Wednesday, September 20, 2017

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI
Bab V: Ajaran Untuk Pulang
Babak – 16



Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlupakan bagi Kiai Garda. Mata wadag dan mata batinnya menjadi saksi dan mampu melihat dengan cukup jelas betapa sinar petir kebiruan yang melompat dari ujung cambuk murid tertua Kiai Grinsing itu menerobos celah menganga yang disediakan oleh Rudita. Sebuah lontaran atau ungkapan ajian pamungkas yang teramat dahsyat yang kemudian menyerang dan membentur bola api raksasa berwarna merah membara.


Sebuah benturan yang tidak mungkin terelakkan telah terjadi!


Bola api raksasa yang membara dengan dikelilingi api yang menjilat-jilat yang diyakini merupakan Yoni sebuah pusaka yang mengandung kekuatan dengan aura gelap, telah membentur kekuatan aji pamungkas dari perguruan Orang Bercambuk yang telah pula menyelaraskan kekuatan dan energi tubuhnya dengan energi dari batu mustika Soca Ireng yang mengandung energi alam yang sedemikian besar.


Itulah peristiwa yang begitu dahsyat dan mengguncang suasana malam.


Benturan itu terjadi di dalam bangunan perangkap berbentuk kerucut yang kemudian terguncang dengan hebatnya. Bentuk kerucut atau kukusan berwarna kebiruan itu seperti terbanting-banting atau dikocok untuk kemudian bentuk itu pecah berserakan tidak mempunyai bentuk lagi. Dinding kebiruan itu telah pecah berhamburan akibat pengaruh dahsyat dari benturan yang terjadi di dalamnya.


Akan tetapi mata batin Kiai Garda segera melihat bahwa ribuan gelembung biru yang pecah berserakan itu seolah telah bergerak dengan rapi dan mencoba menemukan bentuknya kembali. Gelembung-gelembung itu mempunyai sifat dan daya pental yang tinggi sehingga dengan cepat mampu membuat sebuah bangunan kerucut sebagai perlindungan seperti sebelumnya. Hanya saja kini bangunan kerucut kebiruan itu telah meninggalkan tempatnya semula dan tiba-tiba saja bergeser bahkan melewati tempat Kiai Garda berdiri.


Ketika menyadari keadaan, Kiai Garda segera melihat betapa bangunan kerucut kebiruan itu telah berdiri dengan kokoh dibelakangnya, dimana di dalam bangunan perlindungan itu terlihat Ki Widura, Swandaru, Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Gilang yang masih terduduk roboh dengan tubuh yang lemah serta wajah yang sangat pucat. Segera Kiai Garda menyadari sepenuhnya bahwa agaknya Rudita berniat melindungi mereka yang ada disitu khususnya Gilang, yang memang menjadi incaran utama bagi Yoni yang mempunyai aura hitam menakutkan itu.

Perhatian Kiai Garda segera kembali tertumpah pada akibat dari benturan antara dua kekuatan dahsyat yang telah mengguncang malam itu. Sinar kebiruan yang sangat tajam itu telah dengan telak  menghantam pusat bola api raksasa sehingga meledak dan menimbulkan suara menggelegar yang membelah udara malam.


Kepingan-kepingan bunga api terlontar berhamburan diatas permukaan sungai Belehan dan menimbulkan sinar terang tetapi mengandung aura menakutkan. Belum lagi pecahan bola api membara dan banyaknya kepingan bunga api itu turun jatuh ke bawah dan menyentuh air, tiba-tiba dari samping berhembus udara yang sangat kuat. Udara atau angin yang sangat kuat itu dengan cepat mengangkat semua yang hampir jatuh ke permukaan air untuk kemudian menggulungnya dalam bentuk pusaran angin yang sangat kuat.


