Thursday, September 14, 2017

BSG - BAB.V - AUP - Babak-13

BALADA SWANDARU GENI
Bab V: Ajaran Untuk Pulang
Babak – 13



Agung Sedayu dan Rudita adalah dua orang yang sudah saling mengenal sejak usia muda. Pada perkembangannya, ada sedikit perbedaan sikap antara keduanya, dimana Rudita lebih melihat bahwa olah kanuragan hanya akan menambah jumlah korban kekerasan. Sementara meski lebih menitikberatkan pada ajaran kasih sayang, akan tetapi Rudita sendiri mengakui bahwa ia sendiri sebenarnya juga mempelajari sebagian dari isi kitab Ki Waskita. Rudita sengaja memilih beberapa jenis ilmu yang lebih banyak bersifat untuk perlindungan dan jauh dari sifat kekerasan.


Adalah bukan sebuah kebetulan bahwa Ki Waskita yang juga ayah Rudita itu juga telah mempercayakan isi kitab itu agar dipelajari oleh Agung Sedayu. Sebagaimana kitab perguruan Windujati, kitab Ki Waskita yang bersumber pada ilmu jalur Pangrantunan itu juga telah dihafal Agung Sedayu di luar kepala. Sebagaimana yang dilakukan Rudita, ternyata Agung Sedayu juga tidak atau belum menguasai seluruh isi kitab yang memang isinya mengandung ajaran yang sangat tinggi dan memerlukan waktu yang teramat panjang untuk mendalami dan menguasai seluruh isinya.


Meskipun berbeda pandangan, akan tetapi keduanya merasa dekat karena masing-masing mengakui adanya keterbatasannya dalam dirinya. Bahwa semua tindakan adalah berdasarkan harkat dan martabat manusia selaku makhluk ciptaan Yang Maha Agung, sehingga mereka harus menjaga dan memelihara konsep keseimbangan dan keadilan bagi masyarakat. Bukan karena menuruti hawa nafsu yang tidak aka nada habis-habisnya.


Sekar Mirah yang cukup mengetahui perjalanan hidup keduanya tanpa sadar berdesis pelan - ,”Sesungguhnya keduanya adalah saudara seperguruan meskipun tidak secara langsung”


Ki Widura, Swandaru dan Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam sambil tetap pandangannya lurus ke depan. Ketiganya sama sekali tidak menyahut ungkapan Sekar Mirah itu, sementara Kiai Garda dan Gilang yang belum mengenal asal-usul Rudita terlihat hanya mengerutkan keningnya.


Malam terus merambat tanpa ada yang bisa menghalangi, suasana sunyi justru membuat suara jantung yang berdetak di dada masing-masing terdengar cukup keras. Saat itulah semua mata melihat betapa tiba-tiba saja Rudita bergeser sedikit ke samping kiri sambil kemudian duduk besila begitu saja diatas tepian sungai yang berpasir. Tangannya masih bersedekap didepan kedua dadanya, sementara kedua matanya sedikit terpejam.




Kiai Garda mencoba memahami apa yang sedang dilakukan oleh Rudita maupun Agung Sedayu. Simpul-simpul syaraf dan kepekaan rasa ia kerahkan ke tingkatan tertinggi sehingga mata hatinya mampu melihat atau paling tidak bisa memberi gambaran atas peristiwa yang terjadi menjelang tengah malam itu.


Dalam pemusatan indra panggraita tertinggi itulah Kiai Garda melihat betapa dari tubuh Rudita yang sedang duduk diatas pasir itu, muncul titik-titik terang berwarna kebiruan yang sedemikian banyak. Titik-titik terang kebiruan itu semakin lama semakin banyak bagaikan ribuan kunang-kunang yang keluar dari tubuh Rudita dan kemudian merapat dan bergeser hampir memenuhi permukaan kedung sungai Belehan.


Suasana gelap ditengah malam itu berubah menjadi sangat aneh dimata siapapun. Gelap yang berarti juga hitam pekat itu kini berganti dengan biru terang. Akan tetapi sinar terang itu terbatas hanya pada titik-titik biru yang mirip ribuan kunang-kunang itu dan sama sekali tidak menyebar disekitarnya. Suasana diluar tetap terlihat gelap, hitam dan pekat.


Kiai Garda yang awalnya merasa aneh dengan titik-titik biru itu akhirnya mampu melihat bahwa sebenarnya sinar biru terang itu memang memancarkan sinarnya. Akan tetapi sinar itu bukanlah  memancar keluar, melainkan memancar kedalam pada titik-titik biru itu sendiri. Seolah sinar itu adalah energi yang sedang membangun dan mengisi titik-titik itu sehingga padat dan bersinar kedalam semakin lama semakin kuat.


“Ah, inilah sebuah ilmu pertahanan yang sangat luar biasa. Aku ingat eyang guru Pandan Alas pernah bercerita bahwa sifat-sifat pertahanan semacam ini adalah pengembangan dari Ajian Lebur Seketi yang sesungguhnya mempunyai sifat menyerang. Meskipun sinar yang dihasilkan adalah biru, akan tetapi sesungguhnya ia mempunyai sifat panas yang tinggi dan mampu membakar apapun yang menyentuhnya. Tidak bisa diragukan lagi, ini pastilah pengembangan dari Lebur Seketi dalam sifatnya untuk bertahan”, - hati Kiai Garda tercekat melihat kenyataan yang ada di hadapannya.


