BALADA
SWANDARU GENI
Bab V: Ajaran Untuk Pulang
Babak – 12
Pandan Wangi
terkejut dan sedikit bertanya-tanya dalam hati ketika Agung Sedayu memanggil
namanya. Tetapi segera dibuangnya semua pikiran yang tidak pada tempatnya itu
ketika dilihatnya wajah Agung Sedayu yang sedemikian bersungguh-sungguh itu sedang
merangkul pundak Gilang yang memang berdiri di sebelah kiri-nya. Sementara di
sebelah kanan Agung Sedayu, telah berdiri suaminya, Swandaru yang pelan-pelan
kesadaran sudah mulai utuh kembali.
Segera
Pandan Wangi bergabung dengan suami dan anaknya, sementara Kiai Garda sendiri
juga ikut mendekat dan mendengar apa yang akan dikatakan murid tertua Kiai
Gringsing itu.
Sebenarnyalah
dalam waktu yang teramat singkat dan mepet, Agung Sedayu sempat berbicara
dengan Kiai Garda tentang kemungkinan-kemungkinan terburuk yang mungkin akan
mereka hadapi. Panggraitanya yang tajam seolah melihat adanya sebuah bahaya yang
mengancam dan karena itu ia memutuskan untuk berterus terang kepada semuanya
agar bersiap menghadapi apapun yang terjadi nanti.
“Adi
Swandaru dan kau Wangi, tengah malam ini mungkin akan ada sebuah kejadian yang
benar-benar membutuhkan perhatian kita semua. Aku memang meyakini bahwa Yoni
pusaka yang ber-aura gelap itu akan segera bangkit dan mencari wadah baru untuk
menyebarkan pengaruh hitamnya ke segenap manusia dan pengikutnya”, - Agung Sedayu
berhenti sejenak dan sengaja menurunkan suaranya lebih perlahan seolah berbisik
- ,”Adalah sama sekali diluar dugaanku bahwa Gilang agaknya akan terlibat
sangat jauh dalam masalah ini. Tadinya aku mengajak Gilang dengan alasan bahwa
kemampuan bidiknya yang tinggi itu akan sangat membantu kita dalam membebaskan
adi Swandaru. Juga ini tentu memberi pengalaman yang sangat berharga bagi
Gilang untuk masa depannya. Akan tetapi ternyata bawah kini ada sesuatu yang
memerlukan perhatian kita dengan sungguh-sungguh terkait dengan keselamatan
Gilang”
Dada Swandaru
dan Pandan Wangi menjadi berdebar-debar, keduanya masih belum menangkap maksud
perkataan Agung Sedayu. Sementara sambil menepuk pundak Gilang yang berdiri
disebelahnya, Agung Sedayu itu berkata.
“Gilang,
meskipun umurmu masih bocah, akan tetapi kau bukanlah anak biasa. Mungkin saja
kau akan heran dengan semua kejadian yang telah dan akan kau lihat nanti, akan
tetapi janganlah takut, ada kedua orangtuamu dan juga aku dan kita semua disini
yang akan melindungimu”, - Agung Sedayu berhenti sebentar lalu ia menoleh
kepada Kiai Garda -,”Sebaiknya Kiai saja yang menjelaskan agar semua yang ada
disini bisa bersiap dan menyadari kemungkinan apa saja yang akan kita hadapi,
khususnya terhadap Gilang”
Swandaru
yang sedari tadi mendengar perkataan Agung Sedayu menjadi semakin
berdebar-debar, bahkan kemudian keluar pula pertanyaan yang didasari oleh rasa
kuatir yang besar -,“Sebenarnya ada kemungkinan apakah terhadap Gilang, Kiai?”
Kiai Garda
yang diserahi tugas untuk menjelaskan situasi yang mereka hadapi terlihat
menelan ludahnya terlebih dahulu sebelum mulai berbicara.
Mereka semua
terlihat berkumpul mendekat terutama Ki Widura dan Sekar Mirah, sementara Agung
Sedayu justru melangkah agak mundur dan berdiri di dekat Rudita yang memandang kearah
permukaan tempuran sungai Belehan itu.
