Tuesday, September 12, 2017

BSG - BAB.V - AUP - Babak-11

BALADA SWANDARU GENI
Bab V: Ajaran Untuk Pulang
Babak – 11



Tetapi apa yang tertangkap dimata Pandan Wangi tidaklah sesuai dengan apa yang ada dalam pikirannya. Awalnya ketika telinganya menangkap alunan lembut di gendang telinganya, ia langsung menduga bahwa itu pastilah suara seruling dari seorang gembala muda yang bernama Gupita. Nada yang mengalun naik turun dan mampu menindih berisik suara malam serta membungkam para binatang malam agar untuk sementara waktu berdiam diri.


Yang terlihat adalah bahwa Agung Sedayu itu sama sekali tidak memegang seruling dan justru sedang menegakkan punggungnya sambil memandang kearah kegelapan malam. Raut wajahnya terlihat tenang bahkan kemudian tersungging senyuman tipis, entah ditujukan untuk siapa.


Sekar Mirah yang duduk disebelah Ki Widura sambil memeluk kedua lututnya juga merasakan hal yang sedikit ganjil. Awalnya ia juga menyangka bahwa suara itu berasal dari seruling yang ditiup suaminya, sebagaimana siang tadi ketika mereka masih duduk dibawah pohon rindang dan diganggu oleh beberapa burung gagak hitam peliharaan Resi Kali Belehan. Suara seruling itu terasa lembut menekan, akan tetapi hingga beberapa lama mereka tidak tahu siapa yang meniupnya.


Bahkan Kiai Garda yang mencoba melipatgandakan seluruh panca-indranya hingga beberapa saat masih belum mengetahui darimana sumber suara itu berasal.


Sementara itu, Agung Sedayu terlihat berdiri tegak sambil memandang kegelapan malam dan menghadap ke tebing sungai dimana disitu terdapat sebuah batu yang cukup besar. Ia mengajak semua untuk berdiri sambil berdesis pelan.


“Marilah, agaknya kita kedatangan seorang tamu yang juga seorang saudara dekat kita. Wangi, bukankah kau sangat mengenali suara seruling itu?”


Sekar Mirah terlihat mengerutkan keningnya ketika suaminya justru menyebut nama Pandan Wangi yang dianggap mengenal orang yang disebut tamu atau saudara itu. Ia kesulitan untuk mengurai makna ungkapan kata Agung Sedayu.


Sementara mendengar perkataan Agung Sedayu itu dada Pandan Wangi berdegup kencang luar biasa, betapa hatinya sangat terperanjat sehingga wajahnya memerah dan terasa panas. Untunglah kegelapan malam menyembunyikan raut wajah gugupnya sementara ia sendiri memang sudah berdiri membelakangi perapian sehingga wajahnya terlindungi dari sinar terang. Ia benar-benar kebingungan dengan ungkapan kalimat yang disuarakan oleh Agung Sedayu.

Hampir saja Pandan Wangi tidak bisa menguasai suara hatinya.


“Selama hidup, suara seruling yang sangat aku kenal dan bahkan sangat membekas dalam hatiku adalah tiupan seorang gembala muda yang bernama Gupita. Tetapi mengapa kakang Agung Sedayu mengatakan kalimat itu di hadapan begitu banyak orang?”, - tanpa bisa dicegah hati Pandan Wangi terasa sangat galau dan bahkan kebingungan.


Tanpa sesadarnya sudut mata Pandan Wangi sempat menangkap raut wajah Sekar Mirah yang juga sudah ikut berdiri. Hanya saja Pandan Wangi tidak bisa membaca kesan yang timbul dari wajah adik perempuan suaminya itu.


Seolah tidak memerlukan jawaban Agung Sedayu melangkah maju beberapa tindak dan  menyapa peniup seruling itu dengan suara yang sewajarnya.


“Marilah Rudita, kami sangat senang kau bisa hadir di tepian sungai ini. Bergabunglah dengan saudara-saudara kita yang sedang menghangatkan diri di tepi perapian ini”


Mendengar kalimat Agung Sedayu itu, hati Pandan Wangi yang sempat pepat dan diliputi tanda tanya itu tiba-tiba saja menjadi lega luar biasa. Ibarat air yang tadinya tersumbat, maka ketika sumbatan itu terlewati, airpun mengalir dengan sangat lancar. Ya, Rudita memang saudaranya, meskipun terhitung saudara jauh. Meskipun tidak terlalu sering, akan tetapi ia tahu bahwa saudaranya itu terkadang juga meniup seruling.


Sementara Sekar Mirah terlihat mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia juga cukup mengenal Rudita yang menurutnya mempunyai watak yang sedikit berbeda dengan kebanyakan orang pada umumnya. Rudita adalah orang yang telah meletakkan kedamaian sebagai sebuah keyakinan dalam dirinya. Langkah kehidupan dan warna hari-harinya sangat jauh dari dunia kekerasan. Akan tetapi menurut Agung Sedayu, keyakinan itu justru telah membuat Rudita memiliki dan menguasai bekal yang teramat berharga dalam dirinya. Rudita adalah seorang pilih tandang tanpa harus menguasai ilmu-ilmu kanuragan sebagaimana yang mereka pelajari.  Ia jauh dari sikap-sikap iri, dengki atau tamak yang biasanya menjadi penghambat seseorang dalam mencecap ilmu-ilmu hakiki tentang kehidupan.


