BALADA
SWANDARU GENI
Bab V: Ajaran Untuk Pulang
Babak – 08
Kiai Garda
sebenarnya juga mendengar pekikan lirih dari Pandan Wangi itu, hanya saja gerak
naluriah Agung Sedayu yang langsung terbang kearah Pandan Wangi membuatnya
lebih terkejut. Gerakan tanpa ancang-ancang dan dilakukan ketika sedang
berjongkok itu benar-benar sulit diterima nalar. Dalam sekali sentak, kaki
Agung Sedayu mampu melemparkan tubuhnya jauh dan tinggi kearah samping dengan begitu
ringan dan benar-benar layaknya burung rajawali yang sedang menyambar
mangsanya. Agung Sedayu itu seolah-olah kehilangan bobot tubuhnya sama sekali.
Sebelum Kiai
Garda menyadari segala sesuatunya, dilihatnya Agung Sedayu sudah berdiri dekat
dengan Pandan Wangi dan Gilang yang ternyata sedang berjongkok menghadapi tubuh
Swandaru suaminya.
“Ada apa
Wangi?”, - tanya Agung Sedayu cemas.
Sekar Mirah,
Ki Widura dan Kiai Garda yang akhirnya juga melangkah mendekat ikut
memperhatikan tubuh Swandaru yang roboh di atas tanah berpasir.
“Aku tidak
tahu kakang”, - terdengar suara Pandan Wangi bergetar penuh rasa kuatir -,”Tiba-tiba
saja kakang Swandaru berdiri dengan seketika, akan tetapi belum lagi posisi
berdirinya tegak, ia kembali terjungkal dan agaknya kini pingsan lagi”
Ketegangan
di dada Agung Sedayu perlahan-lahan menurun, agaknya ia terlalu kuatir ketika
mendengar teriakan Pandan Wangi tadi. Segera ia berjongkok dan memeriksa tubuh
adik seperguruannya itu. Ditelitinya dengan seksama detak nadi, jantung dan
aliran darah tubuh yang bergerak ke menuju sekitar kepala. Secara fisik,
agaknya tidak ada yang terlalu mengkuatirkan, bahkan ketika Agung Sedayu
memeriksa daerah di sekitar belakang telinga kiri Swandaru, ternyata noda hitam
itu juga sudah sirna dan tertinggal luka lecet akibat bidikan Gilang
menggunakan bambu kuning.
“Agaknya
gejolak pikiran adi Swandaru yang lebih banyak terganggu”, - batin Agung
Sedayu.
“Wangi dan
juga kau Gilang”, - berkata Agung Sedayu kemudian - ,”Keadaan adi Swandaru
tidak terlalu mengkhawatirkan. Aku akan mencoba menyadarkannya, dan aku mohon
Kiai Garda berkenan membantu”
Pandan Wangi
dan Gilang terlihat menarik nafas lega, demikian juga yang lainnya. Sementara
Kiai Garda dengan serta-merta menyahut.
“Tentu saja,
kita juga masih harus menyadarkan tiga orang lainnya Ki”
Agung Sedayu
tidak menjawab melainkan mengedarkan pandangannya ke sekitar tepian sungai
Belehan itu. Memang masih ada Ki Sindupati dan dua orang pembantu Resi Kali
Belehan yang pingsan dan belum sadarkan diri. Sementara meskipun suasana masih
cukup terang, akan tetapi sebentar lagi pasti kegelapan segera turun dan itu
akan menyulitkan mereka untuk memberi pertolongan lebih lanjut.
Sambil
menyingsingkan lengan bajunya, Agung Sedayu menoleh kepada Ki Widura sambil
berkata - ,”Paman, agaknya aku memerlukan air Tirta Panguripan itu sekarang”
Ki Widura
seperti tergagap mendengar perkataan keponakannya itu. Segera ia bergeser dan
mengambil buntalan kain yang memang dibawanya sebagai bekal dalam perjalanan
menyusul Swandaru. Dari buntalan kain itu, Ki Widura mengambil sebuah kendi
kecil yang tertutup rapat yang berisikan air yang disebut sebagai Tirta
Panguripan.
Inilah air
yang diperoleh Ki Widura saat ia berada dalam sebuah goa di sebelah hutan kecil
dekat Jati Anom. Goa yang mempunyai riwayat penting bagi keluarga Ki Sadewa
atau khususnya bagi Agung Sedayu. Pada bagian dalam goa yang konon jika dirunut
terus akan sedemikian panjang dan bahkan menembus hingga ke pantai selatan itu,
terdapat langit-langit goa yang cekung dan meneteskan air setetes demi setetes.
