BALADA
SWANDARU GENI
Bab V: Ajaran Untuk Pulang
Babak – 14
Mata wadag
dan terlebih mata hati Kiai Garda segera melihat dengan jelas lima buah bola
api kemerahan yang melesat ndedeg ke atas dengan kecepatan yang sangat tinggi.
Tanpa terhindarkan, lima bola api itu pasti akan membentur dinding biru berbentuk
kukusan yang terdiri dari ribuan titik atau lebih tepatnya ribuan gelembung
energi yang sengaja di pasang oleh Rudita.
Kiai Garda
tidak dapat membayangkan betapa akan dahsyat sekali benturan yang akan terjadi.
Tanpa sadar seluruh urat syarafnya menjadi tegang dan matanya tanpa kedip
menatap benturan yang akan terjadi itu.
Saat itulah
Kiai Garda kembali membelalakkan matanya dan benaknya benar-benar dipenuhi rasa
heran dan tanda tanya yang sangat besar. Tidak seperti bayangannya, benturan
itu ternyata tidak menimbulkan ledakan yang dahsyat yang diiringi pecahnya bola
api kemerahan dan berhamburannya dinding rapat kebiruan. Benturan itu ternyata
hanya memperdengarkan letupan pelan beberapa kali dan bola api kemerahan itu
terpental baik turun ke bawah. Ini tak ubahnya sebuah bola yang dilemparkan
dengan sangat keras, kemudian membentur dinding lunak yang terbuat dari bahan
karet sehingga bola itu justru mental kembali. Sama sekali tidak ada suara
ledakan karena benturan, juga tidak ada yang pecah berhamburan.
“Ah, sungguh
mengagumkan!”, - tiba-tiba saja Kiai Garda berseru seolah-olah baru tersadarkan
- ,”Itulah ilmu pertahanan dalam tataran puncak. Semua yang bersifat keras
mampu di ubahnya menjadi sangat lunak sehingga benturan itu tidak terlalu
berakibat fatal pada kedua belah pihak”
Akan tetapi
baru saja Kiai Garda menyadari terjadinya tahapan benturan itu, tiba-tiba mereka
yang berdiri ditepian sungai itu merasakan berhembusnya udara panas yang
menerpa kulit tubuh mereka semua. Agaknya meskipun benturan itu tidak langsung
berdampak pada kerusakan bola api maupun dinding kukusan biru itu, akan tetapi
hawa panas yang ditimbulkan masih bocor dan menyebar ke seluruh area.
“Mundur,
kita harus menjauh beberapa langkah ke belakang”
Kiai Garda
memberi aba-aba kepada semua yang hadir disitu dan ia sendiri mengawalinya
dengan mundur beberapa langkah ke belakang. Tanpa ada yang membantah mereka
semua bergerak mundur bahkan dalam jarak yang cukup jauh karena udara panas itu
memang menyebar dan cukup menyengat.
Sementara
itu, dua orang Agung Sedayu yang masing-masing berdiri di lubang menganga bekas
batang pohon beringin raksasa itu terlihat melipat kedua tangannya di depan
dada atau bersedekap. Tubuhnya berdiri tegak sementara sambil menarik nafas
halus, sesungguhnya kedua Agung Sedayu saat itu sedang mengetrapkan salah satu
ilmu andalannya. Dengan keyakinan yang tinggi, panggraita Agung Sedayu mampu
melihat bahwa kedua lubang menganga bekas pohon beringin raksasa ini merupakan
jalur yang sudah sangat dikenal atau bahkan sering dilintasi oleh Yoni pusaka
itu selain dasar dan permukaan kedung. Ia menduga bahwa dibawah pohon beringin
ini, Resi Kali Belehan sering mengadakan semacam upacara persembahan sehingga
aura yang tertangkap disekitar pohon beringin itu terasa begitu gelap dan kuat.
Karena itu
Agung Sedayu mengambil keputusan cepat untuk dapat melemahkan aura Yoni
tersebut. Disaat Rudita mampu menyebar dinding perangkap untuk mencegah larinya
Yoni tersebut, maka Agung Sedayu segera menutup dua lubang yang memungkinkan dipakai
sebagai jalur lolos. Tanpa ada keraguan sedikitpun, Agung Sedayu segera memohon
perlindungan kepada Yang Maha Agung sambil melepaskan salah satu ilmu puncaknya
melalui kedua matanya.
