Saturday, September 2, 2017

BSG - BAB.V - AUP - Babak-07

BALADA SWANDARU GENI
Bab V: Ajaran Untuk Pulang
Babak – 07



Wajah Agung Sedayu tiba-tiba terlihat menegang dan dadanya berdetak lebih kencang. Baru disadarinya bahwa ada sesuatu yang luput dari perhatiannya dan agaknya itu adalah hal yang teramat penting terkait dengan keberadaan lawannya.


Agung Sedayu segera memejamkan matanya dan dicobanya untuk mendudah semua ingatannya saat-saat terakhir ia membidikkan bambu kuning temu ros-e yang menembus dada sosok hitam yang selama ini mendukung jiwa Resi Kali Belehan. Saat yang hanya sekejab, akan tetapi begitu banyak gerakan dan kejadian yang saling susul menyusul dalam rentang waktu yang sekejab itu. Saat dimana perhatiannya terpatri sepenuhnya pada gumpalan asap merah kehitaman yang merambat dari cakra mahkota atau kepala lawannya menuju keris ber-luk tigabelas itu.


Sejenak kemudian, Agung Sedayu sudah membuka matanya dan terdengar suaranya lirih - ,”Kiai, agaknya memang ada yang luput dari perhatianku. Seranganku lebih banyak tertuju pada asap merah kehitaman yang merambat hendak merasuk pada keris pusaka itu. Aku berhasil membuyarkan kepekatan asap itu hingga pecah tidak berbentuk dan agaknya itu juga menggagalkan proses oncat jiwa-nya. Perhatianku masih teralihkan pada sosok hitam yang terlihat bergerak dan kemudian menjadi sasaran bidik bambu kuningku hingga terbenam dan terkubur dalam dasar tempuran sungai itu”


Kiai Garda mendengarkan keterangan Agung Sedayu itu dengan seksama, akan tetapi ternyata penjelasan itu sama sekali tidak menurunkan ketegangan dalam hatinya.


“Lalu apakah yang tertangkap oleh panggraita Ki Agung Sedayu terkait dengan keberadaan keris pusaka itu saat masih bertarung ataupun saat ini”, - Kiai Garda mengejar dengan pertanyaan susulan yang masih diliputi kecemasan.


Agung Sedayu termangu-mangu, sesungguhnya sedikit banyak ia memahami kecemasan Kiai Grada. Akan tetapi ia merasa sudah berbuat sejauh yang ia mampu dan ternyata ia kini memang tidak bisa menangkap getar apapun yang terkait dengan keberadaan keris pusaka yang ber-aura gelap itu.


Dengan lemah Agung Sedayu itu menggelengkan kepalanya sambil berucap lirih - ,”Inilah bukti kelemahan seseorang Kiai. Mungkin orang disekitarku ada yang beranggapan bahwa aku mempunyai kemampuan melebihi mereka, akan tetapi sesungguhnya kelebihan itu bisa saja setiap saat hilang atau bahkan tidak mendukung upaya kita. Saat ini aku benar-benar tidak mampu melihat ataupun merasakan getar keberadaan keris pusaka itu”


Jawaban Agung Sedayu itu justru membuat Kiai Garda diliputi kecemasan yang lebih besar dan terus membayang di wajahnya yang mulai berkerut oleh bertambahnya usia.


“Baiklah, tetapi aku yakin bahwa Ki Agung Sedayu pernah mendengar kisah tentang sebuah keris pusaka yang telah menelan paling tidak tujuh nyawa terkait kutukan dari seorang linuwih yang bernama Mpu Gandring. Sebuah keris yang seberapapun rapat ia disembunyikan agar tidak ada lagi yang menyentuhnya, akan tetapi pada kenyataannya tetap saja ada korban yang jatuh tidak ter-elakkan”, - terdengar suara Kiai Garda penuh tekanan.


Agung Sedayu yang mendengar perkataan Kiai Garda itu termangu-mangu, sesungguhnya hatinya semakin tercekat dan juga diliputi kekuatiran yang semakin membesar melihat kesungguhan yang nampak pada wajah Kiai Garda.


”Kiai, apakah ada hubungan antara keris ber-luk tigabelas yang dipegang Resi Kali Belehan itu dengan keris pusaka yang telah menewaskan Ken Arok dan beberapa keturunannya itu?”


Sambiil menarik nafas dalam-dalam, Kiai Garda menjawab pertanyaan Agung Sedayu itu dengan hati-hati.


“Sejujurnya aku juga kurang mengetahuinya Ki, akan tetapi ada sebuah cerita yang pernah aku dengar dari seorang pertapa di Gunung Pandan. Sesungguhnya beliau adalah guruku yang mengajarkan ilmu tentang pengobatan dan tinggal di lereng Gunung Pandan sebelah selatan”


Agung Sedayu mengerinyitkan dahinya, tetapi ia memilih diam dan tidak memotong perkataan agar Kiai Garda bisa segera melanjutkan kalimatnya.


