BALADA
SWANDARU GENI
Bab V: Ajaran Untuk Pulang
Babak – 15
Sebuah bola
api raksasa yang membara dengan kobaran api yang menjilat-jilat dibagian luarnya
terasa begitu mencekam dan menakutkan. Bola api ini melayang ditengah udara dan
ini adalah penyatuan dari lima bola api sebelumnya yang tentu saja mempunyai
kekuatan lebih dahsyat paling tidak lima kali lipat dari kekuatan sebelumnya.
Kiai Garda
dan siapapun yang melihat hal itu merasakan betapa dada mereka berdentangan
keras tidak beraturan. Perbawa bola api itu terasa begitu mencekam perasaan dan
hampir-hampir membuat mereka kehilangan akal untuk sekedar menilai keadaan
ataupun bertindak sesuatu untuk menjauhkan diri. Kiai Garda yang mencoba untuk
tetap menjaga perasaan dan kejernihan nalar masih sempat melihat betapa bola
api raksasa membara itu kemudaian berputar pada porosnya dan menimbulkan suara
berdesis yang keras dan sangat panjang. Mungkin kata yang tepat bukanlah mendesis
melainkan melolong karena desisan itu terasa begitu keras dan sangat panjang
sehingga mengganggu pendengaran semua orang.
Meskipun
sempat bergetar dan bahkan hampir-hampir pecah, akan tetapi ribuan gelembung
energi kebiruan yang ditebar oleh Rudita itu terlihat sedang berdesakan kembali
seolah sedang merapatkan diri dan memperkuat bangunan yang terbentuk. Dalam
sekejab bangunan perangkap kebiruan itu sudah kembali menemukan bentuknya dan
bersiap untuk menerima hantaman-hantaman bola api raksasa itu pada
dinding-dindingnya.
Semua mata
seolah terpaku pada pemandangan yang sangat menyeramkan itu. Sudah dapat
dibayangkan betapa bola api itu akan menghantam dinding perangkap kebiruan itu
dengan kekuatan yang berlipat dan itu pasti akan mengguncang atau bahkan
menghancurkan dinding itu. Akan sulit mempertahankan dinding itu untuk tetap
utuh mengingat kekuatan bola api raksasa yang sedemikian besar dan dahsyat.
Agaknya hal
itu juga disadari oleh Agung Sedayu, sehingga ia segera mempersiapkan serangan
puncak yang di harapkan dapat mengakhiri pertarungan aneh ditengah malam buta
ini. Tubuh Agung Sedayu asli yang berdiri hanya beberapa langkah di samping Rudita
yang sedang duduk di tepian berpasir itu terlihat menarik nafas lembut dan
panjang beberapa kali, lalu menyimpan udara itu di bagian pusarnya. Ia sedang
melakukan penyelarasan pada kekuatan batu mustika ‘Soca-Ireng’ yang ada pada
genggamannya, dan pada saat yang hampir bersamaan juga membangkitkan seluruh
kekuatan puncaknya yang berdasar pada ilmu-ilmu perguruan Windujati.
“Aku tidak
boleh ragu-ragu ataupun terlambat”, - Agung Sedayu memantabkan diri sambil
mengurai cambuk panjangnya yang kini sudah ada di genggaman tangan kanannya.
Sementara
itu, sesuai yang diperkirakan dan dikuatirkan oleh semua yang hadir disitu,
bola api raksasa itu dengan kecepatan yang tinggi tiba-tiba saja berputar dan meluncur
kesamping serta menghantam dinding perangkap kebiruan itu disebelah kiri. Terdengar
kembali bunyi letupan yang kali ini lebih keras dibandingkan letupan-letupan
sebelumnya dan bahkan kini disertai peletikan bunga api yang menyebar kesemua
arah akibat benturan itu. Bangunan perangkap kebiruan itu berguncang keras dan
bahkan bergeser beberapa jari atau bahkan mungkin beberapa jengkal, akan tetapi
ternyata dinding bangunan itu tetap utuh dan sama sekali tidak tercerai berai.
Akan tetapi bola
api raksasa itu sama sekali tidak berhenti hanya pada benturan pertama saja, ia
bagaikan sedang mengumbar kemarahan dengan membenturkan dirinya ke segala arah
menerjang dan menghantam bangunan perangkap kebiruan itu berulang kali. Bola
api membara itu seolah wuru! Setelah menghantam dinding sebelah kiri, bola api
raksasa itu langsung bergerak dan meluncur cepat menghantam dinding samping
kanan, belakang depan dan bahkan kearah atas yang sebenarnya mempunyai ruangan
lebih kecil karena bangunan itu runcing dibagian atas.
Ruang di
dalam perangkap itu kini warna menjadi aneh karena warna yang tadi cenderung
kebiruan itu kini juga dipenuhi dengan warna merah membara akibat bunga api
yang terus menerus berpendar dan terlontar ke segala arah.