“Ki Swandaru
dan semuanya”, - terdengar Kiai Garda memulai kalimatnya - ,”Sesungguhnya ini
masih berdasarkan pengetahuanku yang dangkal dan juga berdasar panggraita yang
sangat tajam dari Ki Agung Sedayu. Bahwa Yoni sebuah pusaka, biasanya ditangkap
dan ditanam oleh pembuatnya yang pastilah seorang Mpu yang memiliki kemampuan sangat
tinggi disertai laku ritual yang sangat rumit alias tidak gampang. Berdasarkan
sifatnya, maka Mpu pembuat keris itu mampu menyesuaikan pula dengan bahan dasar
dari pusaka yang mewadahi Yoni tersebut, yang biasanya terbuat dari besi murni
yang sangat keras akan tetapi juga mudah dibentuk. Sekeras-kerasnya sebuah besi
pilihan, akan tetapi di tangan seorang Mpu pembuat keris, ia mampu membentuk
pusaka itu dengan sangat mudah. Ibaratnya, dengan mengenali sifat dasar dari
bahan yang akan menjadi pusaka, lalu menyelaraskannya dengan Yoni yang akan
mewadahi pusaka tersebut, maka seorang Mpu akan mampu membentuk sebilah keris
dengan hanya memijat-mijat besi pilihan itu dengan jemarinya. Jadi ini tentang
sifat dari bahan dasar sebilah pusaka, yaitu sesuatu yang murni alias pilihan
yang juga mudah dibentuk”
Kiai Garda
berhenti sebentar sebelum kemudian melanjutkan kalimatnya.
“Masalahnya
sekarang adalah Mpu pembuat keris itu sudah tidak ada dan Yoni pusaka itu telah
terlepas dari wadah aslinya. Ia sekarang bergentayangan mencari wadah baru yang
tidak selalu sesuai dengan sifatnya karena tidak ada tahapan penyelarasan.
Tidak ada yang bisa melakukan penyelarasan sifat Yoni dengan sifat wadah atau
pusaka tersebut selain Mpu yang membuatnya”
Semua yang
mendengar penjelasan Kiai Garda itu semakin diliputi perasaan tegang. Meskipun
Kiai Garda sudah berbicara cukup panjang, akan tetapi mereka belum bisa
menangkap sepenuhnya tentang penjelasan itu kaitannya dengan Gilang.
Kiai Garda
yang juga memahami rasa penasaran dihati semua orang itu akhirnya berkata
dengan suara yang lirih tetapi bernada berat.
“Ketahuilah,
sifat-sifat untuk mewadahi Yoni sebuah pusaka itu ada semua pada Gilang. Ia
masih bocah karena belum pernah menikah atau berhubungan badan dengan lawan
jenis. Gilang masih sangat murni. Gilang juga mempunyai tulang yang sangat baik
dan dalam usianya yang masih bocah ini ia telah memiliki kemampuan yang
mengagumkan, maka Gilang adalah bocah pilihan. Yoni pusaka itu harus menemukan
wadahnya sebelum fajar, dan di sekitar daerah ini tidak ada calon wadah Yoni
itu yang lebih cocok selain Gilang!”
Bagi
Swandaru dan Pandan Wangi, penjelasan Kiai Garda yang cukup gamblang meski diucapkan
dengan suara pelan itu terdengar bagaikan petir yang menyambar di langit. Sebagai
orangtua, adalah sangat menakutkan dan mengkhawatirkan ketika anak laki
satu-satunya ternyata justru menjadi incaran dari sesuatu yang sangat
menakutkan dan bahkan mereka sama sekali belum kenali. Bahwa sesuatu yang
menakutkan itu adalah sebuah kekuatan hitam yang selama ini bersarang dan
mendiami tubuh seorang yang mereka sebut Resi Kali Belehan.
“Tetapi Kiai”,
- suara Swandaru terdengar terbata-bata -,”Kalau memang syarat wadah Yoni itu
adalah sifat-sifat murni dari seseorang, bagaimana mungkin Yoni itu tadinya
bersarang pada Resi Kali Belehan? Bukankah Resi itu sudah sangat tua dan
pastilah bukan seorang perjaka”
Kiai Garda
terlihat menggelengkan kepalanya dan mencoba menjawab pertanyaan Swandaru itu
dengan hati-hati.
