Wednesday, September 20, 2017

BSG - BAB.V - AUP - Babak-15

BALADA SWANDARU GENI
Bab V: Ajaran Untuk Pulang
Babak – 15


Sebuah bola api raksasa yang membara dengan kobaran api yang menjilat-jilat dibagian luarnya terasa begitu mencekam dan menakutkan. Bola api ini melayang ditengah udara dan ini adalah penyatuan dari lima bola api sebelumnya yang tentu saja mempunyai kekuatan lebih dahsyat paling tidak lima kali lipat dari kekuatan sebelumnya.


Kiai Garda dan siapapun yang melihat hal itu merasakan betapa dada mereka berdentangan keras tidak beraturan. Perbawa bola api itu terasa begitu mencekam perasaan dan hampir-hampir membuat mereka kehilangan akal untuk sekedar menilai keadaan ataupun bertindak sesuatu untuk menjauhkan diri. Kiai Garda yang mencoba untuk tetap menjaga perasaan dan kejernihan nalar masih sempat melihat betapa bola api raksasa membara itu kemudaian berputar pada porosnya dan menimbulkan suara berdesis yang keras dan sangat panjang. Mungkin kata yang tepat bukanlah mendesis melainkan melolong karena desisan itu terasa begitu keras dan sangat panjang sehingga mengganggu pendengaran semua orang.


Meskipun sempat bergetar dan bahkan hampir-hampir pecah, akan tetapi ribuan gelembung energi kebiruan yang ditebar oleh Rudita itu terlihat sedang berdesakan kembali seolah sedang merapatkan diri dan memperkuat bangunan yang terbentuk. Dalam sekejab bangunan perangkap kebiruan itu sudah kembali menemukan bentuknya dan bersiap untuk menerima hantaman-hantaman bola api raksasa itu pada dinding-dindingnya.  


Semua mata seolah terpaku pada pemandangan yang sangat menyeramkan itu. Sudah dapat dibayangkan betapa bola api itu akan menghantam dinding perangkap kebiruan itu dengan kekuatan yang berlipat dan itu pasti akan mengguncang atau bahkan menghancurkan dinding itu. Akan sulit mempertahankan dinding itu untuk tetap utuh mengingat kekuatan bola api raksasa yang sedemikian besar dan dahsyat.


Agaknya hal itu juga disadari oleh Agung Sedayu, sehingga ia segera mempersiapkan serangan puncak yang di harapkan dapat mengakhiri pertarungan aneh ditengah malam buta ini. Tubuh Agung Sedayu asli yang berdiri hanya beberapa langkah di samping Rudita yang sedang duduk di tepian berpasir itu terlihat menarik nafas lembut dan panjang beberapa kali, lalu menyimpan udara itu di bagian pusarnya. Ia sedang melakukan penyelarasan pada kekuatan batu mustika ‘Soca-Ireng’ yang ada pada genggamannya, dan pada saat yang hampir bersamaan juga membangkitkan seluruh kekuatan puncaknya yang berdasar pada ilmu-ilmu perguruan Windujati.

“Aku tidak boleh ragu-ragu ataupun terlambat”, - Agung Sedayu memantabkan diri sambil mengurai cambuk panjangnya yang kini sudah ada di genggaman tangan kanannya.

Sementara itu, sesuai yang diperkirakan dan dikuatirkan oleh semua yang hadir disitu, bola api raksasa itu dengan kecepatan yang tinggi tiba-tiba saja berputar dan meluncur kesamping serta menghantam dinding perangkap kebiruan itu disebelah kiri. Terdengar kembali bunyi letupan yang kali ini lebih keras dibandingkan letupan-letupan sebelumnya dan bahkan kini disertai peletikan bunga api yang menyebar kesemua arah akibat benturan itu. Bangunan perangkap kebiruan itu berguncang keras dan bahkan bergeser beberapa jari atau bahkan mungkin beberapa jengkal, akan tetapi ternyata dinding bangunan itu tetap utuh dan sama sekali tidak tercerai berai.


Akan tetapi bola api raksasa itu sama sekali tidak berhenti hanya pada benturan pertama saja, ia bagaikan sedang mengumbar kemarahan dengan membenturkan dirinya ke segala arah menerjang dan menghantam bangunan perangkap kebiruan itu berulang kali. Bola api membara itu seolah wuru! Setelah menghantam dinding sebelah kiri, bola api raksasa itu langsung bergerak dan meluncur cepat menghantam dinding samping kanan, belakang depan dan bahkan kearah atas yang sebenarnya mempunyai ruangan lebih kecil karena bangunan itu runcing dibagian atas.


Ruang di dalam perangkap itu kini warna menjadi aneh karena warna yang tadi cenderung kebiruan itu kini juga dipenuhi dengan warna merah membara akibat bunga api yang terus menerus berpendar dan terlontar ke segala arah.