Air itu hanya menetes mulai tengah malam dan akan berhenti ketika menjelang
dini hari. Untuk memperoleh air sebanyak kendi kecil itu, Ki Widura
menghabiskan waktu semalam suntuk.
Kiai Garda
segera membantu dengan menuang air Tirta Panguripan itu kedalam sebuah mangkuk
yang terbuat dari tanah. Sebagai seorang yang cukup menguasai ilmu pengobatan,
Kiai Garda sangat paham khasiat dan kegunaan air ini yang memang terdapat di
beberapa tempat. Ia sendiri pernah memperoleh air sejenis yang didapatnya
ketika mendaki ke puncak Lawu.
Sementara
itu, Agung Sedayu mengeluarkan sebuah
cupu kecil yang terbuat dari logam kuningan dari kantong ikat pinggangnya. Ketika
ia membuka cupu itu, semua mata segera melihat adanya sebuah batu mustika kecil
berwarna merah menyala. Meskipun inti batu itu menunjukkan warna merah tua yang
cukup pekat, akan tetapi kilau yang menyelimutinya membuat batu itu seolah
berwarna merah muda yang memancar. Meskipun tidak terucapkan, akan tetapi semua
yang melihat batu itu merasa hatinya bergetar dan diam-diam mengakui perbawa
batu mustika itu.
“Mirah
Delima!”, - tanpa sadar Kiai Garda berdesis lirih.
Semua yang
mendengar desisan Kiai Garda seketika terkejut dan bahkan bergeser mendekat
untuk mengamati batu itu. Inilah batu yang sedemikian kawentar dan menjadi
perburuan dan rebutan bagi banyak orang. Batu yang dipercaya mempunyai begitu
banyak kegunaan seolah merangkum semua manfaat dari semua batu mustika ataupun
pusaka yang ada di tanah Jawa atau bahkan di muka bumi ini. Inilah batu yang mengandung energi alam
yang sangat besar dan memiliki manfaat seolah tidak terbatas.
Sekar Mirah
sendiri menjadi terheran-heran, selama ini ia sama sekali tidak mengetahui
bahwa suaminya itu ternyata menyimpan batu mustika yang menjadi incaran banyak
orang. Selama mendampingi Agung Sedayu, Sekar Mirah hanya melihat satu-satunya
barang yang dianggap berharga dan diperlakukan selayaknya benda berharga adalah
cambuk dan sebuah kitab yang merupakan peninggalan dari gurunya.
“Sejak kapan
kakang memiliki batu mustika itu?”, - tanpa sadar pertanyaan itu keluar dari
bibir dari Sekar Mirah.
Agung Sedayu
menengok kepada istrinya - ,”Ah, ini tentu saja bukan milikku Mirah. Kebetulan
sebelum kesini aku mampir ke Mataram untuk mohon ijin kepada Ki Patih Mandaraka
karena harus meninggalkan tugasku di barak untuk beberapa hari. Saat mendengar
keadaan adi Swandaru yang keberadaannya belum jelas itu, Ki Patih kemudian
meminjamkan batu mustika ini agar sewaktu-waktu diperlukan bisa dipakai untuk
memberi pertolongan”
Semua yang
mendengar penjelasan Agung Sedayu itu mengerutkan keningnya. Agak sulit
dipahami bahwa dalam waktu yang sangat pendek, Agung Sedayu ternyata telah
menempuh jarak yang sedemikian panjang. Dari Jati Anom pergi menuju Mataram dan
kemudian menyusul mereka yang telah berkuda hampir tiga hari untuk sampai di
sungai Belehan ini.
Hanya Kiai
Garda yang bisa memahami bahwa pertemuan Agung Sedayu dengan Kanjeng Sunan
Muria benar-benar telah membuat kemampuan murid tertua Kiai Gringsing itu menjadi
berlipat-lipat. Ia benar-benar mampu melipat jarak dan waktu sehingga
keberadaannya bagaikan hantu yang sulit dikenali.
