BALADA
SWANDARU GENI
Bab V: Ajaran Untuk Pulang
Babak – 10
Betapapun
mereka yang hadir disitu berusaha menajamkan pandangannya kearah permukaan
tempuran sungai Belehan itu, tetapi yang mereka lihat hanyalah kilau dan riak
air yang terpantul oleh api yang berasal dari perapian yang mereka buat.
Selebihnya adalah kegelapan.
Tidak
demikian halnya dengan Agung Sedayu dan Kiai Garda, meskipun mata keduanya juga
belum melihat munculnya sesuatu yang aneh dari permukaan kedung atau tempuran
sungai itu, akan tetapi panggraita keduanya memang seolah tersentak akan
munculnya sebuah kekuatan yang sebelumnya sudah mereka kenal, khususnya Agung
Sedayu. Kekuatan yang mengandung aura gelap dan seolah menindih agar akal dan
pikiran seseorang berhenti bergerak dan memindahkan semua gerak itu berdasar
hawa nafsu sesuai pengaruh yang dipancarkan oleh aura gelap tersebut.
“Bagaimana
menurut Kiai”, - suara Agung Sedayu terdengar lirih seolah berbisik.
Kiai Garda
yang mendengar bisikan lirih Agung Sedayu itu tidak langsung menjawab.
Sesungguhnya ia mencoba mempertajam pengenalannya atas suasana malam hari
disekitar sungai ini sambil sekaligus membongkar ingatan dan pengetahuannya
tentang kekuatan gaib yang tidak mampu mereka tangkap dengan mata wadag.
“Ki Agung
Sedayu”, - akhirnya terdengar suara Kiai Garda tidak kalah lirihnya - ,”Aku
pernah mendengar bahwa inti tuah pusaka atau yang biasa juga disebut sebagai
‘yoni’ sebuah pusaka, maka ia mampu mengelabuhi siapapun yang menjadi musuhnya.
Yoni pusaka itu mampu menidurkan dirinya sedemikian sempurna sehingga
keberadaannya bisa luput dari pengamatan orang. Itulah yang banyak terjadi
terutama ketika seseorang berniat melarung sebuah pusaka. Meskipun, secara
fisik mungkin sebuah pusaka telah di larung pada gejolak panas lahar di puncak
gunung berapi, atau di tenggelamkan di tengah samudra terdalam, akan tetapi
terkadang semua yang terlarung itu hanyalah wadah alias pusaka yang kopong
alias tidak berisi lagi. Sementara ‘yoni’ pusaka itu sendiri mampu menyamarkan
dan bahkan melarikan diri dari pengamatan si pelarung. Ia akan tertidur atau
mematikan diri untuk beberapa lama sebelum kemudian bangkit dan bergentayangan
untuk mencari wadah baru baginya. Akan berbeda jika yang melarung itu adalah si
Empu pembuat pusaka tersebut yang pasti sangat paham tentang sifat dan karakter
dari yoni pusaka itu. Agaknya inilah yang sedang kita hadapai, yoni pusaka Resi
Kali Belehan yang tadi sempat mematikan diri itu kini segera bangkit!”
Semua yang
mendengar penjelasan Kiai Garda yang cukup panjang itu menjadi berdebar-debar.
Swandaru yang baru tersadarkan pikirannya maupun Ki Sindupati dan kedua bekas
pembantu pribadi Resi Belehan tidak bersuara, mereka merasa seolah tidak
terlalu mengenal dekat dengan orang yang dulu pernah menjadi majikannya itu.
Agung Sedayu
yang merasa paling bertanggung jawab atas keselamatan semua orang di tepi
sungai Belehan itu terlihat wajahnya menegang. Ia berniat untuk melangkah
mendekat kearah tempuran sungai dan melakukan sesuatu lebih jauh lagi. Akan
tetapi belum sempat ia melangkahkan kakinya untuk maju, gendang telinganya
tiba-tiba saja mendengar suara mendengung pelan sebelum kemudian dengungan itu
hilang dengan cepat dan tergantikan oleh suara jernih Kiai Garda.
“Ki Agung
Sedayu, agaknya kita masih mempunyai sedikit waktu. Sepengetahuanku, bangkitnya
yoni pusaka itu pastilah tepat di tengah malam nanti, sementara kita masih
mempunyai waktu yang cukup panjang. Sebagaimana aku tunjukkan sebelumnya, aku
mempunyai sebuah batu hitam mengkilap yang selama ini selalu ada bersamaku,
akan tetapi aku tidak mampu menggunakannya. Untuk membuka dan membangkitkan
kekuatan dalam batu hitam itu selain hati yang bersih juga diperlukan dukungan
tenaga cadangan yang sangat besar yang dapat mengimbangi gelombang atau getaran
yang terpancar dari dalam batu yang dinamai ‘Soca Ireng’ ini. Aku yakin tenaga
cadangan Ki Agung Sedayu mampu membuka kunci dan menyelaraskannya dengan
getaran yang timbul dari mustika Soca Ireng ini sehingga bisa digunakan untuk
memusnahkan yoni pusaka gelap yang sedang bergentayangan itu”
Meskipun
sebenarnya mereka hanya berdiri bersebelahan, akan tetapi ternyata Kiai Garda
berbicara melalui aji Pameling. Agaknya ia sama sekali tidak ingin ada yang
mendengarkan pembicaraan di antara mereka berdua.
