Wednesday, September 20, 2017

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI
Bab V: Ajaran Untuk Pulang
Babak – 16



Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlupakan bagi Kiai Garda. Mata wadag dan mata batinnya menjadi saksi dan mampu melihat dengan cukup jelas betapa sinar petir kebiruan yang melompat dari ujung cambuk murid tertua Kiai Grinsing itu menerobos celah menganga yang disediakan oleh Rudita. Sebuah lontaran atau ungkapan ajian pamungkas yang teramat dahsyat yang kemudian menyerang dan membentur bola api raksasa berwarna merah membara.


Sebuah benturan yang tidak mungkin terelakkan telah terjadi!


Bola api raksasa yang membara dengan dikelilingi api yang menjilat-jilat yang diyakini merupakan Yoni sebuah pusaka yang mengandung kekuatan dengan aura gelap, telah membentur kekuatan aji pamungkas dari perguruan Orang Bercambuk yang telah pula menyelaraskan kekuatan dan energi tubuhnya dengan energi dari batu mustika Soca Ireng yang mengandung energi alam yang sedemikian besar.


Itulah peristiwa yang begitu dahsyat dan mengguncang suasana malam.


Benturan itu terjadi di dalam bangunan perangkap berbentuk kerucut yang kemudian terguncang dengan hebatnya. Bentuk kerucut atau kukusan berwarna kebiruan itu seperti terbanting-banting atau dikocok untuk kemudian bentuk itu pecah berserakan tidak mempunyai bentuk lagi. Dinding kebiruan itu telah pecah berhamburan akibat pengaruh dahsyat dari benturan yang terjadi di dalamnya.


Akan tetapi mata batin Kiai Garda segera melihat bahwa ribuan gelembung biru yang pecah berserakan itu seolah telah bergerak dengan rapi dan mencoba menemukan bentuknya kembali. Gelembung-gelembung itu mempunyai sifat dan daya pental yang tinggi sehingga dengan cepat mampu membuat sebuah bangunan kerucut sebagai perlindungan seperti sebelumnya. Hanya saja kini bangunan kerucut kebiruan itu telah meninggalkan tempatnya semula dan tiba-tiba saja bergeser bahkan melewati tempat Kiai Garda berdiri.


Ketika menyadari keadaan, Kiai Garda segera melihat betapa bangunan kerucut kebiruan itu telah berdiri dengan kokoh dibelakangnya, dimana di dalam bangunan perlindungan itu terlihat Ki Widura, Swandaru, Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Gilang yang masih terduduk roboh dengan tubuh yang lemah serta wajah yang sangat pucat. Segera Kiai Garda menyadari sepenuhnya bahwa agaknya Rudita berniat melindungi mereka yang ada disitu khususnya Gilang, yang memang menjadi incaran utama bagi Yoni yang mempunyai aura hitam menakutkan itu.

Perhatian Kiai Garda segera kembali tertumpah pada akibat dari benturan antara dua kekuatan dahsyat yang telah mengguncang malam itu. Sinar kebiruan yang sangat tajam itu telah dengan telak  menghantam pusat bola api raksasa sehingga meledak dan menimbulkan suara menggelegar yang membelah udara malam.


Kepingan-kepingan bunga api terlontar berhamburan diatas permukaan sungai Belehan dan menimbulkan sinar terang tetapi mengandung aura menakutkan. Belum lagi pecahan bola api membara dan banyaknya kepingan bunga api itu turun jatuh ke bawah dan menyentuh air, tiba-tiba dari samping berhembus udara yang sangat kuat. Udara atau angin yang sangat kuat itu dengan cepat mengangkat semua yang hampir jatuh ke permukaan air untuk kemudian menggulungnya dalam bentuk pusaran angin yang sangat kuat.


Kini tepat diatas kedung itu terlihat sebuah pusaran angin yang berputar dengan sangat cepat dan telah menelan semua pecahan bola api membara maupun percikan bunga api akibat benturan yang terjadi. Tidak ada sepotong ataupun sekeping pecahan bola api atau bunga api yang sempat jatuh masuk ke dalam air. Semuanya tertelan pusaran api itu yang terus berputar semakin lama semakin cepat. Pusaran itu seolah sedang meremas dan mematikan semua bara api yang membara itu dengan kekuatan angin maupun hawa yang juga teramat panas yang ikut menyertai putaran itu.


