BALADA
SWANDARU GENI
Bab V: Ajaran Untuk Pulang
Babak – 11
Tetapi apa
yang tertangkap dimata Pandan Wangi tidaklah sesuai dengan apa yang ada dalam
pikirannya. Awalnya ketika telinganya menangkap alunan lembut di gendang
telinganya, ia langsung menduga bahwa itu pastilah suara seruling dari seorang
gembala muda yang bernama Gupita. Nada yang mengalun naik turun dan mampu
menindih berisik suara malam serta membungkam para binatang malam agar untuk sementara
waktu berdiam diri.
Yang terlihat
adalah bahwa Agung Sedayu itu sama sekali tidak memegang seruling dan justru sedang
menegakkan punggungnya sambil memandang kearah kegelapan malam. Raut wajahnya
terlihat tenang bahkan kemudian tersungging senyuman tipis, entah ditujukan
untuk siapa.
Sekar Mirah
yang duduk disebelah Ki Widura sambil memeluk kedua lututnya juga merasakan hal
yang sedikit ganjil. Awalnya ia juga menyangka bahwa suara itu berasal dari
seruling yang ditiup suaminya, sebagaimana siang tadi ketika mereka masih duduk
dibawah pohon rindang dan diganggu oleh beberapa burung gagak hitam peliharaan
Resi Kali Belehan. Suara seruling itu terasa lembut menekan, akan tetapi hingga
beberapa lama mereka tidak tahu siapa yang meniupnya.
Bahkan Kiai
Garda yang mencoba melipatgandakan seluruh panca-indranya hingga beberapa saat
masih belum mengetahui darimana sumber suara itu berasal.
Sementara
itu, Agung Sedayu terlihat berdiri tegak sambil memandang kegelapan malam dan
menghadap ke tebing sungai dimana disitu terdapat sebuah batu yang cukup besar.
Ia mengajak semua untuk berdiri sambil berdesis pelan.
“Marilah, agaknya
kita kedatangan seorang tamu yang juga seorang saudara dekat kita. Wangi,
bukankah kau sangat mengenali suara seruling itu?”
Sekar Mirah
terlihat mengerutkan keningnya ketika suaminya justru menyebut nama Pandan
Wangi yang dianggap mengenal orang yang disebut tamu atau saudara itu. Ia
kesulitan untuk mengurai makna ungkapan kata Agung Sedayu.
Sementara
mendengar perkataan Agung Sedayu itu dada Pandan Wangi berdegup kencang luar
biasa, betapa hatinya sangat terperanjat sehingga wajahnya memerah dan terasa panas.
Untunglah kegelapan malam menyembunyikan raut wajah gugupnya sementara ia
sendiri memang sudah berdiri membelakangi perapian sehingga wajahnya
terlindungi dari sinar terang. Ia benar-benar kebingungan dengan ungkapan
kalimat yang disuarakan oleh Agung Sedayu.
Hampir saja
Pandan Wangi tidak bisa menguasai suara hatinya.
“Selama
hidup, suara seruling yang sangat aku kenal dan bahkan sangat membekas dalam
hatiku adalah tiupan seorang gembala muda yang bernama Gupita. Tetapi mengapa
kakang Agung Sedayu mengatakan kalimat itu di hadapan begitu banyak orang?”, - tanpa
bisa dicegah hati Pandan Wangi terasa sangat galau dan bahkan kebingungan.
Tanpa
sesadarnya sudut mata Pandan Wangi sempat menangkap raut wajah Sekar Mirah yang
juga sudah ikut berdiri. Hanya saja Pandan Wangi tidak bisa membaca kesan yang
timbul dari wajah adik perempuan suaminya itu.
Seolah tidak
memerlukan jawaban Agung Sedayu melangkah maju beberapa tindak dan menyapa peniup seruling itu dengan suara yang
sewajarnya.
“Marilah
Rudita, kami sangat senang kau bisa hadir di tepian sungai ini. Bergabunglah
dengan saudara-saudara kita yang sedang menghangatkan diri di tepi perapian ini”
Mendengar kalimat
Agung Sedayu itu, hati Pandan Wangi yang sempat pepat dan diliputi tanda tanya
itu tiba-tiba saja menjadi lega luar biasa. Ibarat air yang tadinya tersumbat,
maka ketika sumbatan itu terlewati, airpun mengalir dengan sangat lancar. Ya,
Rudita memang saudaranya, meskipun terhitung saudara jauh. Meskipun tidak terlalu
sering, akan tetapi ia tahu bahwa saudaranya itu terkadang juga meniup seruling.
Sementara
Sekar Mirah terlihat mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia juga cukup mengenal
Rudita yang menurutnya mempunyai watak yang sedikit berbeda dengan kebanyakan
orang pada umumnya. Rudita adalah orang yang telah meletakkan kedamaian sebagai
sebuah keyakinan dalam dirinya. Langkah kehidupan dan warna hari-harinya sangat
jauh dari dunia kekerasan. Akan tetapi menurut Agung Sedayu, keyakinan itu
justru telah membuat Rudita memiliki dan menguasai bekal yang teramat berharga
dalam dirinya. Rudita adalah seorang pilih tandang tanpa harus menguasai
ilmu-ilmu kanuragan sebagaimana yang mereka pelajari. Ia jauh dari sikap-sikap iri, dengki atau
tamak yang biasanya menjadi penghambat seseorang dalam mencecap ilmu-ilmu
hakiki tentang kehidupan.