“Meskipun
selama ini aku lebih banyak menyerang benda yang nampak dimata wadag, akan
tetapi aku meyakini bahwa remasan Netra Dahana ini akan berdampak lebih luas
jika sasarannya adalah benda-benda yang tidak nampak. Apalagi pada sesuatu yang
mengeluarkan aura atau energi hitam sebagaimana Yoni pusaka ini. Paling tidak,
hawa panas ini akan membakar apapun yang ada di lajur ini hingga ke dasar
kedung”, - Agung Sedayu masih sempat membuat beberapa pertimbangan sebelum
kemudian bertindak.
Dari kedua
matanya, dua Agung Sedayu yang ada diseberang sungai dan masing-masing berdiri
menghadapi lubang manganga bekas batang pohon beringin itu kini terlihat cahaya
merah kekuningan yang melesat cepat masuk ke dalam lubang dan menyusuri jalur
lubang itu sejauh mungkin. Akar-akar pohon yang sudah rusak itu semakin hangus
dan hancur sementara kekuatan itu terus bergerak mengaduk-aduk apapun yang
dilewatinya.
Demikianlah,
dalam waktu yang hampir bersamaan, tiba-tiba saja udara disekitar sungai itu meningkat
menjadi panas luar biasa. Panas yang muncul dari aura yoni pusaka yang memang
berwarna merah kehitaman, berbenturan dengan energi gelembung biru yang meskipun
hanya mempunyai sifat pertahanan akan tetapi ternyata juga memunculkan hawa
panas yang tidak kalah menyengat sehingga semua yang ada di dalam bangunan
berbentuk kukusan itu terasa seperti dibakar. Sedangkan ajian yang keluar dari
sinar mata Agung Sedayu yang mengandung sejuta remasan sebenarnya juga beralaskan
pada hawa panas yang kini tersalur dan merambat ke jalur-jalur untuk menutup
kemungkinan dilewatinya Yoni pusaka tersebut.
Sekali lagi,
mereka yang ada di tepian sungai itu terpaksa melangkah mundur beberapa tindak
lagi untuk menghindari dan mengurangi udara panas yang meningkat dengan sangat
cepat. Mata Kiai Garda masih bisa menangkap betapa permukaan air sungai itu
tiba-tiba saja beriak dan bergolak dengan cepat. Terlebih permukaan air yang
ada di dalam perangkap kukusan biru itu kini bergejolak dengan dahsyatnya
bagaikan air mendidih. Terlihat gelembung-gelembung air yang mulai membumbung ke
atas disertai asap tipis akibat udara panas yang tercipta di dalam perangkap
kukusan itu.
Sementara
itu lima bola api membara yang terperangkap di dalam ruang kukusan itu terlihat
berputar-putar dan membentur dinding biru tak tentu arah. Agaknya bola itu
tidak mampu kembali masuk ke dasar kedung karena tersumbatnya jalur yang akan
dilaluinya disertai munculnya permukaan air yang tiba-tiba saja mendidih dengan
cepatnya. Agung Sedayu benar-benar berhasil menyumbat jalur alternative bagi
Yoni tersebut agar tidak lolos dan bahkan semakin membuat suhu air di dalam
ruang kukusan itu menjadi sangat panas.
Terdengar
suara meletup-letup layaknya air yang mendidih ketika dimasak dalam kuali
raksasa dan kini disertai uap putih yang
naik ke udara.
“Ini tidak
ubahnya bagaikan lahar buatan yang sangat cocok untuk melarung sebuah pusaka”,
- tanpa sadar Kiai Garda berdesis.
Bukan main
tegangnya semua yang ada di tepian sungai malam itu, disaat yang sama sebuah
rasa kekaguman menyelinap dalam hati masing-masing. Swandaru yang hatinya
sebenarnya sudah mulai sumeleh benar-benar lebih terbuka mata hatinya ketika
melihat Agung Sedayu yang juga kakak seperguruannya itu mengerahkan puncak-puncak
ilmu pamungkasnya, dan itu semua berawal dari niat untuk menyelamatkan dirinya.
Bahkan Rudita yang dulu merupakan anak cengeng dan sama sekali tidak mengenal
ilmu kanuragan itu kini telah berkembang menjadi pribadi yang teramat matang
dengan ilmu linuwih yang tidak terjangkau nalar.