Bentuk pusaran itu semakin lama semakin susut dan mengecil. Dalam benaknya Kiai Garda meyakini bahwa itu artinya semua isi dalam pusaran itu sedang terkumpul dan terpadatkan oleh tenaga raksasa yang menggerakkan pusaran itu.


Dengan sudut matanya, Kiai Garda melihat betapa tubuh Agung Sedayu sedang bergerak sedikit kesamping. Saat itulah sebenarnya Agung Sedayu memutuskan untuk melepas angin pusarannya dan disaat yang hampir tiada jeda, meluncurlah kembali serangan maha dahsyat berupa ajian yang bersumber dari perguruan Windujati yang tersalur melalui sinar kebiruan dan terlontar dari ujung cambuknya. Serangan kedua ini tidak kalah dahsyatnya dengan serangan yang pertama, meluncur secepat tatit di langit membelah kerapatan udara dan megoyak gelap malam.


Angin pusaran itu tiba-tiba berhenti dan lenyap tanpa bekas, akan tetapi dari dalam pusaran yang berhenti itu terlontarlah sebuah benda kehitaman kelam yang padat. Gumpalan hitam gelap inilah yang menjadi sasaran bidik Agung Sedayu sehingga sinar kebiruan yang terlontar dan meluncur secepat tatit itu langsung manghantamnya.


Untuk kesekian kalinya terjadi ledakan dahsyat yang kembali mengguncang seluruh kawasan di tepian sungai Belehan itu. Udara malam kembali tertekan dan demikian pula dengan dada Kiai Garda yang terpaksa bertahan sekuat tenaga sambil mengerahkan seluruh daya tahan tubuhnya. Untunglah bahwa Gilang dan yang lainnya telah berada dalam ruang perlindungan yang terbuat dari energi gelembung biru sehingga semua tekanan itu sudah tidak lagi terlalu menyakiti dada mereka.

Dalam gerak lambat, mata batin Kiai Garda melihat betapa gumpalan hitam itu benar-benar pecah berhamburan dan bahkan menjadi abu hitam yang teramat lembut. Bertebaran tertiup angin dan menyebar keseluruh kawasan diatas kedung. Malam itu udara malam seolah sedang terbakar karena munculnya bau gosong yang teramat tajam dan bahkan sangit.


Bola api raksasa yang dikelilingi jilatan api membara serta gumpalan hitam yang merupakan pecahan atau kepingan dari bunga api itu kini benar-benar musnah tak berbekas. Inilah sebuah prosesi larung atau penghancuran Yoni sebuah pusaka yang dipaksakan!


Daun-daun pepohonan disekitar sungai itu tidak mampu lagi berpegangan pada rantingnya, jatuh melayang dan terhempas angin hingga melayang-layang di udara. Akan tetapi angin itupun kemudian batal dan tidak mampu untuk menerbangkan daun-daun tersebut karena tiba-tiba udara terasa pampat dengan seketika. Semua yang ada di malam itu terlihat tidak bergerak.


Semua terdiam dalam kesunyian, yang tertinggal adalah sebuah perenungan yang dalam dalam benak masing-masing.  


*****



Pagi itu suasana di tepian sungai Belehan terasa cerah. Matahari bersinar terang sementara angin juga berhembus sepoi-sepoi. Meskipun tubuh sudah terasa begitu lelah dan lemah akan tetapi semua orang masih berkumpul di tepian sungai Belehan itu sambil mendengarkan beberapa uraian dari Kiai Garda yang mendekati akhir.