Kini tepat diatas kedung itu terlihat sebuah pusaran angin yang berputar dengan sangat cepat dan telah menelan semua pecahan bola api membara maupun percikan bunga api akibat benturan yang terjadi. Tidak ada sepotong ataupun sekeping pecahan bola api atau bunga api yang sempat jatuh masuk ke dalam air. Semuanya tertelan pusaran api itu yang terus berputar semakin lama semakin cepat. Pusaran itu seolah sedang meremas dan mematikan semua bara api yang membara itu dengan kekuatan angin maupun hawa yang juga teramat panas yang ikut menyertai putaran itu.


Bentuk pusaran itu semakin lama semakin susut dan mengecil. Dalam benaknya Kiai Garda meyakini bahwa itu artinya semua isi dalam pusaran itu sedang terkumpul dan terpadatkan oleh tenaga raksasa yang menggerakkan pusaran itu.


Dengan sudut matanya, Kiai Garda melihat betapa tubuh Agung Sedayu sedang bergerak sedikit kesamping. Saat itulah sebenarnya Agung Sedayu memutuskan untuk melepas angin pusarannya dan disaat yang hampir tiada jeda, meluncurlah kembali serangan maha dahsyat berupa ajian yang bersumber dari perguruan Windujati yang tersalur melalui sinar kebiruan dan terlontar dari ujung cambuknya. Serangan kedua ini tidak kalah dahsyatnya dengan serangan yang pertama, meluncur secepat tatit di langit membelah kerapatan udara dan megoyak gelap malam.


Angin pusaran itu tiba-tiba berhenti dan lenyap tanpa bekas, akan tetapi dari dalam pusaran yang berhenti itu terlontarlah sebuah benda kehitaman kelam yang padat. Gumpalan hitam gelap inilah yang menjadi sasaran bidik Agung Sedayu sehingga sinar kebiruan yang terlontar dan meluncur secepat tatit itu langsung manghantamnya.


Untuk kesekian kalinya terjadi ledakan dahsyat yang kembali mengguncang seluruh kawasan di tepian sungai Belehan itu. Udara malam kembali tertekan dan demikian pula dengan dada Kiai Garda yang terpaksa bertahan sekuat tenaga sambil mengerahkan seluruh daya tahan tubuhnya. Untunglah bahwa Gilang dan yang lainnya telah berada dalam ruang perlindungan yang terbuat dari energi gelembung biru sehingga semua tekanan itu sudah tidak lagi terlalu menyakiti dada mereka.

Dalam gerak lambat, mata batin Kiai Garda melihat betapa gumpalan hitam itu benar-benar pecah berhamburan dan bahkan menjadi abu hitam yang teramat lembut. Bertebaran tertiup angin dan menyebar keseluruh kawasan diatas kedung. Malam itu udara malam seolah sedang terbakar karena munculnya bau gosong yang teramat tajam dan bahkan sangit.


Bola api raksasa yang dikelilingi jilatan api membara serta gumpalan hitam yang merupakan pecahan atau kepingan dari bunga api itu kini benar-benar musnah tak berbekas. Inilah sebuah prosesi larung atau penghancuran Yoni sebuah pusaka yang dipaksakan!


Daun-daun pepohonan disekitar sungai itu tidak mampu lagi berpegangan pada rantingnya, jatuh melayang dan terhempas angin hingga melayang-layang di udara. Akan tetapi angin itupun kemudian batal dan tidak mampu untuk menerbangkan daun-daun tersebut karena tiba-tiba udara terasa pampat dengan seketika. Semua yang ada di malam itu terlihat tidak bergerak.


Semua terdiam dalam kesunyian, yang tertinggal adalah sebuah perenungan yang dalam dalam benak masing-masing.  


*****



Pagi itu suasana di tepian sungai Belehan terasa cerah. Matahari bersinar terang sementara angin juga berhembus sepoi-sepoi. Meskipun tubuh sudah terasa begitu lelah dan lemah akan tetapi semua orang masih berkumpul di tepian sungai Belehan itu sambil mendengarkan beberapa uraian dari Kiai Garda yang mendekati akhir.


