Monday, September 11, 2017

BSG - BAB.V. AUP - Babak-10

BALADA SWANDARU GENI
Bab V: Ajaran Untuk Pulang
Babak – 10



Betapapun mereka yang hadir disitu berusaha menajamkan pandangannya kearah permukaan tempuran sungai Belehan itu, tetapi yang mereka lihat hanyalah kilau dan riak air yang terpantul oleh api yang berasal dari perapian yang mereka buat. Selebihnya adalah kegelapan.


Tidak demikian halnya dengan Agung Sedayu dan Kiai Garda, meskipun mata keduanya juga belum melihat munculnya sesuatu yang aneh dari permukaan kedung atau tempuran sungai itu, akan tetapi panggraita keduanya memang seolah tersentak akan munculnya sebuah kekuatan yang sebelumnya sudah mereka kenal, khususnya Agung Sedayu. Kekuatan yang mengandung aura gelap dan seolah menindih agar akal dan pikiran seseorang berhenti bergerak dan memindahkan semua gerak itu berdasar hawa nafsu sesuai pengaruh yang dipancarkan oleh aura gelap tersebut.


“Bagaimana menurut Kiai”, - suara Agung Sedayu terdengar lirih seolah berbisik.


Kiai Garda yang mendengar bisikan lirih Agung Sedayu itu tidak langsung menjawab. Sesungguhnya ia mencoba mempertajam pengenalannya atas suasana malam hari disekitar sungai ini sambil sekaligus membongkar ingatan dan pengetahuannya tentang kekuatan gaib yang tidak mampu mereka tangkap dengan mata wadag.


“Ki Agung Sedayu”, - akhirnya terdengar suara Kiai Garda tidak kalah lirihnya - ,”Aku pernah mendengar bahwa inti tuah pusaka atau yang biasa juga disebut sebagai ‘yoni’ sebuah pusaka, maka ia mampu mengelabuhi siapapun yang menjadi musuhnya. Yoni pusaka itu mampu menidurkan dirinya sedemikian sempurna sehingga keberadaannya bisa luput dari pengamatan orang. Itulah yang banyak terjadi terutama ketika seseorang berniat melarung sebuah pusaka. Meskipun, secara fisik mungkin sebuah pusaka telah di larung pada gejolak panas lahar di puncak gunung berapi, atau di tenggelamkan di tengah samudra terdalam, akan tetapi terkadang semua yang terlarung itu hanyalah wadah alias pusaka yang kopong alias tidak berisi lagi. Sementara ‘yoni’ pusaka itu sendiri mampu menyamarkan dan bahkan melarikan diri dari pengamatan si pelarung. Ia akan tertidur atau mematikan diri untuk beberapa lama sebelum kemudian bangkit dan bergentayangan untuk mencari wadah baru baginya. Akan berbeda jika yang melarung itu adalah si Empu pembuat pusaka tersebut yang pasti sangat paham tentang sifat dan karakter dari yoni pusaka itu. Agaknya inilah yang sedang kita hadapai, yoni pusaka Resi Kali Belehan yang tadi sempat mematikan diri itu kini segera bangkit!”


Semua yang mendengar penjelasan Kiai Garda yang cukup panjang itu menjadi berdebar-debar. Swandaru yang baru tersadarkan pikirannya maupun Ki Sindupati dan kedua bekas pembantu pribadi Resi Belehan tidak bersuara, mereka merasa seolah tidak terlalu mengenal dekat dengan orang yang dulu pernah menjadi majikannya itu.


Agung Sedayu yang merasa paling bertanggung jawab atas keselamatan semua orang di tepi sungai Belehan itu terlihat wajahnya menegang. Ia berniat untuk melangkah mendekat kearah tempuran sungai dan melakukan sesuatu lebih jauh lagi. Akan tetapi belum sempat ia melangkahkan kakinya untuk maju, gendang telinganya tiba-tiba saja mendengar suara mendengung pelan sebelum kemudian dengungan itu hilang dengan cepat dan tergantikan oleh suara jernih Kiai Garda.


“Ki Agung Sedayu, agaknya kita masih mempunyai sedikit waktu. Sepengetahuanku, bangkitnya yoni pusaka itu pastilah tepat di tengah malam nanti, sementara kita masih mempunyai waktu yang cukup panjang. Sebagaimana aku tunjukkan sebelumnya, aku mempunyai sebuah batu hitam mengkilap yang selama ini selalu ada bersamaku, akan tetapi aku tidak mampu menggunakannya. Untuk membuka dan membangkitkan kekuatan dalam batu hitam itu selain hati yang bersih juga diperlukan dukungan tenaga cadangan yang sangat besar yang dapat mengimbangi gelombang atau getaran yang terpancar dari dalam batu yang dinamai ‘Soca Ireng’ ini. Aku yakin tenaga cadangan Ki Agung Sedayu mampu membuka kunci dan menyelaraskannya dengan getaran yang timbul dari mustika Soca Ireng ini sehingga bisa digunakan untuk memusnahkan yoni pusaka gelap yang sedang bergentayangan itu”


Meskipun sebenarnya mereka hanya berdiri bersebelahan, akan tetapi ternyata Kiai Garda berbicara melalui aji Pameling. Agaknya ia sama sekali tidak ingin ada yang mendengarkan pembicaraan di antara mereka berdua.