“Kita sesungguhnya tidak tahu asal dan keberadaan Yoni pusaka itu. Akan tetapi bahwa semua yang berawal itu pasti akan ada akhirnya, demikian pula Yoni pusaka itu maupun kehidupan kita semua sebagai manusia. Hanya Yang Maha Agung yang tidak ber-awal dan juga tidak akan berakhir. Kepada sesembahan kita itulah kita sandarkan seluruh hidup kita. Kepada Yang Maha Agung itulah kita akan kembali pulang melalui jalan-jalan yang lurus sesuai ajaran yang kita percaya. Kita tingkatkan kepercayaan atas kuasa Yang Maha Agung dengan menjalankan semua yang menjadi perintahNya serta menjauhi semua yang menjadi laranganNya. Itulah sebaik-baiknya ajaran menjelang kita pulang kembali kepadaNya”, - Kiai Garda terlihat berhenti sejenak sebelum kemudian menutup sesorahnya -,”Sekarang marilah kita kembali pulang ke rumah kita, ke kampung halaman dan keluarga kita masing-masing. Pengalaman hari ini semoga memberi warna dan pelajaran yang berguna bagi kehidupan kita selanjutnya. Bahwa musuh utama kita sesungguhnya bersemayam dalam diri kita sendiri, yaitu nafsu untuk selalu berkuasa, nafsu ingin selalu menang dan juga semua hal yang bersifat jahat. Kepada Yang Maha Agung kita memohon perlindungan agar di jaga dari sikap-sikap pengumbaran nafsu. Kepada Yang Maha Agung kita berserah diri agar jalan pulang kita akan senantiasa terang. Sekali lagi, inilah sebaik-baiknya ajaran untuk pulang”


Matahari naik semakin tinggi dan panasnya mulai menyengat kulit. Pandan Wangi dan Sekar Mirah duduk menemani Swandaru yang tubuhnya masih lemah sehingga memilih beristirahat sambil bersandar di akar pohon yang cukup besar.


Peristiwa demi peristiwa yang terjadi sangat mencekam hati Pandan Wangi dan tanpa sadar ia mengusap kedua matanya yang tiba-tiba saja basah tanpa disadarinya. Tidak ingin menimbulkan tanda-tanya yang mungkin muncul pada Sekar Mirah yang duduk disebelahnya, terpaksa Pandan Wangi bergeser sedikit menghadap ke kiri.


“Sesungguhnya aku memang kurang menyadari darimana semua ini bermula. Akan tetapi aku sungguh akan menjaga agar perjalananku ke depan akan selalu cerah dan membawa kebahagiaan”, - desisnya dalam hati.


Tanpa sadar sudut matanya melihat sekilas ke arah Agung Sedayu yang sedang bercengkerama dengan Gilang di lereng sungai Belehan itu.


Dadanya berdesir lembut.



TAMAT


Salam
Ries




BSG - BAB.VI - PENUTUP

BALADA SWANDARU GENI
Bab VI: PENUTUP
S I S I P A N


Selamat malam, sugeng dalu dan mohon ijin kangmas, mbokayu… J


Malam ini adalah malam menjelang Tahun Baru Hijriyah, atau masyarakat kita lebih mengenalnya sebagai malam 1 Suro. Ada banyak makna yang terkandung dalam bulan Suro yang diyakini mengandung nilai-nilai filosofis yang patut dikerjakan dan di teladani.


Kita tidak akan membahas itu, kita hanya akan membahas bahwa malam 1 Suro ini adalah saat yang sangat tepat untuk mengakhiri perjalanan Swandaru Geni. Ya, menjelang tengah malam nanti saya akan posting babak terakhir dari serial Balada Swandaru Geni. Malam 1 Sura adalah saat yang tepat bagi Swandaru untuk melakukan Hijrah kearah dan tempat yang lebih baik hehe… J


Sejak awal tulisan yang dimulai bulan Februari 2017, BSG terdiri dari 5 Bab Isi dan 1 Bab Penutupan, 107 Babak serta 300+ lebih halaman. Rasanya sudah layak di jilid dan dibuat sebuah bundle buku sebagai hard-copy  sehingga saya berencana akan mencetak dan menjilidnya.


Jikalau ada para sanak kadang yang berniat untuk memilikinya, mohon info agar bisa dikerjakan sekaligus. Gratis tis tiss…hanya mengganti biaya cetak dan penjilidan.


Atau bahkan jika ada teman2 yang memiliki bisnis percetakan dan bisa mengerjakannya, saya malah bersyukur dan mohon bantuannya agar saya tidak repot hehee… J


Saya sungguh mengucapkan ribuan terimakasih atas waktu dan kesediaan para sanak kadang yang berkenan membaca tulisan BSG ini hingga selesai. Mohon maaf atas banyaknya kekurangan disana-sini serta ungkapan canda tawa di kolom komentar yang kadang terasa berlebihan… J


Semoga cersil Nusantara semakin Berjaya.