Akibatnya,
malam hari itu terdengar suara letupan-letupan yang semakin lama semakin keras
di iringi suara desisan panjang yang menakutkan. Bangunan perangkap kebiruan
itu berguncang-guncang dengan dahsyatnya serta meninggalkan riak air yang menggelegak
karena suhu air dipermukaan sungai itu sebenarnyanya menjadi sangat panas tidak
ubahnya lahar yang sedang bergolak.
Semua mata
melihat betapa hantaman bola api raksasa yang membara berulang kali itu
benar-benar mampu mengguncang perangkap kebiruan itu. Bangunan berbentuk
kerucut atau kukusan itu kini sedang dihentak oleh kekuatan yang sangat besar
dari bagian dalam sehingga berkali-kali terguncang dan bahkan hampir-hampir
roboh.
Tubuh Rudita
yang duduk di atas pasir terlihat menggigil agak keras, keringat bercucuran di
wajah dan sekujur tubuhnya. Sesungguhnya serangan bola api raksasa itu
sedemikian dahsyat sehingga hampir saja ia tidak bisa mempertahankan bentuk
bangunan perangkap kebiruan yang dibuatnya. Tetapi dengan keyakinan yang tinggi
ia berusaha untuk paling tidak mempertahankan bentuk bangunan itu sambil
menunggu tindakan yang akan dilakukan oleh Agung Sedayu.
Saat itulah,
telinganya menangkap dengung lembut yang seolah hanya melintas dan tergantikan
dengan suara jernih yang sangat dikenalnya.
“Rudita,
cobalah mempersempit bentuk perangkapmu sehingga itu bisa mengurangi tekanan
bola api raksasa itu dari dalam. Lalu dalam hitungan ke sepuluh, beri aku celah
agar bisa meluncurkan serangan kearah bola api itu”
Rudita seolah
merasakan bahwa ajian pameling Agung Sedayu itu adalah suara hatinya sendiri.
Karena itu,
tanpa ada keraguan sama sekali ia segera meningkatkan pemusatan energi yang
membuat gelembung-gelembung itu menjadi semakin pampat dan rapat. Kedua
tangannya yang tadi bersedekap di depan dadanya perlahan-lahan terurai. Sambil
menahan nafas, kedua tangan itu serentak terangkat ke atas secara bersamaan
seolah hendak menggapai langit, lalu sejenak terdiam dipuncak. Perlahan-lahan
kemudian tangan kiri yang terbuka itu turun terlebih dahulu di ikuti oleh
turunnya tangan sebelah kanan lalu berhenti tepat didepan dada seolah sedang
melakukan sebuah sembah.
Itulah
sebuah sikap Teratai Biru yang agung, yang mampu memberikan ketenangan serta
menahan goncangan dari dalam jiwa maupun serangan dari luar.
Saat itu
tubuh Rudita terlihat diam tidak bergerak sama sekali, dadanya terlihat diam
seolah tidak bernafas. Rudita tidak ubahnya sebuah patung. Yang tidak mempunyai
nafsu serta tidak terpengaruh oleh kekuatan atau gangguan dari luar.
Dalam
keterguncangan yang hebat akibat benturan dan guncangan bola api dari dalam,
ternyata Rudita masih mampu mempertahankan keberadaan bangunan kerucut biru itu
sekaligus berusaha memperkecil bentuk bangunan. Bukan dengan memperkecil ukuran
bangunan biru berbentuk kerucut atau kukusan itu, melainkan mempertebal ukuran
dinding bangunan sehingga ruang dibagian dalam bangunan itulah yang menjadi
semakin sempit!
Dinding perangkap
kebiruan itu menebal kearah dalam, sama sekali tidak menebal keluar. Gelembung
energi kebiruan itu semakin pampat dan rapat menciptakan dinding-dinding baru
yang menebal di bagian dalam. Dengan sendirinya dinding itu menjadi semakin
kuat serta menebar udara yang semakin panas di dalam ruangan yang semakin sempit.
Ruangan
dalam yang semakin sempit dan panas membara itu membuat bola api merah membara
itu semakin menggila. Ia bergerak liar dan membentur dinding kebiruan berulang
kali yang ternyata dinding itu menjadi semakin tebal dan kuat. Suara-suara
letupan menjadi semakin sering hanya saja kini agak sedikit lebih pelan. Seolah
ketebalan dinding perangkap biru itu mampu meredam goncangan sekaligus suara
yang ditimbulkan akibat benturan yang terjadi.
Saat itulah
secara hampir bersamaan seolah ada suara yang sama di hati Agung Sedayu maupun
Rudita.
“Sekarang!”
Bagian
dinding kebiruan yang tepat mengarah ke Agung Sedayu itu tiba-tiba saja terkuak
dengan sangat cepat. Tercipta sebuah lubang yang menganga meskipun tidak terlalu
lebar, dan saat itulah Agung Sedayu dengan cepat menarik dua tubuhnya yang lain
sehingga kembali menyatu dengan dirinya.