Sementara
itu, Agung Sedayu segera memasukkan batu mustika Mirah Delima itu ke dalam
mangkuk tanah berisi air Tirta Panguripan yang ada di tangan Kiai Garda. Air
yang tadinya terlihat jernih itu kini dengan cepat berubah warnanya menjadi
kemerah-merahan dan benderang. Warna itu seolah memendar keluar sehingga
sekilas wajah Kiai Garda yang sedang memegang mangkok tanah itu terlihat kemerahan
karena pantulannya.
Tirta Panguripan
yang ada dalam mangkok tanah itu sekilas terlihat bergolak sebelum kemudian
tenang kembali. Tangan kanan Kiai Garda terlihat sedikit bergetar dan ia tidak
bisa memungkiri bahwa hatinya berdebar-debar. Meskipun ia sudah seringkali
mendengar akan guna dan manfaat batu mustika ini, akan tetapi hari ini ia
benar-benar melihatnya secara langsung dan kini bahkan akan mencoba khasiatnya.
“Perbawa
batu mustika ini sungguh luar biasa”, - desisnya dalam hati.
Untuk sesaat
suasana di tepian sungai Belehan itu terasa sangat hening. Agung Sedayu dan
Kiai Garda terlihat menghadapi mangkok tanah itu sambil memejamkan matanya
dengan wajah menunduk untuk memusatkan
seluruh nalar budinya. Mereka berdua seolah sedang meyakinkan panggraitanya
bahwa apa yang akan mereka lakukan adalah sudah benar dan akan membawa manfaat.
Sesungguhnya
keduanya bisa merasakan getaran-getaran yang muncul akibat bercampurnya Tirta
Panguripan dengan batu mustika Mirah Delima itu. Pencampuran itu memunculkan
sebuah gelombang halus yang merambat secara ajeg dan tertata serta membawa
ketenangan. Inilah gelombang yang mampu merambat dalam tubuh seseorang dan
menyusuri seluruh organ tubuh untuk penataan ulang. Tidak hanya pada aliran
darah ataupun bagian-bagian dalam fisik atau tubuh seseorang, melainkan juga membuka
simpul-simpul syaraf yang tersumbat. Membuka dan mengalirkan udara pada
pembuluh otak sehingga mampu memperbaiki daya ingat dan pola pikir seseorang.
Bukan
gelombang yang tidak beraturan yang biasanya akan memancarkan hawa panas dan
biasanya akan membuat detak jantung meningkat dengan cepat.
Hampir pada
saat yang bersamaan keduanya kemudian membuka matanya. Sambil bergeser Agung
Sedayu mengangkat tubuh bagian atas dan memangku kepala Swandaru Geni di
pahanya, lalu berkata kepada Kiai Garda.
“Silahkan Kiai
memimpin kami untuk berdoa dan kemudian melakukan apa yang seharusnya dilakukan
kepada adi Swandaru dan yang lain yang masih pingsan”
Kiai Garda
menganggukkan kepalanya, adalah sudah seharusnya semua yang akan mereka lakukan
senantiasa di awali dengan doa dan diakhiri dengan rasa syukur atas semua
pertolongan dari Yang Maha Agung. Bahwa apa yang kini sedang mereka lakukan
pada hakekatnya hanyalah sebuah usaha selayaknya makhluk lemah ciptaan Yang
Maha Kuasa dan Maha Penyembuh, sementara hasil usahanya sepenuhnya tergantung pada perkenanNya.
Perlahan-lahan
Kiai Garda kemudian menyeka tipis-tipis wajah Swandaru menggunakan air Tirta
Panguripan yang sudah tercampur dengan terendamnya batu mustika Mirah Delima. Tangan
kanan Kiai Garda melakukan gerak berputar dari kanan ke kiri dan sama sekali
tidak sebaliknya. Seluruh wajah dan kepala Swandaru seolah tidak ada yang
terlewatkan oleh sekaan tangan Kiai Garda itu dan bahkan termasuk belakang
telinga kiri yang tadinya bernoda hitam.
Agung Sedayu
bisa merasakan betapa getaran dan gelombang halus yang ajeg itu meresap dan
menelusuri urat syaraf adik seperguruannya itu melalui pori-pori tubuh. Bahkan sesaat
kemudian Kiai Garda itu mengisyaratkan Agung Sedayu untuk membuka mulut
Swandaru lalu meneteskan air Tirta Panguripan itu setetes demi setetes dengan
sangat telaten.
Hingga kemudian
Swandaru Geni tersadarkan.
Salam,
Ries
No comments:
Post a Comment