yang tidak terlihat oleh mata wadag. Kakek guru memang tidak bisa
melihat apakah bahaya yang sedang mengancam itu, akan tetapi ia bisa merasakan
betapa malam yang seharusnya dingin karena musim bediding itu kini terasa
sangat panas. Peluh di tubuh kakek guru yang berdiri sekitar satu tombak dari
Mpu Dursila bercucuran deras, sebagaimana peluh di wajah dan tubuh orangtua
yang sedang memusatkan segala nalar budi dan kekuatan batinnya.”
“Sesaat
kemudian, terlihat beberapa kilatan bola api yang meluncur deras menuju gedung
penyimpanan pusaka kerajaan itu. Akan tetapi kilatan bola api itu seolah telah
membentur sebuah dinding yang tidak kasat mata sehingga terjadilah ledakan
beberapa kali susul menyusul. Kejadian itu bisa dilihat dengan mata telanjang
kakek guru dan juga beberapa prajurit anak buahnya. Ledakan yang terjadi di
udara malam sepi itu terdengar cukup keras dan susul menyusul. Beberapa saat
kemudian Mpu Dursila itu sudah mengakhiri pemusatan nalar budinya dan kemudian
memeriksa bangunan beserta seluruh isinya bersama kakek guru”
Agung Sedayu
mendengarkan cerita Kiai Garda dengan dada berdebaran, ia masih belum tahu
apakah inti cerita itu nanti berkaitan dengan pusaka di tangan Resi Kali Belehan
yang kini tidak diketahui keberadaannya.
“Menurut
cerita Mpu Dursila kepada kakek guru, kejadian malam itu sama sekali berbeda
dengan kejadian-kejadian sebelumnya. Hal yang sering terjadi adalah pencurian
pusaka oleh maling juling, ataupun pencurian pada ‘isi’ sebuah pusaka. Dalam
hal pencurian pusaka, maka yang dicuri adalah pusaka tersebut dan tentu saja
isi atau tuah dari pusaka itu dengan sendirinya ikut tercuri. Sementara
pencurian atas ‘isi’ sebuah pusaka agak sedikit berbeda. Ujud fisik pusaka bisa
saja masih tetap pada tempatnya, akan tetapi tuah dari pusaka itu sendiri sudah
berpindah ke si pencuri sehingga pusaka itu menjadi kopong alias tidak pantas
lagi disebut sebagai sebuah pusaka, melainkan besi kosong berbentuk pusaka yang
sama sekali tidak ada tuahnya. Inilah yang menjadi tugas Mpu Dursila untuk
menjaga dan mencegah pencurian ‘isi’ sebuah pusaka”
“Sementara
kejadian malam itu, menurut Mpu Dursila adalah justru sebaliknya. Ada sebuah
kekuatan yang sangat besar yang merupakan tuah dari sebuah pusaka hendak
mencari rumah sebagai wadah penyimpan tuahnya. Menurut Mpu Dursila, hal ini terjadi
biasanya karena adanya proses larung atau pemusnahan sebuah pusaka yang kurang
sempurna, sehingga meskipun mungkin saja fisik pusaka itu hancur atau lenyap,
akan tetapi tuah atau wahyu pusaka itu masih mengembara dan melayang-layang di
udara. Biasanya tuah atau wahyu pengisi pusaka itu akan berada di atas sebuah
puncak gunung ber-api yang masih aktif. Ia akan mencari wadah yang sesuai
dengan tuah wahyu yang ada padanya dengan cara menyusup, menggeser atau bahkan
mengusir tuah sebuah pusaka sebelumnya”
Kembali
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam, ia bisa merasakan betapa pengetahuan
Kiai Garda tentang sebuah pusaka sangatlah luas. Pengetahuannya tentang keris
Mpu Gandring sendiri hanyalah sebatas apa yang pernah diceritakan dan di dengar
orang-orang pada umumnya.
