BALADA
SWANDARU GENI
Bab V: Ajaran Untuk Pulang
Babak – 13
Agung Sedayu
dan Rudita adalah dua orang yang sudah saling mengenal sejak usia muda. Pada
perkembangannya, ada sedikit perbedaan sikap antara keduanya, dimana Rudita
lebih melihat bahwa olah kanuragan hanya akan menambah jumlah korban kekerasan.
Sementara meski lebih menitikberatkan pada ajaran kasih sayang, akan tetapi
Rudita sendiri mengakui bahwa ia sendiri sebenarnya juga mempelajari sebagian
dari isi kitab Ki Waskita. Rudita sengaja memilih beberapa jenis ilmu yang lebih
banyak bersifat untuk perlindungan dan jauh dari sifat kekerasan.
Adalah bukan
sebuah kebetulan bahwa Ki Waskita yang juga ayah Rudita itu juga telah
mempercayakan isi kitab itu agar dipelajari oleh Agung Sedayu. Sebagaimana
kitab perguruan Windujati, kitab Ki Waskita yang bersumber pada ilmu jalur
Pangrantunan itu juga telah dihafal Agung Sedayu di luar kepala. Sebagaimana
yang dilakukan Rudita, ternyata Agung Sedayu juga tidak atau belum menguasai
seluruh isi kitab yang memang isinya mengandung ajaran yang sangat tinggi dan
memerlukan waktu yang teramat panjang untuk mendalami dan menguasai seluruh
isinya.
Meskipun
berbeda pandangan, akan tetapi keduanya merasa dekat karena masing-masing
mengakui adanya keterbatasannya dalam dirinya. Bahwa semua tindakan adalah
berdasarkan harkat dan martabat manusia selaku makhluk ciptaan Yang Maha Agung,
sehingga mereka harus menjaga dan memelihara konsep keseimbangan dan keadilan
bagi masyarakat. Bukan karena menuruti hawa nafsu yang tidak aka nada habis-habisnya.
Sekar Mirah
yang cukup mengetahui perjalanan hidup keduanya tanpa sadar berdesis pelan - ,”Sesungguhnya
keduanya adalah saudara seperguruan meskipun tidak secara langsung”
Ki Widura, Swandaru
dan Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam sambil tetap pandangannya lurus ke
depan. Ketiganya sama sekali tidak menyahut ungkapan Sekar Mirah itu, sementara
Kiai Garda dan Gilang yang belum mengenal asal-usul Rudita terlihat hanya
mengerutkan keningnya.
Malam terus
merambat tanpa ada yang bisa menghalangi, suasana sunyi justru membuat suara
jantung yang berdetak di dada masing-masing terdengar cukup keras. Saat itulah
semua mata melihat betapa tiba-tiba saja Rudita bergeser sedikit ke samping
kiri sambil kemudian duduk besila begitu saja diatas tepian sungai yang
berpasir. Tangannya masih bersedekap didepan kedua dadanya, sementara kedua
matanya sedikit terpejam.
Kiai Garda
mencoba memahami apa yang sedang dilakukan oleh Rudita maupun Agung Sedayu.
Simpul-simpul syaraf dan kepekaan rasa ia kerahkan ke tingkatan tertinggi
sehingga mata hatinya mampu melihat atau paling tidak bisa memberi gambaran
atas peristiwa yang terjadi menjelang tengah malam itu.
Dalam
pemusatan indra panggraita tertinggi itulah Kiai Garda melihat betapa dari
tubuh Rudita yang sedang duduk diatas pasir itu, muncul titik-titik terang
berwarna kebiruan yang sedemikian banyak. Titik-titik terang kebiruan itu semakin
lama semakin banyak bagaikan ribuan kunang-kunang yang keluar dari tubuh Rudita
dan kemudian merapat dan bergeser hampir memenuhi permukaan kedung sungai
Belehan.
Suasana
gelap ditengah malam itu berubah menjadi sangat aneh dimata siapapun. Gelap
yang berarti juga hitam pekat itu kini berganti dengan biru terang. Akan tetapi
sinar terang itu terbatas hanya pada titik-titik biru yang mirip ribuan kunang-kunang
itu dan sama sekali tidak menyebar disekitarnya. Suasana diluar tetap terlihat
gelap, hitam dan pekat.
Kiai Garda yang
awalnya merasa aneh dengan titik-titik biru itu akhirnya mampu melihat bahwa
sebenarnya sinar biru terang itu memang memancarkan sinarnya. Akan tetapi sinar
itu bukanlah memancar keluar, melainkan memancar
kedalam pada titik-titik biru itu sendiri. Seolah sinar itu adalah energi yang sedang
membangun dan mengisi titik-titik itu sehingga padat dan bersinar kedalam semakin
lama semakin kuat.
“Ah, inilah
sebuah ilmu pertahanan yang sangat luar biasa. Aku ingat eyang guru Pandan Alas
pernah bercerita bahwa sifat-sifat pertahanan semacam ini adalah pengembangan
dari Ajian Lebur Seketi yang sesungguhnya mempunyai sifat menyerang. Meskipun
sinar yang dihasilkan adalah biru, akan tetapi sesungguhnya ia mempunyai sifat
panas yang tinggi dan mampu membakar apapun yang menyentuhnya. Tidak bisa
diragukan lagi, ini pastilah pengembangan dari Lebur Seketi dalam sifatnya
untuk bertahan”, - hati Kiai Garda tercekat melihat kenyataan yang ada di
hadapannya.
