Friday, September 1, 2017

BSG - BAB.V - AUP - Babak-06

BALADA SWANDARU GENI
Bab V: Ajaran Untuk Pulang
Babak – 06

Wajah Kiai Garda terlihat berkerut beberapa kali dan kadang menunjukkan ketegangan saat mendengarkan cerita Agung Sedayu. Meskipun ia tidak melihat dengan mata kepala sendiri atas terjadinya pertarungan dahsyat itu, akan tetapi dari cerita Agung Sedayu itu ia bisa membayangkan betapa anehnya ilmu yang dikuasai Resi Kali Belehan itu.
Setelah sejenak dalam keheningan, dengan hati-hati Kiai Garda mengajukan pertanyaan lanjutan kepada Agung Sedayu.
“Lalu mengapa Ki Agung Sedayu akhirnya membenamkan wadag Resi Kali Belehan itu ke dasar tempuran sungai ini?”, - suara Kiai Garda terdengar dipenuhi rasa penasaran.
Agung Sedayu tidak langsung menjawab, melainkan menatap tajam pada hitam mata Kiai Garda. Baru beberapa saat kemudian Agung Sedayu bersuara akan tetapi justru dengan nada bertanya.
“Kiai, apakah sepengetahuan Kiai Garda, jiwa orang yang menguasai ajian Oncat Jiwa itu akan ikut mati atau musnah seiring hancurnya sebuah jasad atau tubuh yang selama ini mewadahi jiwanya?”
Kiai Garda terhenyak mendengar pertanyaan Agung Sedayu yang terdengar sangat bersungguh-sungguh. Pikirannya segera berputar seolah hendak membongkar semua ingatan dan pengetahuan yang selama ini ada dalam perjalanan hidupnya. Kehidupan dan petualangannya yang selama ini banyak menempuh perjalanan dan bahkan sempat berguru ke beberapa orang yang bisa dibilang aneh dan berada di tempat terpencil yang memang memberinya pengetahuan tentang ilmu-ilmu aneh dan langka meskipun Kiai Garda sendiri tidak mendalaminya.
“Ki Agung Sedayu, sebelum aku menjawab pertanyaan itu, sebenarnyalah aku ingin mendengar dan mengetahui dengan lebih jelas tentang bagaimana Ki Agung Sedayu mengakhiri pertarungan itu. Aku kira aku akan bisa menarik kesimpulan yang lebih jelas setelah mendengar bagaimana akhir dari Resi Belehan itu”, - alih-alih menjawab ternyata Kiai Garda justru kembali mengajukan pertanyaan.
Agung Sedayu mengangguk-anggukan kepalanya, agaknya ia sadar bahwa akhir dari pertarungannya dengan penguasa kegelapan di sungai ini memang merupakan sebuah tanda tanya bahkan bagi semua orang. Karena itu kembali ia menggali ingatannya tentang saat-saat terakhir dalam pertarungan itu.
“Kiai, mungkin saja memang ada yang terlepas dari pengamatanku tetapi aku berusaha menceritakan apa yang terjadi sejelas mungkin hingga ke hal-hal terkecil yang ku ingat”, - Agung Sedayu mulai berkisah tentang akhir pertarungannya.
Sesungguhnyalah, disaat serangan puncak dari perguruan Orang Bercambuk itu menghantam keris besar ber-luk tigabelas itu, Agung Sedayu merasakan sebuah pantulan kekuatan yang terasa sangat panas menghantam dada dan seluruh bagian depan tubuhnya. Hanya saja, perlindungan ilmu kebalnya mampu menyelamatkan dari pantulan maupun hawa panas itu meskipun pakaiannya terlihat berlubang-lubang akibat percikan api yang membalik ke arahnya. Bahkan dalam waktu yang sangat singkat Agung Sedayu masih mampu menyusuli dengan serangan kedua yang tidak kalah dahsyatnya dibanding serangan yang pertama.
Saat itulah mata Agung Sedayu yang tajam melihat bahwa serangan yang kedua itu benar-benar mampu mengoyak dan bahkan memporak-porandakan asap merah kehitaman itu hingga buyar tak berbentuk. Asap kemerahan nan gelap yang tadinya bergerak bagai tubuh ular yang merambat dari pusat cakra mahkota lawannya itu pecah berserakan sebelum mencapai keris besar bar-aura gelap menakutkan itu.