Sambil menarik nafas dalam-dalam, Agung Sedayu kemudian menjawab kepada Kiai Garda juga melalui ajian Pameling.


“Baiklah, jika Kiai berkenan dan mempercayaiku, aku akan mencobanya”


Seolah berjanji, kedua orang itu segera membalikkan badannya secara bersamaan dan mengajak semua orang untuk kembali duduk. Tanpa diketahui oleh siapapun, tangan Kiai Garda terulur cepat mengangsurkan sebuah benda kecil hitam yang agaknya adalah mustika yang disebut ‘Soca Ireng’ yang  disambut pula oleh Agung Sedayu dengan tidak kalah cepatnya. Tidak ada seorangpun yang sempat menangkap kejadian itu karena mereka masing-masing sedang sibuk untuk mengambil tempat duduk masing-masing mengelilingi perapian.


Dalam dada dan benak orang-orang itu berkecamuk rasa penasaran dan dugaan tentang apa sebenarnya yang menyebabkan Agung Sedayu dan Kiai Garda nampak terkejut hingga melompat berdiri, akan tetapi sekarang malah kembali mengajak duduk tanpa memberi penjelasan lebih lanjut.


Demikianlah, seolah tidak terjadi sesuatu Kiai Garda kemudian kembali duduk dan bertanya kepada bekas pembantu Resi Kali Belehan. Kali ini berpindah kepada pembantu yang kedua yang ternyata bernama Arya Wiryawan.

“Ki sanak, namamu menunjukkan bahwa kau masih ada keturunan bangsawan. Darimanakah asalmu?”, - Kiai Garda merasa tertarik dengan asal-usul pembantu kedua Resi Belehan itu.


Orang itu terlihat menundukkan kepalanya, seolah merenungi kisah masa lalunya. Setelah terdiam beberapa saat ia kemudian mengangkat wajahnya dan mulai berbicara dengan suara lirih.


“Kiai, orangtua-ku berasal dari pesisir pantai Tuban dan semasa hidup kakekku adalah pembantu dan orang terdekat dari Adipati Ranggalawe. Hanya saja sejak kecil aku tinggal di sebuah tempat atau pulau yang terpisah dari Tanah Jawa ini dan bernama Songenep, dititipkan pada seorang prajurit tua kepercayaan kakek. Menginjak masa dewasa, aku sengaja meninggalkan Songenep dan menyeberang ke tanah Jawa ini untuk mencari ayah atau kakekku”


Angin malam berhembus cukup kencang dan nyala api terlihat menari-nari dan menjilat beberapa ranting kering yang terkadang di lemparkan oleh Gilang ataupun Ki Widura.


“Dalam perjalan mencari kedua orangtua-ku itu Kiai”, - orang yang bernama Arya Wiryawan itu melanjutkan kisahnya dengan nada dalam -,”Aku bertemu dengan seorang pemuda yang halus tutur katanya serta memiliki watak yang lurus dan akhirnya menjadi sahabat dalam perjalanan yang kami lakukan bersama-sama. Pengembaraan itu kami lakukan dengan sangat lamban karena memang kami tidak dikejar waktu. Kadang-kadang kami sengaja mampir ke beberapa perguruan untuk menimba ilmu kanuragan serta menambah pengalaman di puncak ataupun lereng pegunungan. Kami benar-benar merasa seperti saudara kandung”


“Tetapi petaka dan pertengkaran itu muncul ketika kami tiba di daerah Ngasem di pesisir pantai utara. Kami terpikat dan jatuh cinta pada gadis yang sama yang kebetulan adalah putri seorang Demang. Celakanya ternyata gadis itu menjatuhkan pilihannya kepada sahabatku itu sehingga aku merasa sangat terpukul. Aku tidak terima dan bahkan menantangnya untuk berperang tanding, siapa yang kuat, dia-lah yang akan mendapatkan gadis itu. Dalam sebuah pertarungan antara hidup dan mati, ternyata aku dikalahkannya, tetapi ia sengaja mengampuni selembar jiwaku ini. Hanya saja, hal itu justru aku rasakan sebagai penghinaan yang luar biasa sehingga aku bersumpah akan membalas dendam dan akan menghinakannya didepan gadis yang kami cintai itu. Untuk itu aku sering berada di tempat sepi dan wingit agar bisa berlatih dan meningkatkan kemampuan kanuraganku dan dua tahun setelah itu aku kembali melakukan perang tanding dengan sahabatku itu. Akan tetapi ternyata hingga tahun ke empat aku selalu saja kalah dan dia tetap tidak mau membunuhku”