Sementara
disebelah Swandaru, istrinya, Pandan
Wangi berdiri bagaikan membeku. Kekhawatiran yang sangat telah melanda hatinya,
ia seolah sedang melihat dua orang yang pernah dekat dengan dirinya itu sedang
berjuang mati-matian sementara ia sendiri hanya bisa terdiam tanpa bisa berbuat
sesuatu. Rudita yang dulu merupakan pribadi yang cengeng dan masih mempunyai
hubungan kerabat dengan keluarganya itu pernah dekat sekali dengan dirinya
semasa muda. Bukan dekat dalam pengertian rasa hati yang tertaut, melainkan rasa
gemas, kasihan dan bahkan rasa jengkel yang bergelora sehingga ingin rasanya
waktu itu ia memberi hajaran pada pemuda cengeng itu. Akan tetapi kini Rudita
justru sedang bertarung untuk kepentingan semuanya, khususnya untuk diri dan
keluarganya.
Sementara yang seorang lagi merupakan laki-laki yang terkadang membuat hatinya begitu lelah. Ia pernah menggantungkan harapannya kepada laki-laki itu, ia juga pernah merasakan bahwa harapannya itu tidak akan bertepuk sebelah tangan. Akan tetapi garis kehidupan ternyata telah menuntun mereka untuk hidup dengan saling beriringan meskipun bukan sebagai pasangan hidup. Garis kehidupan ternyata telah menorehkan jalinan rasa itu di dalam hati masing-masing sehingga yang nampak adalah rasa saling mengasihi atas semua keadaan dan kebahagiaan masing-masing. Bahwa rasa yang tertaut itu tidak selalu harus diwujudkan sebagai pasangan suami-istri.
Bahwa apapun
yang sedang dihadapi oleh masing-masing, maka sebenarnya mereka ikut merasakan
dan berusaha untuk menghibur dan memberi penyelesaian atas masalah itu.
Tiba-tiba
Pandan Wangi terperanjat dan terpaksa memotong angan-angannya ketika dilihatnya
sebuah kejadian yang membuat semua mata yang hadir disitu terbelalak.
Lima buah
bola api membara yang terperangkap di dalam bangunan kukusan biru itu tiba-tiba
saja mengeluarkan desisan keras dan menakutkan. Agaknya suhu panas yang
meningkat dengan sangat cepat itu telah membuat masing-masing bola api membara
itu bergerak tidak beraturan dan berkali-kali melesat cepat dan membentur
dinding-dinding kebiruan yang berupa perangkap itu. Tak pelak bola-bola api itu
kembali terpental bolak-balik, lalu kembali melakukan gerakan berulang-ulang
dengan suara desisan yang semakin keras.
Bangunan
kukusan yang terdiri dari gelembung energi kebiruan itu terlihat mulai berguncang.
Agaknya benturan-benturan dari kelima bola api membara yang secara terus
menerus tiada henti itu memberi tekanan yang cukup kuat sehingga bangunan
kukusan itu bergoncang semakin keras.
Bahkan pada
puncaknya, mata hati Kiai Garda yang jeli segera melihat betapa telah terjadi
sesuatu yang sangat mendebarkan jantung. Kelima bola api membara yang terus melayang
dan berputaran membentur dinding biru itu tiba-tiba bergerak berlawanan arah
beberapa kali dengan teratur. Gerakan itu kemudian tidak lagi membentur dinding
melainkan hanya berputaran di dalam ruangan perangkap itu akan tetapi
menimbulkan suara menderu-deru yang sedemikian dahsyat dan menakutkan. Belum
lagi Kiai Garda sempat mengedipkan matanya, tiba-tiba saja kelima bola itu
saling membenturkan diri sehingga menimbukan suara ledakan yang teramat dahsyat.
Bangunan
raksasa biru berbentuk kukusan itu benar-benar berguncang hebat dan bahkan
hampir saja pecah berkeping-keping. Benturan dari kelima bola api raksasa itu
ternyata telah menyatukan energi yoni dan menimbulkan getaran raksasa yang
mengguncang daerah disekitar sungai Belehan itu. Yang nampak di dalam ruangan
perangkap kebiruan itu kini bukan lagi lima buah bola api yang membara,
melainkan hanya sebuah akan tetapi dengan ukuran raksasa. Terlihat titik
tengahnya menghitam sementara disekitarnya adalah warna membara dengan
jilatan-jilatan api yang mengerikan.
Wajah Sekar
Mirah terlihat pucat dengan sendirinya, sementara tanpa sadar Pandan Wangi telah
memekik sambil memegang pundak kiri Gilang anaknya.
Salam,
Ries
No comments:
Post a Comment