Sambil
menarik nafas dalam-dalam, Agung Sedayu kemudian menjawab kepada Kiai Garda
juga melalui ajian Pameling.
“Baiklah,
jika Kiai berkenan dan mempercayaiku, aku akan mencobanya”
Seolah
berjanji, kedua orang itu segera membalikkan badannya secara bersamaan dan
mengajak semua orang untuk kembali duduk. Tanpa diketahui oleh siapapun, tangan
Kiai Garda terulur cepat mengangsurkan sebuah benda kecil hitam yang agaknya
adalah mustika yang disebut ‘Soca Ireng’ yang
disambut pula oleh Agung Sedayu dengan tidak kalah cepatnya. Tidak ada
seorangpun yang sempat menangkap kejadian itu karena mereka masing-masing
sedang sibuk untuk mengambil tempat duduk masing-masing mengelilingi perapian.
Dalam dada
dan benak orang-orang itu berkecamuk rasa penasaran dan dugaan tentang apa
sebenarnya yang menyebabkan Agung Sedayu dan Kiai Garda nampak terkejut hingga
melompat berdiri, akan tetapi sekarang malah kembali mengajak duduk tanpa
memberi penjelasan lebih lanjut.
Demikianlah,
seolah tidak terjadi sesuatu Kiai Garda kemudian kembali duduk dan bertanya
kepada bekas pembantu Resi Kali Belehan. Kali ini berpindah kepada pembantu
yang kedua yang ternyata bernama Arya Wiryawan.
“Ki sanak,
namamu menunjukkan bahwa kau masih ada keturunan bangsawan. Darimanakah
asalmu?”, - Kiai Garda merasa tertarik dengan asal-usul pembantu kedua Resi
Belehan itu.
Orang itu
terlihat menundukkan kepalanya, seolah merenungi kisah masa lalunya. Setelah
terdiam beberapa saat ia kemudian mengangkat wajahnya dan mulai berbicara
dengan suara lirih.
“Kiai, orangtua-ku
berasal dari pesisir pantai Tuban dan semasa hidup kakekku adalah pembantu dan
orang terdekat dari Adipati Ranggalawe. Hanya saja sejak kecil aku tinggal di
sebuah tempat atau pulau yang terpisah dari Tanah Jawa ini dan bernama
Songenep, dititipkan pada seorang prajurit tua kepercayaan kakek. Menginjak
masa dewasa, aku sengaja meninggalkan Songenep dan menyeberang ke tanah Jawa
ini untuk mencari ayah atau kakekku”
Angin malam
berhembus cukup kencang dan nyala api terlihat menari-nari dan menjilat
beberapa ranting kering yang terkadang di lemparkan oleh Gilang ataupun Ki
Widura.
“Dalam
perjalan mencari kedua orangtua-ku itu Kiai”, - orang yang bernama Arya Wiryawan
itu melanjutkan kisahnya dengan nada dalam -,”Aku bertemu dengan seorang pemuda
yang halus tutur katanya serta memiliki watak yang lurus dan akhirnya menjadi
sahabat dalam perjalanan yang kami lakukan bersama-sama. Pengembaraan itu kami
lakukan dengan sangat lamban karena memang kami tidak dikejar waktu. Kadang-kadang
kami sengaja mampir ke beberapa perguruan untuk menimba ilmu kanuragan serta
menambah pengalaman di puncak ataupun lereng pegunungan. Kami benar-benar
merasa seperti saudara kandung”
“Tetapi
petaka dan pertengkaran itu muncul ketika kami tiba di daerah Ngasem di pesisir
pantai utara. Kami terpikat dan jatuh cinta pada gadis yang sama yang kebetulan
adalah putri seorang Demang. Celakanya ternyata gadis itu menjatuhkan
pilihannya kepada sahabatku itu sehingga aku merasa sangat terpukul. Aku tidak
terima dan bahkan menantangnya untuk berperang tanding, siapa yang kuat, dia-lah
yang akan mendapatkan gadis itu. Dalam sebuah pertarungan antara hidup dan
mati, ternyata aku dikalahkannya, tetapi ia sengaja mengampuni selembar jiwaku
ini. Hanya saja, hal itu justru aku rasakan sebagai penghinaan yang luar biasa
sehingga aku bersumpah akan membalas dendam dan akan menghinakannya didepan
gadis yang kami cintai itu. Untuk itu aku sering berada di tempat sepi dan
wingit agar bisa berlatih dan meningkatkan kemampuan kanuraganku dan dua tahun
setelah itu aku kembali melakukan perang tanding dengan sahabatku itu. Akan
tetapi ternyata hingga tahun ke empat aku selalu saja kalah dan dia tetap tidak
mau membunuhku”
“Saat itu aku
sudah melupakan niat awal untuk mencari kedua orangtuaku, yang ada dibenakku
adalah bagaimana meningkatkan ilmu kanuraganku dan membalas dendam pada sahabat
yang selalu mengalahkan aku itu. Hingga pada suatu ketika aku bertemu dengan
eyang Resi Belehan”
Kiai Garda
mendengarkan cerita bekas pembantu Resi Belehan itu dengan dada yang
berdebaran. Ia melihat ada benang merah yang terhubung antara pembantu Resi
Belehan pertama yang bertubuh jangkung itu dengan pembantu kedua yang ternyata
masih mempunyai keturunan darah bangsawan. Bahwa keduanya digerakkan oleh
alasan yang kurang lebih sama, yaitu kekecewaan karena seorang perempuan dan hancurnya
harga diri karena kalah dalam perang tanding.