Agung Sedayu
memang sudah mempersiapkan segalanya dengan matang dan cermat. Didahului dengan
penyelarasan atas energi dan kekuatan dari mustika Soca Ireng, lalu penyatuan
kembali dua tubuhnya yang lain, maka kini ia sudah berada pada puncak ilmu
simpanannya. Dengan kedua kaki yang sedikit merendah dan jari tangan kiri yang
merapat serta menempel di dada, tangan kanan Agung Sedayu yang menggenggam
cambuk itu terlihat memutar juntai cambuk itu diatas kepalanya dengan gerakan
sangat cepat.
Ketika
merasa semuanya sudah tepat, dengan tekad bulat Agung Sedayu itu kemudian
mengayunkan juntai cambuk itu dengan gerakan sendal pancing dan dengan tujuan
yang sangat terarah. Terungkaplah sebuah ajian pamungkas maha dahsyat dari jalur
Windujati yang kadang juga disebut sebagai perguruan Orang Bercambuk.
Malam sama
sekali tidaklah sunyi bahkan cenderung berisik. Udara sama sekali tidaklah
dingin bahkan cenderung panas berpeluh. Tetapi saat itu ada sesuatu yang merambat
menerobos semua yang ada dan dirasa saat itu.
Sesuatu yang
menerobos dan tidak tertahankan itu membuat malam seolah terhenti dan terdiam
dalam keberisikannya. Udara malam yang tadi terasa panas sesaat seolah hilang
makna panasnya dan tergantikan dengan kebekuan.
Tidak
terdengar suara ledakan yang membelah langit ataupun memekakkan telinga
layaknya cambuk yang meledak karena lontaran kekuatan atau tenaga yang
sedemikian besar. Hanya letupan lirih yang tidak terlalu menyakiti telinga,
akan tetapi sesungguhnya membawa pengaruh yang teramat dahsyat. Sinar biru
keputihan seolah terlontar bagaikan lompatan petir di angkasa, bergerak
memampatkan udara, membelah butiran embun dan menyobek gulita malam dengan
seketika.
Menerobos
lubang menganga yang sedikit terbuka pada dinding perangkap kebiruan yang
digelar Rudita. Gerak sinar kebiruan itu menebar kekuatan yang teramat dahsyat,
sehingga waktu terasa berhenti dan memberi kesempatan agar sinar kebiruan itu
menyelinap masuk ke dalam celah kecil yang menganga. Sinar kebiruan itu seolah
telah menarik dengan paksa semua titik-titik udara disekitarnya sehingga
pampat, disaat yang sama memberi tekanan yang teramat besar seolah udara malam
itu kini mempunyai berat yang bobotnya ratusan kati.
Tidak ada
seorangpun di tepian sungai Belehan itu yang sempat menarik nafas karena memang
ketiadaan udara yang sedang tersedot kearah sinar kebiruan itu. Ketika udara
untuk bernapas saja tidak tersedia, disaat yang sama sebuah tekanan yang maha
dahsyat telah pula menghantam dada dan perasaan mereka semua.
Binatang
malam yang memang sudah membisu menjelang tengah malam tadi karena adanya
nuansa mencekam yang mencekik tenggorokannya, kini bahkan seolah tersedak tanpa
sempat mengeluarkan suara. Setelah itu bahkan terdiam. Selamanya!
Beberapa
penghuni sungai bahkan telah terlihat mengapung di permukaan meskipun
sebenarnya jaraknya masih agak jauh dari pusat kedung atau tempuran sungai
Belehan itu. Sebagian besar telah mati karena air yang tiba-tiba berubah
menjadi sangat panas dengan mendadak dan sebagian lagi mati akibat keterkejutan
yang membuat dada mereka seolah sedang di hantam walesan kayu keras milik para
pemancing ikan.
Semua orang yang
berdiri di tepian sungai itu tanpa berjanji telah memegang dada masing-masing
dengan kedua tangannya. Mereka semua merasakan sebuah tekanan yang maha dahsyat
di dada dan perasaan mereka sehingga untuk sesaat pikiran menjadi kosong. Belum
sempat mereka menyadari keadaan, berturut-turut tubuh mereka roboh satu
persatu.
Tanpa ada yang
bisa menahan, tubuh Gilang roboh terlebih dahulu dan pingsan seketika. Disusul robohnya
Ki Sindupati dan dua bekas pembantu Resi Kali Belehan yang memang berdiri lebih
dekat dari sumber sinar kebiruan yang terlontar dari cambuk Agung Sedayu.
Akan tetapi
ternyata tidak hanya berhenti sampai disitu, menyusul kemudian Ki Widura, Swandaru,
Pandan Wangi dan Sekar Mirah yang semuanya roboh dan terjatuh pada kedua
lututnya meskipun tidak sampai pingsan.
Hanya Kiai
Garda yang sambil menekan dada dengan kedua tangannya sekaligus masih mampu
mengalirkan hawa murni ke seluruh urat syarafnya sehingga ia masih mampu
bertahan dan tidak sampai roboh. Kiai Garda mencoba menjaga kejernihan
pikirannya sambil tetap mengawasi apa yang terjadi di hadapannya.
Salam,
Ries
No comments:
Post a Comment