Wednesday, September 6, 2017

BSG - BAB.V. AUP - Babak-08

BALADA SWANDARU GENI
Bab V: Ajaran Untuk Pulang
Babak – 08



Kiai Garda sebenarnya juga mendengar pekikan lirih dari Pandan Wangi itu, hanya saja gerak naluriah Agung Sedayu yang langsung terbang kearah Pandan Wangi membuatnya lebih terkejut. Gerakan tanpa ancang-ancang dan dilakukan ketika sedang berjongkok itu benar-benar sulit diterima nalar. Dalam sekali sentak, kaki Agung Sedayu mampu melemparkan tubuhnya jauh dan tinggi kearah samping dengan begitu ringan dan benar-benar layaknya burung rajawali yang sedang menyambar mangsanya. Agung Sedayu itu seolah-olah kehilangan bobot tubuhnya sama sekali.


Sebelum Kiai Garda menyadari segala sesuatunya, dilihatnya Agung Sedayu sudah berdiri dekat dengan Pandan Wangi dan Gilang yang ternyata sedang berjongkok menghadapi tubuh Swandaru suaminya.


“Ada apa Wangi?”, - tanya Agung Sedayu cemas.


Sekar Mirah, Ki Widura dan Kiai Garda yang akhirnya juga melangkah mendekat ikut memperhatikan tubuh Swandaru yang roboh di atas tanah berpasir.


“Aku tidak tahu kakang”, - terdengar suara Pandan Wangi bergetar penuh rasa kuatir -,”Tiba-tiba saja kakang Swandaru berdiri dengan seketika, akan tetapi belum lagi posisi berdirinya tegak, ia kembali terjungkal dan agaknya kini pingsan lagi”


Ketegangan di dada Agung Sedayu perlahan-lahan menurun, agaknya ia terlalu kuatir ketika mendengar teriakan Pandan Wangi tadi. Segera ia berjongkok dan memeriksa tubuh adik seperguruannya itu. Ditelitinya dengan seksama detak nadi, jantung dan aliran darah tubuh yang bergerak ke menuju sekitar kepala. Secara fisik, agaknya tidak ada yang terlalu mengkuatirkan, bahkan ketika Agung Sedayu memeriksa daerah di sekitar belakang telinga kiri Swandaru, ternyata noda hitam itu juga sudah sirna dan tertinggal luka lecet akibat bidikan Gilang menggunakan bambu kuning.


“Agaknya gejolak pikiran adi Swandaru yang lebih banyak terganggu”, - batin Agung Sedayu.


“Wangi dan juga kau Gilang”, - berkata Agung Sedayu kemudian - ,”Keadaan adi Swandaru tidak terlalu mengkhawatirkan. Aku akan mencoba menyadarkannya, dan aku mohon Kiai Garda berkenan membantu”


Pandan Wangi dan Gilang terlihat menarik nafas lega, demikian juga yang lainnya. Sementara Kiai Garda dengan serta-merta menyahut.


“Tentu saja, kita juga masih harus menyadarkan tiga orang lainnya Ki”


Agung Sedayu tidak menjawab melainkan mengedarkan pandangannya ke sekitar tepian sungai Belehan itu. Memang masih ada Ki Sindupati dan dua orang pembantu Resi Kali Belehan yang pingsan dan belum sadarkan diri. Sementara meskipun suasana masih cukup terang, akan tetapi sebentar lagi pasti kegelapan segera turun dan itu akan menyulitkan mereka untuk memberi pertolongan lebih lanjut.


Sambil menyingsingkan lengan bajunya, Agung Sedayu menoleh kepada Ki Widura sambil berkata - ,”Paman, agaknya aku memerlukan air Tirta Panguripan itu sekarang”


Ki Widura seperti tergagap mendengar perkataan keponakannya itu. Segera ia bergeser dan mengambil buntalan kain yang memang dibawanya sebagai bekal dalam perjalanan menyusul Swandaru. Dari buntalan kain itu, Ki Widura mengambil sebuah kendi kecil yang tertutup rapat yang berisikan air yang disebut sebagai Tirta Panguripan.