Salam,

Ries

BSG - BAB.V - AUP - Babak-15

BALADA SWANDARU GENI
Bab V: Ajaran Untuk Pulang
Babak – 15


Sebuah bola api raksasa yang membara dengan kobaran api yang menjilat-jilat dibagian luarnya terasa begitu mencekam dan menakutkan. Bola api ini melayang ditengah udara dan ini adalah penyatuan dari lima bola api sebelumnya yang tentu saja mempunyai kekuatan lebih dahsyat paling tidak lima kali lipat dari kekuatan sebelumnya.


Kiai Garda dan siapapun yang melihat hal itu merasakan betapa dada mereka berdentangan keras tidak beraturan. Perbawa bola api itu terasa begitu mencekam perasaan dan hampir-hampir membuat mereka kehilangan akal untuk sekedar menilai keadaan ataupun bertindak sesuatu untuk menjauhkan diri. Kiai Garda yang mencoba untuk tetap menjaga perasaan dan kejernihan nalar masih sempat melihat betapa bola api raksasa membara itu kemudaian berputar pada porosnya dan menimbulkan suara berdesis yang keras dan sangat panjang. Mungkin kata yang tepat bukanlah mendesis melainkan melolong karena desisan itu terasa begitu keras dan sangat panjang sehingga mengganggu pendengaran semua orang.


Meskipun sempat bergetar dan bahkan hampir-hampir pecah, akan tetapi ribuan gelembung energi kebiruan yang ditebar oleh Rudita itu terlihat sedang berdesakan kembali seolah sedang merapatkan diri dan memperkuat bangunan yang terbentuk. Dalam sekejab bangunan perangkap kebiruan itu sudah kembali menemukan bentuknya dan bersiap untuk menerima hantaman-hantaman bola api raksasa itu pada dinding-dindingnya.  


Semua mata seolah terpaku pada pemandangan yang sangat menyeramkan itu. Sudah dapat dibayangkan betapa bola api itu akan menghantam dinding perangkap kebiruan itu dengan kekuatan yang berlipat dan itu pasti akan mengguncang atau bahkan menghancurkan dinding itu. Akan sulit mempertahankan dinding itu untuk tetap utuh mengingat kekuatan bola api raksasa yang sedemikian besar dan dahsyat.


Agaknya hal itu juga disadari oleh Agung Sedayu, sehingga ia segera mempersiapkan serangan puncak yang di harapkan dapat mengakhiri pertarungan aneh ditengah malam buta ini. Tubuh Agung Sedayu asli yang berdiri hanya beberapa langkah di samping Rudita yang sedang duduk di tepian berpasir itu terlihat menarik nafas lembut dan panjang beberapa kali, lalu menyimpan udara itu di bagian pusarnya. Ia sedang melakukan penyelarasan pada kekuatan batu mustika ‘Soca-Ireng’ yang ada pada genggamannya, dan pada saat yang hampir bersamaan juga membangkitkan seluruh kekuatan puncaknya yang berdasar pada ilmu-ilmu perguruan Windujati.

“Aku tidak boleh ragu-ragu ataupun terlambat”, - Agung Sedayu memantabkan diri sambil mengurai cambuk panjangnya yang kini sudah ada di genggaman tangan kanannya.

Sementara itu, sesuai yang diperkirakan dan dikuatirkan oleh semua yang hadir disitu, bola api raksasa itu dengan kecepatan yang tinggi tiba-tiba saja berputar dan meluncur kesamping serta menghantam dinding perangkap kebiruan itu disebelah kiri. Terdengar kembali bunyi letupan yang kali ini lebih keras dibandingkan letupan-letupan sebelumnya dan bahkan kini disertai peletikan bunga api yang menyebar kesemua arah akibat benturan itu. Bangunan perangkap kebiruan itu berguncang keras dan bahkan bergeser beberapa jari atau bahkan mungkin beberapa jengkal, akan tetapi ternyata dinding bangunan itu tetap utuh dan sama sekali tidak tercerai berai.


Akan tetapi bola api raksasa itu sama sekali tidak berhenti hanya pada benturan pertama saja, ia bagaikan sedang mengumbar kemarahan dengan membenturkan dirinya ke segala arah menerjang dan menghantam bangunan perangkap kebiruan itu berulang kali. Bola api membara itu seolah wuru! Setelah menghantam dinding sebelah kiri, bola api raksasa itu langsung bergerak dan meluncur cepat menghantam dinding samping kanan, belakang depan dan bahkan kearah atas yang sebenarnya mempunyai ruangan lebih kecil karena bangunan itu runcing dibagian atas.