“Ki
Swandaru, yang aku uraikan tadi adalah syarat dasar dan tahapan dalam penanaman
sebuah Yoni kedalam wadahnya. Sudah tentu ada cara lain yang sesungguhnya
sangat tidak wajar dan terkadang bahkan bersifat pemaksaan atau adanya upaya saling
tawar menawar. Aku menduga, bahwa Resi Belehan yang haus akan ilmu kesaktian
itu melakukan sebuah tahapan penawaran agar Yoni pusaka itu mengendap ke dalam
dirinya. Bisa saja penawaran itu berbentuk sebuah tumbal atau sebuah upacara
persembahan yang mengambil darah anak-anak perawan atau yang lainnya”, - Kia
Garda berhenti sejenak, sebenarnya ada keinginannya untuk menanyakan hal ini
kepada bekas pembantu Resi Belehan, akan tetapi ia batalkan dan melanjutkan
kalimatnya -,”Hanya saja kita tidak akan membahasnya sekarang, waktu kita tidak
banyak karena sebentar lagi sudah ngancik tengah malam. Kita semua harus
bersiap-siap sekarang”
Kalimat Kiai
Garda itu seolah-olah menjadi aba-aba bagi semua orang yang ada disitu. Tanpa
sesadarnya, mereka menempatkan Gilang di tengah-tengah. Swandaru dan Pandan
Wangi berdiri agak di depan Gilang, sementara Ki Widura dan Sekar Mirah berdiri sedikit dibelakangnya.
“Gilang, aku
percaya kau akan mampu melindungi dirimu sendiri. Apalagi disini banyak saudara
kita yang akan membantu dan melindungimu. Bukankah potongan bambu kuning itu
masih ada padamu”, - Kiai Garda mencoba menenangkan Gilang.
Tidak
disangka-sangka Gilang justru tersenyum, wajahnya sama sekali tidak menampakkan
rasa takut. Sambil menunjukkan potongan bambu kuning kecial ia menjawab -,”Ya
paman Garda, aku sama sekali tidak takut. Potongan bambu itu juga masih ada
padaku”
Kiai Garda
tersenyum, sementara Swandaru dan Pandan Wangi justru sedang mengelap peluh di
dahi mereka. Agak maju ke depan, ternyata Ki Sindupati dan kedua pembantu utama
Resi Kali Belehan berdiri tegak dibelakang Agung Sedayu dan Rudita.
Sesungguhnya mereka bertiga masih tidak tahu apa yang harus mereka lakukan,
akan tetapi bahwa perkembangan yang terjadi ini mau tidak mau telah menuntun
nalar mereka untuk berpikir dan menilai perkembangan yang terjadi.
Demikianlah,
perapian sengaja dimatikan. Menjelang tengah malam, kegelapan semakin pekat
menyelimuti tepian sungai. Anehnya angin seolah telah berhenti berhembus, binatang
malam yang biasanya berisik juga berhenti sama sekali seolah mereka telah
dibungkam oleh sebuah kekuatan yang membuat mulut mereka berkerut.
Suasana
malam begitu mencekam, sejauh mata memandang hanya bayang-bayang hitam yang
bisa mereka tangkap. Mereka mencoba melipatgandakan semua bekal yang selama ini
telah mereka miliki, ajian Sapta Pandulu, Sapta Pangganda dan terutama Sapta
Panggraita.
Saat itulah semua
mata melihat bayangan Agung Sedayu dan Rudita melangkah maju beberapa tindak
dan berhenti sekitar tiga tombak di tepian sungai, dekat dengan pusat kedung
atau tempuran Kali Belehan itu. Keduanya berdiri tegak seolah merupakan dua
buah patung dengan kedua tangan yang terlipat di dada masing-masing.
Malam
benar-benar terasa sangat sepi, angin sama sekali tidak berhembus, rasa dingin
tengah malam justru tergantikan hawa panas yang keluar dari ketegangan hati
masing-masing. Mereka semua seolah sedang menyelaraskan tarikan nafas dengan
detak jantung masing-masing yang terdengar cukup keras di hati dan perasaan.
Salam.
Ries
No comments:
Post a Comment