Inilah air yang diperoleh Ki Widura saat ia berada dalam sebuah goa di sebelah hutan kecil dekat Jati Anom. Goa yang mempunyai riwayat penting bagi keluarga Ki Sadewa atau khususnya bagi Agung Sedayu. Pada bagian dalam goa yang konon jika dirunut terus akan sedemikian panjang dan bahkan menembus hingga ke pantai selatan itu, terdapat langit-langit goa yang cekung dan meneteskan air setetes demi setetes. Air itu hanya menetes mulai tengah malam dan akan berhenti ketika menjelang dini hari. Untuk memperoleh air sebanyak kendi kecil itu, Ki Widura menghabiskan waktu semalam suntuk.


Kiai Garda segera membantu dengan menuang air Tirta Panguripan itu kedalam sebuah mangkuk yang terbuat dari tanah. Sebagai seorang yang cukup menguasai ilmu pengobatan, Kiai Garda sangat paham khasiat dan kegunaan air ini yang memang terdapat di beberapa tempat. Ia sendiri pernah memperoleh air sejenis yang didapatnya ketika mendaki ke puncak Lawu.


Sementara itu, Agung Sedayu mengeluarkan  sebuah cupu kecil yang terbuat dari logam kuningan dari kantong ikat pinggangnya. Ketika ia membuka cupu itu, semua mata segera melihat adanya sebuah batu mustika kecil berwarna merah menyala. Meskipun inti batu itu menunjukkan warna merah tua yang cukup pekat, akan tetapi kilau yang menyelimutinya membuat batu itu seolah berwarna merah muda yang memancar. Meskipun tidak terucapkan, akan tetapi semua yang melihat batu itu merasa hatinya bergetar dan diam-diam mengakui perbawa batu mustika itu.


“Mirah Delima!”, - tanpa sadar Kiai Garda berdesis lirih.


Semua yang mendengar desisan Kiai Garda seketika terkejut dan bahkan bergeser mendekat untuk mengamati batu itu. Inilah batu yang sedemikian kawentar dan menjadi perburuan dan rebutan bagi banyak orang. Batu yang dipercaya mempunyai begitu banyak kegunaan seolah merangkum semua manfaat dari semua batu mustika ataupun pusaka yang ada di tanah Jawa atau bahkan di muka bumi  ini. Inilah batu yang mengandung energi alam yang sangat besar dan memiliki manfaat seolah tidak terbatas.


Sekar Mirah sendiri menjadi terheran-heran, selama ini ia sama sekali tidak mengetahui bahwa suaminya itu ternyata menyimpan batu mustika yang menjadi incaran banyak orang. Selama mendampingi Agung Sedayu, Sekar Mirah hanya melihat satu-satunya barang yang dianggap berharga dan diperlakukan selayaknya benda berharga adalah cambuk dan sebuah kitab yang merupakan peninggalan dari gurunya.


“Sejak kapan kakang memiliki batu mustika itu?”, - tanpa sadar pertanyaan itu keluar dari bibir dari Sekar Mirah.


Agung Sedayu menengok kepada istrinya - ,”Ah, ini tentu saja bukan milikku Mirah. Kebetulan sebelum kesini aku mampir ke Mataram untuk mohon ijin kepada Ki Patih Mandaraka karena harus meninggalkan tugasku di barak untuk beberapa hari. Saat mendengar keadaan adi Swandaru yang keberadaannya belum jelas itu, Ki Patih kemudian meminjamkan batu mustika ini agar sewaktu-waktu diperlukan bisa dipakai untuk memberi pertolongan”


Semua yang mendengar penjelasan Agung Sedayu itu mengerutkan keningnya. Agak sulit dipahami bahwa dalam waktu yang sangat pendek, Agung Sedayu ternyata telah menempuh jarak yang sedemikian panjang. Dari Jati Anom pergi menuju Mataram dan kemudian menyusul mereka yang telah berkuda hampir tiga hari untuk sampai di sungai Belehan ini.


Hanya Kiai Garda yang bisa memahami bahwa pertemuan Agung Sedayu dengan Kanjeng Sunan Muria benar-benar telah membuat kemampuan murid tertua Kiai Gringsing itu menjadi berlipat-lipat. Ia benar-benar mampu melipat jarak dan waktu sehingga keberadaannya bagaikan hantu yang sulit dikenali.