“Siapakah
sesungguhnya Ki Rudita itu”, - Kiai Garda sempat bertanya-tanya dalam hati -,”Menurut
eyang Guru, bahkan leluhur dari Pangrantunan sendiri belum bisa menguasai jenis
aji pertahanan ini dengan sempurna. Tetapi apa yang aku lihat disini, Ki Rudita
itu mampu membangun sebuah pertahanan yang sangat rapat dan teramat kuat. Tidak
pelak lagi, hal ini hanya mampu dilakukan oleh seseorang yang mempunyai hati
yang bersih serta keyakinan yang teramat kuat atas sebuah sikap”
Kini ribuan
titik-titik biru yang memadat itu mulai berdesakan merapat dan membentuk sebuah
bangunan yang melebar dibawah akan tetapi runcing dibagian atasnya. Ia bagaikan
sebuah kukusan yang sedang melakukan perangkap penangkapan atas segala sesuatu
yang ada di bawahnya agar tidak lolos. Kiai Garda meyakini bahwa energi titik-titik
biru yang padat itu tidak hanya berhenti diatas permukaan air, melainkan masuk
menembus dan bahkan menghujam didasar kedung sungai seolah hendak memagari seluruh
area didalamnya.
Ketika semua
mata seolah tidak sempat berkedip menatap ke arah bangunan raksasa berbentuk kukusan
dan berwarna biru itu, saat itu Kiai Garda masih sempat melihat betapa secara
perlahan-lahan Agung Sedayu mengurai kedua tangannya yang tadi bersedekap
didepan dada. Bersamaan dengan turunnya kedua tangan itu, tiba-tiba saja tubuh
Agung Sedayu itu terpecah menjadi tiga bagian dan bergeser ke samping kanan dan
kiri. Kini telah berdiri tiga orang Agung Sedayu yang ternyata ditangannya masing-masing
telah memegang sebuah cambuk berjuntai panjang.
“Ah”, - yang
terdengar adalah suara Gilang yang tercekat hatinya ketika melihat tubuh
pamannya itu berubah menjadi tiga orang - ,”Ibunda, Paman Agung Sedayu mampu
membelah diri”
Pandan Wangi
yang mendengar bisikan Gilang itu hanya mengangguk. Matanya tidak lepas dari
bayang-bayang hitam laki-laki yang sangat ia kagumi dan pernah menempati sudut
hatinya yang terdalam itu. Bahkan hingga kini.
Semua yang
mendengar suara Gilang juga tidak ada yang menyahut. Bagi mereka, Agung Sedayu
mampu merubah dirinya menjadi tiga orang bukanlah hal yang baru karena mereka
sudah pernah menyaksikannya beberapa kali. Yang kemudian mereka lihat adalah
dua orang Agung Sedayu itu tiba-tiba melompat atau lebih tepatnya terbang jauh
ke seberang sungai.
Sebagaimana
diketahui, kedung atau tempuran sungai itu merupakan pertigaan atau pertemuan
antara dua arus sungai yang mengalir. Di sebelah kanan dan kiri lereng sungai
itu tadinya masih tumbuh subur dua pohon beringin raksasa dan berumur ratusan
tahun, akan tetapi kini ternyata sudah gundul akibat pertarungan Agung Sedayu
dengan Resi kali Belehan sebelumnya. Sekarang hanya menyisakan batang pohonnya
yang sudah hangus dan bahkan tercerabut akarnya sehingga batang itu terlihat
miring. Disisi kanan dan kiri pohon beringin inilah kedua sosok tubuh Agung
Sedayu itu melompat dan kemudian masing-masing berdiri dalam diam sambil mengamati
lubang bekas batang yang tercerabut yang terlihat menganga.
Sementara
seorang Agung Sedayu lainnya masih tetap berdiri ditempat semula yaitu beberapa
langkah dari Rudita yang sedang duduk diatas tepian sungai berpasir.
Belum lagi
getar di dada semua orang reda karena pemandangan yang ada di depannya,
tiba-tiba mata mereka melihat adanya percikan-percikan merah yang muncul dari
dasar kedung sungai melesat ke udara. Percikan itu tidak terlalu banyak dan berupa
semacam bola api yang membara dan mengeluarkan suara mendesis sangat keras,
semuanya berjumlah lima buah.
Bola api
membara itu terlihat sangat mengerikan karena selain kecepatannya yang tinggi,
suara desisan panjang itu seolah ikut menekan seluruh perasaan mereka yang
hadir disitu. Tak dapat di hindari lima buah bola api itu pastilah akan
menghantam dinding perangkap biru yang sedang dihamparkan Rudita.
Kiai Garda
yang menajamkan penglihatan mata hatinya melihat betapa bola api membara itu
melesat dengan kecepatan tinggi. Sementara permukaan kedung atau tempuran itu
telah dibatasi oleh sebuah bangunan raksasa berwarna kebiruan dan berbentuk
kukusan.
Kejadian
demi kejadian yang saling susul-menyusul itu seolah tidak sempat membuat mereka
yang hadir disitu untuk sejenak menarik nafas. Kini mereka seolah sedang
menyaksikan sebuah puncak pertunjukkan yang akan menghentak dada dan perasaan
masing-masing.
Salam,
Ries
No comments:
Post a Comment