Dengan
keyakinannya yang begitu tinggi, Rudita justru dengan mudah menguasai berbagi
ilmu sejati yang sangat berguna untuk melindungi sesama. Ia adalah sebuah
kedung yang teramat dalam dan luas yang mampu menampung berapapun air yang
mengalir ke dalam dirinya. Apalagi ia adalah anak laki-laki satu-satunya dari
Ki Waskita, seorang linuwih yang juga sudah dianggap sebagai guru oleh Agung
Sedayu.
Kiai Garda
yang juga sudah ikut berdiri segera menangkap alunan suara seruling yang
melambat dan kemudian berhenti itu. Diam-diam ia merasa sangat kagum dan merasa
betapa orang yang meniup seruling itu pastilah mempunyai kemampuan pinunjul dan
susah di jajagi.
“Hmm… jika
ada yang mengatakan bahwa batas pandangan kita adalah langit. Sebenarnyalah
langit itu sendiri tidak berbatas, diatas langit masih ada langit! Pandangan
kitalah yang sangat terbatas”, - tanpa sadar Kiai Garda merangkai kalimat untuk
dirinya sendiri.
Sementara
itu, semua mata seolah mengikuti arah pandangan Agung Sedayu dimana sejenak
kemudian muncullah sesosok bayangan dari balik batu yang cukup besar itu.
Perlahan-lahan bayangan itu berjalan menuruni tebing sungai yang sebenarnya
juga tidak terlalu curam. Jalannya terlihat hati-hati seolah ia takut kalau
kakinya tergelincir dan sama sekali tidak menunjukkan kelebihan sebagai seorang
yang mampu menguasai ilmu olah kanuragan. Ketika sudah berdiri dekat,
sesungguhnyalah Pandan Wangi melihat dan meyakini bahwa yang hadir benar-benar
adalah Rudita saudaranya.
Sesungguhnya
pertemuan itu sangat menggembirakan bagi Agung Sedayu, selama ini mereka sudah beberapa
kali bertemu dalam suasana yang kurang menggembirakan karena perbedaan sikap
yang terkadang cukup tajam antara keduanya.
Betapa dulu Agung
Sedayu sempat termenung lama, ketika Rudita berkata bahwa ia adalah orang yang
paling dekat, akan tetapi berdiri di seberang! Rudita yang menganggap bahwa
ilmu kanuragan hanyalah ilmu yang akan semakin menyuburkan kekerasan dalam
hidup, sementara Agung Sedayu sendiri berpendapat bahwa dengan ilmu itu ia
justru bisa memberi penyeimbang atas ketidak-adilan dan tindak sewenang-wenang
dari orang yang berniat jahat.
Demikianlah,
setelah saling menyapa dan memperkenalkan diri pada beberapa orang yang hadir
disitu, Agung Sedayu mengajak Rudita untuk mengambil tempat duduk untuk
melingkari perapian lagi. Akan tetapi Rudita tidak segera duduk melainkan
memandang Agung Sedayu sambil berdesis perlahan.
“Agung
Sedayu, bukankah tengah malam tinggal sebentar lagi. Aku kira kau mempunyai
sebuah tugas yang teramat penting dan belum tuntas kau selesaikan. Meskipun
mungkin tidak berarti, tetapi jika diijinkan aku ingin membantu”
Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam, agaknya Rudita memang sudah hadir lama dan mengetahui
semua yang sedang terjadi di tepian sungai Belehan ini. Ia tidak perlu lagi
bercerita dan bahkan sesungguhnya hatinya bersyukur bahwa ternyata Rudita hadir
di saat-saat yang sesungguhnya cukup sulit karena menghadapi situasi yang aneh
dan belum terlalu dikenalnya.
“Ini adalah
kali pertama aku bisa bekerja sama dengan Rudita. Agaknya Rudita juga memiliki
pandangan yang sama bahwa kekuatan yang beralaskan pada ilmu hitam dari Resi
Kali Belehan ini akan menyebar kerusakan pada tatanan hidup sehingga pantas
untuk di musnahkan. Mudah-mudahan lain kali kami akan mempunyai pandangan yang
sama atau tidak jauh berbeda”, - tanpa sadar Agung Sedayu berdesis dalam hati.
Karena itu,
Agung Sedayu segera berdiri dan berkata - ,”Baiklah, aku dan Rudita akan
bergeser mendekati tempuran atau kedung sungai itu. Sementara Kiai Garda aku
mohon tetap disini bersama yang lainnya, sehingga kalaupun ada kebocoran yang
tidak mampu kami tangani, maka Kiai bersama yang lain akan bisa melindungi diri”
Kiai Garda
menganggukkan kepalanya tanpa menjawab, sementara sebelum melangkahkan kakinya untuk
bergeser, tiba-tiba saja Agung Sedayu menoleh sambil berkata.
“Wangi,
kemarilah. Ada sesuatu yang ingin aku katakan kepadamu”, - suara Agung Sedayu
terdengar pelan.
Salam,
Ries
No comments:
Post a Comment