“Semasa muda, guru pernah belajar ilmu jaya kawijayan dan kanuragan pada seorang lurah prajurit yang bertugas pada akhir pemerintahan Majapahit. Sebagai seorang lurah prajurit, saat itu kakek guru lebih banyak ditugaskan untuk menjaga gedung perbendaharaan pusaka. Itulah sebuah bangunan yang di dalamnya tersimpan begitu banyak jenis pusaka mulai dari keris, tombak, pedang hingga payung ataupun tunggul kerajaan. Kakek guru bertugas menjaga bangunan dan seisinya itu dari tindakan pencurian, perampokan atau segala gangguan yang nyata dan terlihat oleh mata wadag kita. Sementara, bersama kakek guru, ditugaskan pula seorang linuwih yang sudah berusia lanjut dan berjuluk Mpu Dursila”


Kiai Garda menghentikan kalimatnya sejenak sambil mengingat-ingat cerita yang pernah ia dengar dari gurunya.


“Suatu ketika, tengah malam sudah lewat dan kakek guru melihat betapa Mpu Dursila tengah bersimbah peluh sambil duduk di halaman terbuka. Kedua tangannya bersedekap di depan dada dan wajahnya terlihat sangat tegang dengan tubuh mengginggil seolah ada sesuatu yang sedang bertarung di dalam dirinya. Kakek guru memang sudah sering berbincang dengan Mpu Dursila dan dengan sikap itu, kakek guru langsung mengetahui bahwa ada bahaya yang sedang mengintai dan kini Mpu Dursila sedang berusaha mengatasi bahaya yang tidak nampak itu dalam sebuah pertarungan yang tidak terlihat oleh mata wadag. Kakek guru memang tidak bisa melihat apakah bahaya yang sedang mengancam itu, akan tetapi ia bisa merasakan betapa malam yang seharusnya dingin karena musim bediding itu kini terasa sangat panas. Peluh di tubuh kakek guru yang berdiri sekitar satu tombak dari Mpu Dursila bercucuran deras, sebagaimana peluh di wajah dan tubuh orangtua yang sedang memusatkan segala nalar budi dan kekuatan batinnya.”


“Sesaat kemudian, terlihat beberapa kilatan bola api yang meluncur deras menuju gedung penyimpanan pusaka kerajaan itu. Akan tetapi kilatan bola api itu seolah telah membentur sebuah dinding yang tidak kasat mata sehingga terjadilah ledakan beberapa kali susul menyusul. Kejadian itu bisa dilihat dengan mata telanjang kakek guru dan juga beberapa prajurit anak buahnya. Ledakan yang terjadi di udara malam sepi itu terdengar cukup keras dan susul menyusul. Beberapa saat kemudian Mpu Dursila itu sudah mengakhiri pemusatan nalar budinya dan kemudian memeriksa bangunan beserta seluruh isinya bersama kakek guru”


Agung Sedayu mendengarkan cerita Kiai Garda dengan dada berdebaran, ia masih belum tahu apakah inti cerita itu nanti berkaitan dengan pusaka di tangan Resi Kali Belehan yang kini tidak diketahui keberadaannya.


“Menurut cerita Mpu Dursila kepada kakek guru, kejadian malam itu sama sekali berbeda dengan kejadian-kejadian sebelumnya. Hal yang sering terjadi adalah pencurian pusaka oleh maling juling, ataupun pencurian pada ‘isi’ sebuah pusaka. Dalam hal pencurian pusaka, maka yang dicuri adalah pusaka tersebut dan tentu saja isi atau tuah dari pusaka itu dengan sendirinya ikut tercuri. Sementara pencurian atas ‘isi’ sebuah pusaka agak sedikit berbeda. Ujud fisik pusaka bisa saja masih tetap pada tempatnya, akan tetapi tuah dari pusaka itu sendiri sudah berpindah ke si pencuri sehingga pusaka itu menjadi kopong alias tidak pantas lagi disebut sebagai sebuah pusaka, melainkan besi kosong berbentuk pusaka yang sama sekali tidak ada tuahnya. Inilah yang menjadi tugas Mpu Dursila untuk menjaga dan mencegah pencurian ‘isi’ sebuah pusaka”