Akibatnya, malam hari itu terdengar suara letupan-letupan yang semakin lama semakin keras di iringi suara desisan panjang yang menakutkan. Bangunan perangkap kebiruan itu berguncang-guncang dengan dahsyatnya serta meninggalkan riak air yang menggelegak karena suhu air dipermukaan sungai itu sebenarnyanya menjadi sangat panas tidak ubahnya lahar yang sedang bergolak.


Semua mata melihat betapa hantaman bola api raksasa yang membara berulang kali itu benar-benar mampu mengguncang perangkap kebiruan itu. Bangunan berbentuk kerucut atau kukusan itu kini sedang dihentak oleh kekuatan yang sangat besar dari bagian dalam sehingga berkali-kali terguncang dan bahkan hampir-hampir roboh.


Tubuh Rudita yang duduk di atas pasir terlihat menggigil agak keras, keringat bercucuran di wajah dan sekujur tubuhnya. Sesungguhnya serangan bola api raksasa itu sedemikian dahsyat sehingga hampir saja ia tidak bisa mempertahankan bentuk bangunan perangkap kebiruan yang dibuatnya. Tetapi dengan keyakinan yang tinggi ia berusaha untuk paling tidak mempertahankan bentuk bangunan itu sambil menunggu tindakan yang akan dilakukan oleh Agung Sedayu.


Saat itulah, telinganya menangkap dengung lembut yang seolah hanya melintas dan tergantikan dengan suara jernih yang sangat dikenalnya.


“Rudita, cobalah mempersempit bentuk perangkapmu sehingga itu bisa mengurangi tekanan bola api raksasa itu dari dalam. Lalu dalam hitungan ke sepuluh, beri aku celah agar bisa meluncurkan serangan kearah bola api itu”


Rudita seolah merasakan bahwa ajian pameling Agung Sedayu itu adalah suara hatinya sendiri.


Karena itu, tanpa ada keraguan sama sekali ia segera meningkatkan pemusatan energi yang membuat gelembung-gelembung itu menjadi semakin pampat dan rapat. Kedua tangannya yang tadi bersedekap di depan dadanya perlahan-lahan terurai. Sambil menahan nafas, kedua tangan itu serentak terangkat ke atas secara bersamaan seolah hendak menggapai langit, lalu sejenak terdiam dipuncak. Perlahan-lahan kemudian tangan kiri yang terbuka itu turun terlebih dahulu di ikuti oleh turunnya tangan sebelah kanan lalu berhenti tepat didepan dada seolah sedang melakukan sebuah sembah.


Itulah sebuah sikap Teratai Biru yang agung, yang mampu memberikan ketenangan serta menahan goncangan dari dalam jiwa maupun serangan dari luar.


Saat itu tubuh Rudita terlihat diam tidak bergerak sama sekali, dadanya terlihat diam seolah tidak bernafas. Rudita tidak ubahnya sebuah patung. Yang tidak mempunyai nafsu serta tidak terpengaruh oleh kekuatan atau gangguan dari luar.


Dalam keterguncangan yang hebat akibat benturan dan guncangan bola api dari dalam, ternyata Rudita masih mampu mempertahankan keberadaan bangunan kerucut biru itu sekaligus berusaha memperkecil bentuk bangunan. Bukan dengan memperkecil ukuran bangunan biru berbentuk kerucut atau kukusan itu, melainkan mempertebal ukuran dinding bangunan sehingga ruang dibagian dalam bangunan itulah yang menjadi semakin sempit!


Dinding perangkap kebiruan itu menebal kearah dalam, sama sekali tidak menebal keluar. Gelembung energi kebiruan itu semakin pampat dan rapat menciptakan dinding-dinding baru yang menebal di bagian dalam. Dengan sendirinya dinding itu menjadi semakin kuat serta menebar udara yang semakin panas di dalam ruangan yang semakin sempit.


Ruangan dalam yang semakin sempit dan panas membara itu membuat bola api merah membara itu semakin menggila. Ia bergerak liar dan membentur dinding kebiruan berulang kali yang ternyata dinding itu menjadi semakin tebal dan kuat. Suara-suara letupan menjadi semakin sering hanya saja kini agak sedikit lebih pelan. Seolah ketebalan dinding perangkap biru itu mampu meredam goncangan sekaligus suara yang ditimbulkan akibat benturan yang terjadi.


Saat itulah secara hampir bersamaan seolah ada suara yang sama di hati Agung Sedayu maupun Rudita.


“Sekarang!”


Bagian dinding kebiruan yang tepat mengarah ke Agung Sedayu itu tiba-tiba saja terkuak dengan sangat cepat. Tercipta sebuah lubang yang menganga meskipun tidak terlalu lebar, dan saat itulah Agung Sedayu dengan cepat menarik dua tubuhnya yang lain sehingga kembali menyatu dengan dirinya.