Dada Kiai
Garda justru berdetak semakin kencang karenanya, tanpa bisa menahan diri
batinnya bertanya-tanya - ,”Inilah alasannya sehingga Ki Swandaru menjadi
korban penyekapan. Ia juga mempunyai permasalahan yang kurang lebih sama dengan
dua orang ini. Agaknya Resi gila itu mempunyai pola-pola yang sama untuk
merekrut anak buahnya dengan memanfaatkan kekecewaan dan ketidakseimbangannya
nalar akibat rasa dendam dan penyakit hati”
Sementara itu
ketika Kiai Garda sibuk berbicara dengan mereka yang duduk melingkar, Agung
Sedayu terlihat duduk terpekur sambil kadang-kadang memejamkan matanya. Tanpa
sepengetahuan yang lain, sebenarnya Agung Sedayu sedang mencoba untuk mengenali
getaran-getaran yang ada dalam batu mustika Soca Ireng yang ada dalam genggamannya.
Dengan memohon pertolongan Yang Maha Agung ia segera memusatkan segenap
nalar-budinya untuk melakukan penyelarasan. Ternyata tidak terlalu lama ia langsung
bisa mengenali jenis kekuatan yang ada dalam batu mustika itu.
Jenis dan
kekuatan yang ternyata tidak jauh berbeda dengan apa yang selama ini Agung Sedayu
pelajari. Seolah Agung Sedayu adalah jodoh bagi batu mustika tersebut karena seluruh
jenis tenaga dan kekuatan yang terhimpun dalam batu mustika itu memang
diperuntukkan agar bisa ia gunakan dengan tanpa penyelarasan yang terlalu rumit.
Arus tenaga
yang mengalir lembut akan tetapi sangat kuat dan apabila digerakkan akan mampu
menciptakan pusaran angin yang teramat kuat atau bahkan berupa badai. Semua
jenis kekuatan itu sudah dikenali oleh Agung Sedayu dan memang sudah melekat
pada dirinya, hanya saja dengan dorongan dan penyelarasan yang tepat dengan
batu mustika itu, maka kekuatan yang terlontar kemudian pastilah akan mempunyai
daya serang yang berlipat-lipat.
Ketika sudah
meyakini akan keberhasilan penyelarasan itu, Agung Sedayu segera melepas pemusatan
nalar budinya. Masih ada waktu beberapa saat sebelum tengah malam, sementara ia
melihat Kiai Garda masih memberikan beberapa wejangan kepada mereka semua yang
duduk melingkari perapian.
Suasana
malam begitu mencekam oleh desau angin yang menerpa kulit tubuh, sementara
suara-suara malam semakin membuat hati siapapun yang duduk disitu menjadi sama
sekali tidak tentram. Akan tetapi justru hal itulah yang membuat mereka semua
mampu menyerap dan memahami kalimat-kalimat Kiai Garda lebih dalam.
Bagi
Swandaru dan ketiga orang yang pernah menjadi pembantu Resi Kali Belehan itu,
kalimat-kalimat Kiai Garda bagaikan mata pisau yang teramat runcing dan bahkan
tajam pada kedua sisinya. Meskipun tidak menunjuk satu persatu-satu, akan
tetapi semua merasa tertelanjangi sehingga hanya bisa menundukkan kepalanya.
Suasana malam
yang sesungguhnya tidak sunyi itu tiba-tiba dikejutkan oleh suara yang tidak
asing lagi. Menindih suara binatang malam maupun gesekan-gesekan ribut akibat
tertiupnya dahan dan daun oleh angin yang berhembus kencang. Suara itu sama
sekali tidak mengejutkan, ia mengalun lembut akan tetapi menimbulkan pertanyaan
dan rasa penasaran yang teramat besar khususnya di dada Pandan Wangi yang duduk
di sebelah Gilang.
Bahkan tanpa
bisa menahan diri lagi, Pandan Wangi kemudian menegakkan punggungnya dan
menoleh kepada Agung Sedayu dengan mata sedikit terbelalak.
“Kakang
Sedayu, kaukah itu?”, - desisnya meski dalam hati.
Salam,
Ries
No comments:
Post a Comment