“Siapakah sesungguhnya Ki Rudita itu”, - Kiai Garda sempat bertanya-tanya dalam hati -,”Menurut eyang Guru, bahkan leluhur dari Pangrantunan sendiri belum bisa menguasai jenis aji pertahanan ini dengan sempurna. Tetapi apa yang aku lihat disini, Ki Rudita itu mampu membangun sebuah pertahanan yang sangat rapat dan teramat kuat. Tidak pelak lagi, hal ini hanya mampu dilakukan oleh seseorang yang mempunyai hati yang bersih serta keyakinan yang teramat kuat atas sebuah sikap”


Kini ribuan titik-titik biru yang memadat itu mulai berdesakan merapat dan membentuk sebuah bangunan yang melebar dibawah akan tetapi runcing dibagian atasnya. Ia bagaikan sebuah kukusan yang sedang melakukan perangkap penangkapan atas segala sesuatu yang ada di bawahnya agar tidak lolos. Kiai Garda meyakini bahwa energi titik-titik biru yang padat itu tidak hanya berhenti diatas permukaan air, melainkan masuk menembus dan bahkan menghujam didasar kedung sungai seolah hendak memagari seluruh area didalamnya.


Ketika semua mata seolah tidak sempat berkedip menatap ke arah bangunan raksasa berbentuk kukusan dan berwarna biru itu, saat itu Kiai Garda masih sempat melihat betapa secara perlahan-lahan Agung Sedayu mengurai kedua tangannya yang tadi bersedekap didepan dada. Bersamaan dengan turunnya kedua tangan itu, tiba-tiba saja tubuh Agung Sedayu itu terpecah menjadi tiga bagian dan bergeser ke samping kanan dan kiri. Kini telah berdiri tiga orang Agung Sedayu yang ternyata ditangannya masing-masing telah memegang sebuah cambuk berjuntai panjang.


“Ah”, - yang terdengar adalah suara Gilang yang tercekat hatinya ketika melihat tubuh pamannya itu berubah menjadi tiga orang - ,”Ibunda, Paman Agung Sedayu mampu membelah diri”


Pandan Wangi yang mendengar bisikan Gilang itu hanya mengangguk. Matanya tidak lepas dari bayang-bayang hitam laki-laki yang sangat ia kagumi dan pernah menempati sudut hatinya yang terdalam itu. Bahkan hingga kini.


Semua yang mendengar suara Gilang juga tidak ada yang menyahut. Bagi mereka, Agung Sedayu mampu merubah dirinya menjadi tiga orang bukanlah hal yang baru karena mereka sudah pernah menyaksikannya beberapa kali. Yang kemudian mereka lihat adalah dua orang Agung Sedayu itu tiba-tiba melompat atau lebih tepatnya terbang jauh ke seberang sungai.


Sebagaimana diketahui, kedung atau tempuran sungai itu merupakan pertigaan atau pertemuan antara dua arus sungai yang mengalir. Di sebelah kanan dan kiri lereng sungai itu tadinya masih tumbuh subur dua pohon beringin raksasa dan berumur ratusan tahun, akan tetapi kini ternyata sudah gundul akibat pertarungan Agung Sedayu dengan Resi kali Belehan sebelumnya. Sekarang hanya menyisakan batang pohonnya yang sudah hangus dan bahkan tercerabut akarnya sehingga batang itu terlihat miring. Disisi kanan dan kiri pohon beringin inilah kedua sosok tubuh Agung Sedayu itu melompat dan kemudian masing-masing berdiri dalam diam sambil mengamati lubang bekas batang yang tercerabut yang terlihat menganga.


Sementara seorang Agung Sedayu lainnya masih tetap berdiri ditempat semula yaitu beberapa langkah dari Rudita yang sedang duduk diatas tepian sungai berpasir.


Belum lagi getar di dada semua orang reda karena pemandangan yang ada di depannya, tiba-tiba mata mereka melihat adanya percikan-percikan merah yang muncul dari dasar kedung sungai melesat ke udara. Percikan itu tidak terlalu banyak dan berupa semacam bola api yang membara dan mengeluarkan suara mendesis sangat keras, semuanya berjumlah lima buah.


Bola api membara itu terlihat sangat mengerikan karena selain kecepatannya yang tinggi, suara desisan panjang itu seolah ikut menekan seluruh perasaan mereka yang hadir disitu. Tak dapat di hindari lima buah bola api itu pastilah akan menghantam dinding perangkap biru yang sedang dihamparkan Rudita.
Kiai Garda yang menajamkan penglihatan mata hatinya melihat betapa bola api membara itu melesat dengan kecepatan tinggi. Sementara permukaan kedung atau tempuran itu telah dibatasi oleh sebuah bangunan raksasa berwarna kebiruan dan berbentuk kukusan.


Kejadian demi kejadian yang saling susul-menyusul itu seolah tidak sempat membuat mereka yang hadir disitu untuk sejenak menarik nafas. Kini mereka seolah sedang menyaksikan sebuah puncak pertunjukkan yang akan menghentak dada dan perasaan masing-masing.



Salam,

Ries

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...