Agung Sedayu memang sudah mempersiapkan segalanya dengan matang dan cermat. Didahului dengan penyelarasan atas energi dan kekuatan dari mustika Soca Ireng, lalu penyatuan kembali dua tubuhnya yang lain, maka kini ia sudah berada pada puncak ilmu simpanannya. Dengan kedua kaki yang sedikit merendah dan jari tangan kiri yang merapat serta menempel di dada, tangan kanan Agung Sedayu yang menggenggam cambuk itu terlihat memutar juntai cambuk itu diatas kepalanya dengan gerakan sangat cepat.


Ketika merasa semuanya sudah tepat, dengan tekad bulat Agung Sedayu itu kemudian mengayunkan juntai cambuk itu dengan gerakan sendal pancing dan dengan tujuan yang sangat terarah. Terungkaplah sebuah ajian pamungkas maha dahsyat dari jalur Windujati yang kadang juga disebut sebagai perguruan  Orang Bercambuk.


Malam sama sekali tidaklah sunyi bahkan cenderung berisik. Udara sama sekali tidaklah dingin bahkan cenderung panas berpeluh. Tetapi saat itu ada sesuatu yang merambat menerobos semua yang ada dan dirasa saat itu.

Sesuatu yang menerobos dan tidak tertahankan itu membuat malam seolah terhenti dan terdiam dalam keberisikannya. Udara malam yang tadi terasa panas sesaat seolah hilang makna panasnya dan tergantikan dengan kebekuan.


Tidak terdengar suara ledakan yang membelah langit ataupun memekakkan telinga layaknya cambuk yang meledak karena lontaran kekuatan atau tenaga yang sedemikian besar. Hanya letupan lirih yang tidak terlalu menyakiti telinga, akan tetapi sesungguhnya membawa pengaruh yang teramat dahsyat. Sinar biru keputihan seolah terlontar bagaikan lompatan petir di angkasa, bergerak memampatkan udara, membelah butiran embun dan menyobek gulita malam dengan seketika.


Menerobos lubang menganga yang sedikit terbuka pada dinding perangkap kebiruan yang digelar Rudita. Gerak sinar kebiruan itu menebar kekuatan yang teramat dahsyat, sehingga waktu terasa berhenti dan memberi kesempatan agar sinar kebiruan itu menyelinap masuk ke dalam celah kecil yang menganga. Sinar kebiruan itu seolah telah menarik dengan paksa semua titik-titik udara disekitarnya sehingga pampat, disaat yang sama memberi tekanan yang teramat besar seolah udara malam itu kini mempunyai berat yang bobotnya ratusan kati.


Tidak ada seorangpun di tepian sungai Belehan itu yang sempat menarik nafas karena memang ketiadaan udara yang sedang tersedot kearah sinar kebiruan itu. Ketika udara untuk bernapas saja tidak tersedia, disaat yang sama sebuah tekanan yang maha dahsyat telah pula menghantam dada dan perasaan mereka semua.

Binatang malam yang memang sudah membisu menjelang tengah malam tadi karena adanya nuansa mencekam yang mencekik tenggorokannya, kini bahkan seolah tersedak tanpa sempat mengeluarkan suara. Setelah itu bahkan terdiam. Selamanya!


Beberapa penghuni sungai bahkan telah terlihat mengapung di permukaan meskipun sebenarnya jaraknya masih agak jauh dari pusat kedung atau tempuran sungai Belehan itu. Sebagian besar telah mati karena air yang tiba-tiba berubah menjadi sangat panas dengan mendadak dan sebagian lagi mati akibat keterkejutan yang membuat dada mereka seolah sedang di hantam walesan kayu keras milik para pemancing ikan.


Semua orang yang berdiri di tepian sungai itu tanpa berjanji telah memegang dada masing-masing dengan kedua tangannya. Mereka semua merasakan sebuah tekanan yang maha dahsyat di dada dan perasaan mereka sehingga untuk sesaat pikiran menjadi kosong. Belum sempat mereka menyadari keadaan, berturut-turut tubuh mereka roboh satu persatu.


Tanpa ada yang bisa menahan, tubuh Gilang roboh terlebih dahulu dan pingsan seketika. Disusul robohnya Ki Sindupati dan dua bekas pembantu Resi Kali Belehan yang memang berdiri lebih dekat dari sumber sinar kebiruan yang terlontar dari cambuk Agung Sedayu.


Akan tetapi ternyata tidak hanya berhenti sampai disitu, menyusul kemudian Ki Widura, Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirah yang semuanya roboh dan terjatuh pada kedua lututnya meskipun tidak sampai pingsan.


Hanya Kiai Garda yang sambil menekan dada dengan kedua tangannya sekaligus masih mampu mengalirkan hawa murni ke seluruh urat syarafnya sehingga ia masih mampu bertahan dan tidak sampai roboh. Kiai Garda mencoba menjaga kejernihan pikirannya sambil tetap mengawasi apa yang terjadi di hadapannya.


Salam,

Ries

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...