“Ada sebuah
pusaka berbentuk keris di perbendaharaan gedung itu yang disebut Kiai Surya Panuluh”,
- terdengar Kiai Garda meneruskan ceritanya - ,”Menurut Mpu Dursila, saat itu
sebenarnya ia hanya membantu pusaka Kiai Surya Panuluh untuk mengusir tuah atau
wahyu yang datang dan hendak menindihnya wadah dari Kiai Surya Panuluh. Tuah
yang hendak menindih itu ber-aura merah kehitaman dan memiliki pengaruh yang
sangat kuat. Agaknya tidak ada pusaka lain yang sanggup mewadahi tuah atau
wahyu itu selain pusaka Kiai Surya Panuluh yang merupakan pusaka pegangan dari
Maha Patih Gadjah Mada semasa hidupnya”
“Ah, lalu
tuah dari pusaka manakan yang hendak menindih Kiai Surya Panuluh itu Kiai”, -
tanya Agung Sedayu.
Kiai Garda terlihat
menggelengkan wajahnya - ,”Menurut kakek guru, Mpu Dursila juga tidak begitu
yakin. Ada kemungkinan bahwa itu adalah tuah dari keris Mpu Gandring yang
prosesi larung atau pemusnahannya ternyata tidak sempurna. Tetapi bisa saja itu
adalah tuah dari pusaka lain yang memang Mpu Dursila juga belum mengetahuinya.
Menurut kakek guru, ketika menemukan wadah yang tepat, maka tuah pusaka itu
bagaikan menemukan sebuah kehidupan disamping akan sangat mempengaruhi jiwa
dari orang yang memegangnya. Dia bisa saja menyebarkan kejahatan yang merusak
tatanan ketika berada di tubuh atau wadah yang jahat sesuai sifat tuah pusaka
itu”
“Tetapi
Kiai, bukankah keris Mpu Gandring itu sudah di larung di kawah berapi di
sekitar Gunung Kelud?”, - tanya Agung Sedayu.
“Itulah
cerita yang beredar Ki, akan tetapi tidak seorangpun yang mengetahui
kebenarannya. Bagaimana cara melarung dan apakah itu sudah bergasil dengan
baik?”, - suara Kiai Garda terdengar kembali lirih.
“Apakah Kiai
mencurigai, bahwa pusaka Resi Kali Belehan itu adalah tuah dari pusaka Mpu Gandring
yang telah menemukan sosok wadah barunya?”, - tanya Agung Sedayu dengan nada
cemas.
Kemballi Kiai
Garda mengelengkan kepalanya - “Tidak ada yang bisa memastikan Ki, akan tetapi aku
yakin bahwa tuah itu sekarang masih melayang-layang di udara dan mencari wadah
atau sosok pendukung baru yang akan kembali menyebarkan kegelapan di muka bumi
ini”
Suasana di
tepian sungai itu kembali hening, matahari sudah benar-benar bergeser dari
puncaknya meskipun hari masih cukup terang.
“Kecuali Ki
Agung Sedayu bisa melakukan sesuatu dengan ini”, - tiba-tiba Kiai Garda berkata
sambil mengeluarkan sebuah batu berwarna hitam gelap sebesar telur ayam.
Batu itu meskipun
hitam gelap akan tetapi juga sangat mengkilap. Sinar matahari bahkan terpantulkan
oleh permukaan kilapnya itu sehingga membuat Agung Sedayu memicingkan matanya
karena silau.
“Batu apakah
ini Kiai?”, - tanya Agung Sedayu penasaran.
Sebelum Agung
Sedayu mendapatkan jawaban, tiba-tiba telinganya menangkap sebuah suara pekikan
yang keluar dari mulut yang sangat
dikenalnya. Tanpa mengeluarkan suara lebih lanjut, tubuh Agung Sedayu melejit
dengan cepat dan meluncur beberapa tombak ke samping.
“Wangi!”, -
batin Agung Sedayu di penuhi rasa kuatir.
Salam,
Ries
No comments:
Post a Comment