Sementara itu, Agung Sedayu segera memasukkan batu mustika Mirah Delima itu ke dalam mangkuk tanah berisi air Tirta Panguripan yang ada di tangan Kiai Garda. Air yang tadinya terlihat jernih itu kini dengan cepat berubah warnanya menjadi kemerah-merahan dan benderang. Warna itu seolah memendar keluar sehingga sekilas wajah Kiai Garda yang sedang memegang mangkok tanah itu terlihat kemerahan karena pantulannya.


Tirta Panguripan yang ada dalam mangkok tanah itu sekilas terlihat bergolak sebelum kemudian tenang kembali. Tangan kanan Kiai Garda terlihat sedikit bergetar dan ia tidak bisa memungkiri bahwa hatinya berdebar-debar. Meskipun ia sudah seringkali mendengar akan guna dan manfaat batu mustika ini, akan tetapi hari ini ia benar-benar melihatnya secara langsung dan kini bahkan akan mencoba khasiatnya.


“Perbawa batu mustika ini sungguh luar biasa”, - desisnya dalam hati.


Untuk sesaat suasana di tepian sungai Belehan itu terasa sangat hening. Agung Sedayu dan Kiai Garda terlihat menghadapi mangkok tanah itu sambil memejamkan matanya dengan wajah menunduk  untuk memusatkan seluruh nalar budinya. Mereka berdua seolah sedang meyakinkan panggraitanya bahwa apa yang akan mereka lakukan adalah sudah benar dan akan membawa manfaat.


Sesungguhnya keduanya bisa merasakan getaran-getaran yang muncul akibat bercampurnya Tirta Panguripan dengan batu mustika Mirah Delima itu. Pencampuran itu memunculkan sebuah gelombang halus yang merambat secara ajeg dan tertata serta membawa ketenangan. Inilah gelombang yang mampu merambat dalam tubuh seseorang dan menyusuri seluruh organ tubuh untuk penataan ulang. Tidak hanya pada aliran darah ataupun bagian-bagian dalam fisik atau tubuh seseorang, melainkan juga membuka simpul-simpul syaraf yang tersumbat. Membuka dan mengalirkan udara pada pembuluh otak sehingga mampu memperbaiki daya ingat dan pola pikir seseorang.


Bukan gelombang yang tidak beraturan yang biasanya akan memancarkan hawa panas dan biasanya akan membuat detak jantung meningkat dengan cepat.


Hampir pada saat yang bersamaan keduanya kemudian membuka matanya. Sambil bergeser Agung Sedayu mengangkat tubuh bagian atas dan memangku kepala Swandaru Geni di pahanya, lalu berkata kepada Kiai Garda.


“Silahkan Kiai memimpin kami untuk berdoa dan kemudian melakukan apa yang seharusnya dilakukan kepada adi Swandaru dan yang lain yang masih pingsan”


Kiai Garda menganggukkan kepalanya, adalah sudah seharusnya semua yang akan mereka lakukan senantiasa di awali dengan doa dan diakhiri dengan rasa syukur atas semua pertolongan dari Yang Maha Agung. Bahwa apa yang kini sedang mereka lakukan pada hakekatnya hanyalah sebuah usaha selayaknya makhluk lemah ciptaan Yang Maha Kuasa dan Maha Penyembuh, sementara hasil usahanya  sepenuhnya tergantung pada perkenanNya.


Perlahan-lahan Kiai Garda kemudian menyeka tipis-tipis wajah Swandaru menggunakan air Tirta Panguripan yang sudah tercampur dengan terendamnya batu mustika Mirah Delima. Tangan kanan Kiai Garda melakukan gerak berputar dari kanan ke kiri dan sama sekali tidak sebaliknya. Seluruh wajah dan kepala Swandaru seolah tidak ada yang terlewatkan oleh sekaan tangan Kiai Garda itu dan bahkan termasuk belakang telinga kiri yang tadinya bernoda hitam.


Agung Sedayu bisa merasakan betapa getaran dan gelombang halus yang ajeg itu meresap dan menelusuri urat syaraf adik seperguruannya itu melalui pori-pori tubuh. Bahkan sesaat kemudian Kiai Garda itu mengisyaratkan Agung Sedayu untuk membuka mulut Swandaru lalu meneteskan air Tirta Panguripan itu setetes demi setetes dengan sangat telaten.


Hingga kemudian Swandaru Geni tersadarkan.


Salam,

Ries

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...