“Saat itu aku sudah melupakan niat awal untuk mencari kedua orangtuaku, yang ada dibenakku adalah bagaimana meningkatkan ilmu kanuraganku dan membalas dendam pada sahabat yang selalu mengalahkan aku itu. Hingga pada suatu ketika aku bertemu dengan eyang Resi Belehan”



Kiai Garda mendengarkan cerita bekas pembantu Resi Belehan itu dengan dada yang berdebaran. Ia melihat ada benang merah yang terhubung antara pembantu Resi Belehan pertama yang bertubuh jangkung itu dengan pembantu kedua yang ternyata masih mempunyai keturunan darah bangsawan. Bahwa keduanya digerakkan oleh alasan yang kurang lebih sama, yaitu kekecewaan karena seorang perempuan dan hancurnya harga diri karena kalah dalam perang tanding.


Dada Kiai Garda justru berdetak semakin kencang karenanya, tanpa bisa menahan diri batinnya bertanya-tanya - ,”Inilah alasannya sehingga Ki Swandaru menjadi korban penyekapan. Ia juga mempunyai permasalahan yang kurang lebih sama dengan dua orang ini. Agaknya Resi gila itu mempunyai pola-pola yang sama untuk merekrut anak buahnya dengan memanfaatkan kekecewaan dan ketidakseimbangannya nalar akibat rasa dendam dan penyakit hati”


Sementara itu ketika Kiai Garda sibuk berbicara dengan mereka yang duduk melingkar, Agung Sedayu terlihat duduk terpekur sambil kadang-kadang memejamkan matanya. Tanpa sepengetahuan yang lain, sebenarnya Agung Sedayu sedang mencoba untuk mengenali getaran-getaran yang ada dalam batu mustika Soca Ireng yang ada dalam genggamannya. Dengan memohon pertolongan Yang Maha Agung ia segera memusatkan segenap nalar-budinya untuk melakukan penyelarasan. Ternyata tidak terlalu lama ia langsung bisa mengenali jenis kekuatan yang ada dalam batu mustika itu.


Jenis dan kekuatan yang ternyata tidak jauh berbeda dengan apa yang selama ini Agung Sedayu pelajari. Seolah Agung Sedayu adalah jodoh bagi batu mustika tersebut karena seluruh jenis tenaga dan kekuatan yang terhimpun dalam batu mustika itu memang diperuntukkan agar bisa ia gunakan dengan tanpa penyelarasan yang terlalu rumit.


Arus tenaga yang mengalir lembut akan tetapi sangat kuat dan apabila digerakkan akan mampu menciptakan pusaran angin yang teramat kuat atau bahkan berupa badai. Semua jenis kekuatan itu sudah dikenali oleh Agung Sedayu dan memang sudah melekat pada dirinya, hanya saja dengan dorongan dan penyelarasan yang tepat dengan batu mustika itu, maka kekuatan yang terlontar kemudian pastilah akan mempunyai daya serang yang berlipat-lipat.


Ketika sudah meyakini akan keberhasilan penyelarasan itu, Agung Sedayu segera melepas pemusatan nalar budinya. Masih ada waktu beberapa saat sebelum tengah malam, sementara ia melihat Kiai Garda masih memberikan beberapa wejangan kepada mereka semua yang duduk melingkari perapian.


Suasana malam begitu mencekam oleh desau angin yang menerpa kulit tubuh, sementara suara-suara malam semakin membuat hati siapapun yang duduk disitu menjadi sama sekali tidak tentram. Akan tetapi justru hal itulah yang membuat mereka semua mampu menyerap dan memahami kalimat-kalimat Kiai Garda lebih dalam.


Bagi Swandaru dan ketiga orang yang pernah menjadi pembantu Resi Kali Belehan itu, kalimat-kalimat Kiai Garda bagaikan mata pisau yang teramat runcing dan bahkan tajam pada kedua sisinya. Meskipun tidak menunjuk satu persatu-satu, akan tetapi semua merasa tertelanjangi sehingga hanya bisa menundukkan kepalanya.


Suasana malam yang sesungguhnya tidak sunyi itu tiba-tiba dikejutkan oleh suara yang tidak asing lagi. Menindih suara binatang malam maupun gesekan-gesekan ribut akibat tertiupnya dahan dan daun oleh angin yang berhembus kencang. Suara itu sama sekali tidak mengejutkan, ia mengalun lembut akan tetapi menimbulkan pertanyaan dan rasa penasaran yang teramat besar khususnya di dada Pandan Wangi yang duduk di sebelah Gilang.


Bahkan tanpa bisa menahan diri lagi, Pandan Wangi kemudian menegakkan punggungnya dan menoleh kepada Agung Sedayu dengan mata sedikit terbelalak.


“Kakang Sedayu, kaukah itu?”, - desisnya meski dalam hati.


Salam,

Ries

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...