“Kita sesungguhnya tidak tahu asal dan keberadaan Yoni pusaka itu. Akan tetapi bahwa semua yang berawal itu pasti akan ada akhirnya, demikian pula Yoni pusaka itu maupun kehidupan kita semua sebagai manusia. Hanya Yang Maha Agung yang tidak ber-awal dan juga tidak akan berakhir. Kepada sesembahan kita itulah kita sandarkan seluruh hidup kita. Kepada Yang Maha Agung itulah kita akan kembali pulang melalui jalan-jalan yang lurus sesuai ajaran yang kita percaya. Kita tingkatkan kepercayaan atas kuasa Yang Maha Agung dengan menjalankan semua yang menjadi perintahNya serta menjauhi semua yang menjadi laranganNya. Itulah sebaik-baiknya ajaran menjelang kita pulang kembali kepadaNya”, - Kiai Garda terlihat berhenti sejenak sebelum kemudian menutup sesorahnya -,”Sekarang marilah kita kembali pulang ke rumah kita, ke kampung halaman dan keluarga kita masing-masing. Pengalaman hari ini semoga memberi warna dan pelajaran yang berguna bagi kehidupan kita selanjutnya. Bahwa musuh utama kita sesungguhnya bersemayam dalam diri kita sendiri, yaitu nafsu untuk selalu berkuasa, nafsu ingin selalu menang dan juga semua hal yang bersifat jahat. Kepada Yang Maha Agung kita memohon perlindungan agar di jaga dari sikap-sikap pengumbaran nafsu. Kepada Yang Maha Agung kita berserah diri agar jalan pulang kita akan senantiasa terang. Sekali lagi, inilah sebaik-baiknya ajaran untuk pulang”


Matahari naik semakin tinggi dan panasnya mulai menyengat kulit. Pandan Wangi dan Sekar Mirah duduk menemani Swandaru yang tubuhnya masih lemah sehingga memilih beristirahat sambil bersandar di akar pohon yang cukup besar.


Peristiwa demi peristiwa yang terjadi sangat mencekam hati Pandan Wangi dan tanpa sadar ia mengusap kedua matanya yang tiba-tiba saja basah tanpa disadarinya. Tidak ingin menimbulkan tanda-tanya yang mungkin muncul pada Sekar Mirah yang duduk disebelahnya, terpaksa Pandan Wangi bergeser sedikit menghadap ke kiri.


“Sesungguhnya aku memang kurang menyadari darimana semua ini bermula. Akan tetapi aku sungguh akan menjaga agar perjalananku ke depan akan selalu cerah dan membawa kebahagiaan”, - desisnya dalam hati.


Tanpa sadar sudut matanya melihat sekilas ke arah Agung Sedayu yang sedang bercengkerama dengan Gilang di lereng sungai Belehan itu.


Dadanya berdesir lembut.



TAMAT


Salam
Ries




5 comments:

dwi said...

Luar biasa... Begitu membaca, susah berhenti hingga tamat...
Ditunggu kelanjutannya kisanak...

Nggakterkenal said...

Sayang sekali cepat sekali tamat...seandainya dapat diperpanjang lagi...?

Langit - Biru said...

Mantap sanget ceritanya Ki Pujo ngobati kangene Ati atas ADBM yang tidak terselesaikan.... Nuwun kulo tenggo lanjutane

Heru Priyadi said...

Penulis sudah layak disebut sebagai pujangga

GlagahPutih said...

Agung sedayu,menjadi Kepala Perdikan Menoreh dan menjadi suami Pandan wangi seharusnya. hahaha. hahanya hayalanku saja. Sekarmirah lebih cocok jadi istri sidanti. wakakakkk... dan Swandaru beristrikan wanita padukuhan sekitar Sangkal putung. hihihi.

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...