“Sementara kejadian malam itu, menurut Mpu Dursila adalah justru sebaliknya. Ada sebuah kekuatan yang sangat besar yang merupakan tuah dari sebuah pusaka hendak mencari rumah sebagai wadah penyimpan tuahnya. Menurut Mpu Dursila, hal ini terjadi biasanya karena adanya proses larung atau pemusnahan sebuah pusaka yang kurang sempurna, sehingga meskipun mungkin saja fisik pusaka itu hancur atau lenyap, akan tetapi tuah atau wahyu pusaka itu masih mengembara dan melayang-layang di udara. Biasanya tuah atau wahyu pengisi pusaka itu akan berada di atas sebuah puncak gunung ber-api yang masih aktif. Ia akan mencari wadah yang sesuai dengan tuah wahyu yang ada padanya dengan cara menyusup, menggeser atau bahkan mengusir tuah sebuah pusaka sebelumnya”

Kembali Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam, ia bisa merasakan betapa pengetahuan Kiai Garda tentang sebuah pusaka sangatlah luas. Pengetahuannya tentang keris Mpu Gandring sendiri hanyalah sebatas apa yang pernah diceritakan dan di dengar orang-orang pada umumnya.


“Ada sebuah pusaka berbentuk keris di perbendaharaan gedung itu yang disebut Kiai Surya Panuluh”, - terdengar Kiai Garda meneruskan ceritanya - ,”Menurut Mpu Dursila, saat itu sebenarnya ia hanya membantu pusaka Kiai Surya Panuluh untuk mengusir tuah atau wahyu yang datang dan hendak menindihnya wadah dari Kiai Surya Panuluh. Tuah yang hendak menindih itu ber-aura merah kehitaman dan memiliki pengaruh yang sangat kuat. Agaknya tidak ada pusaka lain yang sanggup mewadahi tuah atau wahyu itu selain pusaka Kiai Surya Panuluh yang merupakan pusaka pegangan dari Maha Patih Gadjah Mada semasa hidupnya”


“Ah, lalu tuah dari pusaka manakan yang hendak menindih Kiai Surya Panuluh itu Kiai”, - tanya Agung Sedayu.


Kiai Garda terlihat menggelengkan wajahnya - ,”Menurut kakek guru, Mpu Dursila juga tidak begitu yakin. Ada kemungkinan bahwa itu adalah tuah dari keris Mpu Gandring yang prosesi larung atau pemusnahannya ternyata tidak sempurna. Tetapi bisa saja itu adalah tuah dari pusaka lain yang memang Mpu Dursila juga belum mengetahuinya. Menurut kakek guru, ketika menemukan wadah yang tepat, maka tuah pusaka itu bagaikan menemukan sebuah kehidupan disamping akan sangat mempengaruhi jiwa dari orang yang memegangnya. Dia bisa saja menyebarkan kejahatan yang merusak tatanan ketika berada di tubuh atau wadah yang jahat sesuai sifat tuah pusaka itu”


“Tetapi Kiai, bukankah keris Mpu Gandring itu sudah di larung di kawah berapi di sekitar Gunung Kelud?”, - tanya Agung Sedayu.


“Itulah cerita yang beredar Ki, akan tetapi tidak seorangpun yang mengetahui kebenarannya. Bagaimana cara melarung dan apakah itu sudah bergasil dengan baik?”, - suara Kiai Garda terdengar kembali lirih.


“Apakah Kiai mencurigai, bahwa pusaka Resi Kali Belehan itu adalah tuah dari pusaka Mpu Gandring yang telah menemukan sosok wadah barunya?”, - tanya Agung Sedayu dengan nada cemas.


Kemballi Kiai Garda mengelengkan kepalanya - “Tidak ada yang bisa memastikan Ki, akan tetapi aku yakin bahwa tuah itu sekarang masih melayang-layang di udara dan mencari wadah atau sosok pendukung baru yang akan kembali menyebarkan kegelapan di muka bumi ini”


Suasana di tepian sungai itu kembali hening, matahari sudah benar-benar bergeser dari puncaknya meskipun hari masih cukup terang.


“Kecuali Ki Agung Sedayu bisa melakukan sesuatu dengan ini”, - tiba-tiba Kiai Garda berkata sambil mengeluarkan sebuah batu berwarna hitam gelap sebesar telur ayam.


Batu itu meskipun hitam gelap akan tetapi juga sangat mengkilap. Sinar matahari bahkan terpantulkan oleh permukaan kilapnya itu sehingga membuat Agung Sedayu memicingkan matanya karena silau.


“Batu apakah ini Kiai?”, - tanya Agung Sedayu penasaran.


Sebelum Agung Sedayu mendapatkan jawaban, tiba-tiba telinganya menangkap sebuah suara pekikan  yang keluar dari mulut yang sangat dikenalnya. Tanpa mengeluarkan suara lebih lanjut, tubuh Agung Sedayu melejit dengan cepat dan meluncur beberapa tombak ke samping.


“Wangi!”, - batin Agung Sedayu di penuhi rasa kuatir.


Salam,

Ries

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...