Ruang di dalam perangkap itu kini warna menjadi aneh karena warna yang tadi cenderung kebiruan itu kini juga dipenuhi dengan warna merah membara akibat bunga api yang terus menerus berpendar dan terlontar ke segala arah.


Akibatnya, malam hari itu terdengar suara letupan-letupan yang semakin lama semakin keras di iringi suara desisan panjang yang menakutkan. Bangunan perangkap kebiruan itu berguncang-guncang dengan dahsyatnya serta meninggalkan riak air yang menggelegak karena suhu air dipermukaan sungai itu sebenarnyanya menjadi sangat panas tidak ubahnya lahar yang sedang bergolak.


Semua mata melihat betapa hantaman bola api raksasa yang membara berulang kali itu benar-benar mampu mengguncang perangkap kebiruan itu. Bangunan berbentuk kerucut atau kukusan itu kini sedang dihentak oleh kekuatan yang sangat besar dari bagian dalam sehingga berkali-kali terguncang dan bahkan hampir-hampir roboh.


Tubuh Rudita yang duduk di atas pasir terlihat menggigil agak keras, keringat bercucuran di wajah dan sekujur tubuhnya. Sesungguhnya serangan bola api raksasa itu sedemikian dahsyat sehingga hampir saja ia tidak bisa mempertahankan bentuk bangunan perangkap kebiruan yang dibuatnya. Tetapi dengan keyakinan yang tinggi ia berusaha untuk paling tidak mempertahankan bentuk bangunan itu sambil menunggu tindakan yang akan dilakukan oleh Agung Sedayu.


Saat itulah, telinganya menangkap dengung lembut yang seolah hanya melintas dan tergantikan dengan suara jernih yang sangat dikenalnya.


“Rudita, cobalah mempersempit bentuk perangkapmu sehingga itu bisa mengurangi tekanan bola api raksasa itu dari dalam. Lalu dalam hitungan ke sepuluh, beri aku celah agar bisa meluncurkan serangan kearah bola api itu”


Rudita seolah merasakan bahwa ajian pameling Agung Sedayu itu adalah suara hatinya sendiri.


Karena itu, tanpa ada keraguan sama sekali ia segera meningkatkan pemusatan energi yang membuat gelembung-gelembung itu menjadi semakin pampat dan rapat. Kedua tangannya yang tadi bersedekap di depan dadanya perlahan-lahan terurai. Sambil menahan nafas, kedua tangan itu serentak terangkat ke atas secara bersamaan seolah hendak menggapai langit, lalu sejenak terdiam dipuncak. Perlahan-lahan kemudian tangan kiri yang terbuka itu turun terlebih dahulu di ikuti oleh turunnya tangan sebelah kanan lalu berhenti tepat didepan dada seolah sedang melakukan sebuah sembah.


Itulah sebuah sikap Teratai Biru yang agung, yang mampu memberikan ketenangan serta menahan goncangan dari dalam jiwa maupun serangan dari luar.


Saat itu tubuh Rudita terlihat diam tidak bergerak sama sekali, dadanya terlihat diam seolah tidak bernafas. Rudita tidak ubahnya sebuah patung. Yang tidak mempunyai nafsu serta tidak terpengaruh oleh kekuatan atau gangguan dari luar.


Dalam keterguncangan yang hebat akibat benturan dan guncangan bola api dari dalam, ternyata Rudita masih mampu mempertahankan keberadaan bangunan kerucut biru itu sekaligus berusaha memperkecil bentuk bangunan. Bukan dengan memperkecil ukuran bangunan biru berbentuk kerucut atau kukusan itu, melainkan mempertebal ukuran dinding bangunan sehingga ruang dibagian dalam bangunan itulah yang menjadi semakin sempit!


Dinding perangkap kebiruan itu menebal kearah dalam, sama sekali tidak menebal keluar. Gelembung energi kebiruan itu semakin pampat dan rapat menciptakan dinding-dinding baru yang menebal di bagian dalam. Dengan sendirinya dinding itu menjadi semakin kuat serta menebar udara yang semakin panas di dalam ruangan yang semakin sempit.