Menurut pengamatan Agung Sedayu, serangan yang kedua itu bahkan mampu melontarkan keris itu hingga terlepas dari pegangan tangan tubuh hitam yang disaat terakhir justru seolah dikendalikan oleh keris itu. Bersamaan dengan lepasnya keris yang kemudian terlontar ke udara itu, mata Agung Sedayu yang tajam sempat melihat betapa tubuh hitam yang tadinya terasa kopong atau tidak berjiwa itu kini justru sedikit bergerak-gerak meskipun tidak beraturan.
Sosok tubuh hitam itu kemudian terlontar naik ke atas hendak mengejar keris ber-luk tigabelas yang terlempar ke udara. Dalam benak Agung Sedayu, prosesi penerapan Aji Oncat Jiwa itu agaknya telah berhasil ia gagalkan, akan tetapi kini jiwa dan sosok tubuh itu masih mencoba mengejar dan menyusul dukungan kekuatan yang ada di keris itu.
Kembali Agung Sedayu mengambil keputusan yang sangat cepat dan tanpa ragu-ragu. Sejak di awal dan bahkan di tengah pertarungan berlangsung, ia memang sudah bertekad membuang seluruh keraguan dan memutuskan untuk memusnahkan lawan yang bersandar pada ilmu hitam itu.
Karena itu, dengan kecepatan yang sulit dicari bandingnya, Agung Sedayu segera memindahkan cambuk ke tangan kirinya. Tubuhnya tiba-tiba saja melejit tinggi ke atas dalam sekejab ia telah berada tepat diatas sosok hitam yang sedang meronta mengejar dukungan kekuatan dari keris pusakanya. Saat itulah dari tangan kanan Agung Sedayu meluncur sebuah potongan bambu kuning kecil yang agak panjang dan melesat secepat tatit di udara membidik dan mengancam dada sosok tubuh hitam itu yang sedang melayang di udara.
Inilah bidikan tunggal yang teramat dahsyat dari seorang Agung Sedayu yang di-lambari tenaga cadangan yang teramat tinggi. Bambu kuning pethuk ros-e dipercaya mengandung aura positif dan mengandung energi alami yang jarang ada duanya di dunia ini. Bambu ini saat di saat di lempar di sungai yang arusnya mengalir deras, maka ia tidak terhanyut dan bahkan mampu menentang arus air itu. Pada tataran yang hanya sedikit orang memahaminya, bambu ini mampu menembus dan menghancurkan sekat-sekat kegelapan pada diri seseorang.
Kini potongan bambu pethuk ros-e itu di bidikkan oleh seorang Agung Sedayu yang juga melambarinya dengan tenaga cadangan yang tertimbun dalam dirinya. Tidak dapat dibayangkan betapa dahsyat dan besarnya kekuatan yang menyertai bidikan itu.
Tanpa sempat mengelak ataupun mengeluh, dada sosok hitam itu langsung tertembus bambu itu dari depan tembus hingga kebelakang. Bidikan yang dilambari tenaga raksasa itu bahkan langsung membenamkan tubuh sosok hitam itu jauh masuk ke dasar tempuran sungai itu. Terkubur atau tertanam beberapa jengkal masuk ke dalam tanah di dasar sungai itu.
Agung Sedayu yang sudah mendarat di tepian sungai itu segera membatalkan niatnya yang hendak menyusuli serangan dengan sorot matanya. Untuk sesaat ia berdiri di tepian sungai itu sambil mengerahkan seluruh panca indranya untuk mengetahui apakah masih ada sisa-sisa kekuatan atau kehidupan lain yang ditangkapnya.
Akan tetapi betapapun ia berusaha hingga ke puncak kemampuannya, Agung Sedayu tidak merasakan lagi adanya aura kegelapan atau kekuatan hitam disekitar tempuran itu lagi. Agaknya semuanya sudah musnah seiring terbenamnya sosok hitam yang merupakan wadah bagi Resi Kali Belehan itu untuk menopang jiwanya.
“Demikianlah Kiai, setelah itu aku bergeser dan menyapa Kiai Garda yang hendak memberi pertolongan kepada Gilang”, - Agung Sedayu mengakhiri ceritanya.
Tetapi Agung Sedayu terkejut ketika melihat wajah Kiai Garda yang begitu berkeringat dan memandangnya dengan tegang dan penuh tanda tanya.
“Apakah Ki Agung Sedayu tidak merasa telah melewatkan sesuatu yang justru teramat penting?”, - desis Kiai Garda dengan nada cemas.
“Apakah maksud Kiai?”, - tanya Agung Sedayu terheran-heran.
“Keris itu!”, - suara Kiai Garda dipenuhi rasa gugup.
“Ah..”,- suara Agung Sedayu tercekat.
Salam,
Ries

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...