Dengan keyakinannya yang begitu tinggi, Rudita justru dengan mudah menguasai berbagi ilmu sejati yang sangat berguna untuk melindungi sesama. Ia adalah sebuah kedung yang teramat dalam dan luas yang mampu menampung berapapun air yang mengalir ke dalam dirinya. Apalagi ia adalah anak laki-laki satu-satunya dari Ki Waskita, seorang linuwih yang juga sudah dianggap sebagai guru oleh Agung Sedayu.

Kiai Garda yang juga sudah ikut berdiri segera menangkap alunan suara seruling yang melambat dan kemudian berhenti itu. Diam-diam ia merasa sangat kagum dan merasa betapa orang yang meniup seruling itu pastilah mempunyai kemampuan pinunjul dan susah di jajagi.


“Hmm… jika ada yang mengatakan bahwa batas pandangan kita adalah langit. Sebenarnyalah langit itu sendiri tidak berbatas, diatas langit masih ada langit! Pandangan kitalah yang sangat terbatas”, - tanpa sadar Kiai Garda merangkai kalimat untuk dirinya sendiri.


Sementara itu, semua mata seolah mengikuti arah pandangan Agung Sedayu dimana sejenak kemudian muncullah sesosok bayangan dari balik batu yang cukup besar itu. Perlahan-lahan bayangan itu berjalan menuruni tebing sungai yang sebenarnya juga tidak terlalu curam. Jalannya terlihat hati-hati seolah ia takut kalau kakinya tergelincir dan sama sekali tidak menunjukkan kelebihan sebagai seorang yang mampu menguasai ilmu olah kanuragan. Ketika sudah berdiri dekat, sesungguhnyalah Pandan Wangi melihat dan meyakini bahwa yang hadir benar-benar adalah Rudita saudaranya.


Sesungguhnya pertemuan itu sangat menggembirakan bagi Agung Sedayu, selama ini mereka sudah beberapa kali bertemu dalam suasana yang kurang menggembirakan karena perbedaan sikap yang terkadang cukup tajam antara keduanya.


Betapa dulu Agung Sedayu sempat termenung lama, ketika Rudita berkata bahwa ia adalah orang yang paling dekat, akan tetapi berdiri di seberang! Rudita yang menganggap bahwa ilmu kanuragan hanyalah ilmu yang akan semakin menyuburkan kekerasan dalam hidup, sementara Agung Sedayu sendiri berpendapat bahwa dengan ilmu itu ia justru bisa memberi penyeimbang atas ketidak-adilan dan tindak sewenang-wenang dari orang yang berniat jahat.


Demikianlah, setelah saling menyapa dan memperkenalkan diri pada beberapa orang yang hadir disitu, Agung Sedayu mengajak Rudita untuk mengambil tempat duduk untuk melingkari perapian lagi. Akan tetapi Rudita tidak segera duduk melainkan memandang Agung Sedayu sambil berdesis perlahan.


“Agung Sedayu, bukankah tengah malam tinggal sebentar lagi. Aku kira kau mempunyai sebuah tugas yang teramat penting dan belum tuntas kau selesaikan. Meskipun mungkin tidak berarti, tetapi jika diijinkan aku ingin membantu”


Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam, agaknya Rudita memang sudah hadir lama dan mengetahui semua yang sedang terjadi di tepian sungai Belehan ini. Ia tidak perlu lagi bercerita dan bahkan sesungguhnya hatinya bersyukur bahwa ternyata Rudita hadir di saat-saat yang sesungguhnya cukup sulit karena menghadapi situasi yang aneh dan belum terlalu dikenalnya.



“Ini adalah kali pertama aku bisa bekerja sama dengan Rudita. Agaknya Rudita juga memiliki pandangan yang sama bahwa kekuatan yang beralaskan pada ilmu hitam dari Resi Kali Belehan ini akan menyebar kerusakan pada tatanan hidup sehingga pantas untuk di musnahkan. Mudah-mudahan lain kali kami akan mempunyai pandangan yang sama atau tidak jauh berbeda”, - tanpa sadar Agung Sedayu berdesis dalam hati.


Karena itu, Agung Sedayu segera berdiri dan berkata - ,”Baiklah, aku dan Rudita akan bergeser mendekati tempuran atau kedung sungai itu. Sementara Kiai Garda aku mohon tetap disini bersama yang lainnya, sehingga kalaupun ada kebocoran yang tidak mampu kami tangani, maka Kiai bersama yang lain akan bisa melindungi diri”


Kiai Garda menganggukkan kepalanya tanpa menjawab, sementara sebelum melangkahkan kakinya untuk bergeser, tiba-tiba saja Agung Sedayu menoleh sambil berkata.


“Wangi, kemarilah. Ada sesuatu yang ingin aku katakan kepadamu”, - suara Agung Sedayu terdengar pelan.


Salam,

Ries

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...