Ruangan dalam yang semakin sempit dan panas membara itu membuat bola api merah membara itu semakin menggila. Ia bergerak liar dan membentur dinding kebiruan berulang kali yang ternyata dinding itu menjadi semakin tebal dan kuat. Suara-suara letupan menjadi semakin sering hanya saja kini agak sedikit lebih pelan. Seolah ketebalan dinding perangkap biru itu mampu meredam goncangan sekaligus suara yang ditimbulkan akibat benturan yang terjadi.


Saat itulah secara hampir bersamaan seolah ada suara yang sama di hati Agung Sedayu maupun Rudita.


“Sekarang!”


Bagian dinding kebiruan yang tepat mengarah ke Agung Sedayu itu tiba-tiba saja terkuak dengan sangat cepat. Tercipta sebuah lubang yang menganga meskipun tidak terlalu lebar, dan saat itulah Agung Sedayu dengan cepat menarik dua tubuhnya yang lain sehingga kembali menyatu dengan dirinya.


Agung Sedayu memang sudah mempersiapkan segalanya dengan matang dan cermat. Didahului dengan penyelarasan atas energi dan kekuatan dari mustika Soca Ireng, lalu penyatuan kembali dua tubuhnya yang lain, maka kini ia sudah berada pada puncak ilmu simpanannya. Dengan kedua kaki yang sedikit merendah dan jari tangan kiri yang merapat serta menempel di dada, tangan kanan Agung Sedayu yang menggenggam cambuk itu terlihat memutar juntai cambuk itu diatas kepalanya dengan gerakan sangat cepat.


Ketika merasa semuanya sudah tepat, dengan tekad bulat Agung Sedayu itu kemudian mengayunkan juntai cambuk itu dengan gerakan sendal pancing dan dengan tujuan yang sangat terarah. Terungkaplah sebuah ajian pamungkas maha dahsyat dari jalur Windujati yang kadang juga disebut sebagai perguruan  Orang Bercambuk.


Malam sama sekali tidaklah sunyi bahkan cenderung berisik. Udara sama sekali tidaklah dingin bahkan cenderung panas berpeluh. Tetapi saat itu ada sesuatu yang merambat menerobos semua yang ada dan dirasa saat itu.

Sesuatu yang menerobos dan tidak tertahankan itu membuat malam seolah terhenti dan terdiam dalam keberisikannya. Udara malam yang tadi terasa panas sesaat seolah hilang makna panasnya dan tergantikan dengan kebekuan.


Tidak terdengar suara ledakan yang membelah langit ataupun memekakkan telinga layaknya cambuk yang meledak karena lontaran kekuatan atau tenaga yang sedemikian besar. Hanya letupan lirih yang tidak terlalu menyakiti telinga, akan tetapi sesungguhnya membawa pengaruh yang teramat dahsyat. Sinar biru keputihan seolah terlontar bagaikan lompatan petir di angkasa, bergerak memampatkan udara, membelah butiran embun dan menyobek gulita malam dengan seketika.


Menerobos lubang menganga yang sedikit terbuka pada dinding perangkap kebiruan yang digelar Rudita. Gerak sinar kebiruan itu menebar kekuatan yang teramat dahsyat, sehingga waktu terasa berhenti dan memberi kesempatan agar sinar kebiruan itu menyelinap masuk ke dalam celah kecil yang menganga. Sinar kebiruan itu seolah telah menarik dengan paksa semua titik-titik udara disekitarnya sehingga pampat, disaat yang sama memberi tekanan yang teramat besar seolah udara malam itu kini mempunyai berat yang bobotnya ratusan kati.


Tidak ada seorangpun di tepian sungai Belehan itu yang sempat menarik nafas karena memang ketiadaan udara yang sedang tersedot kearah sinar kebiruan itu. Ketika udara untuk bernapas saja tidak tersedia, disaat yang sama sebuah tekanan yang maha dahsyat telah pula menghantam dada dan perasaan mereka semua.

Binatang malam yang memang sudah membisu menjelang tengah malam tadi karena adanya nuansa mencekam yang mencekik tenggorokannya, kini bahkan seolah tersedak tanpa sempat mengeluarkan suara. Setelah itu bahkan terdiam. Selamanya!


Beberapa penghuni sungai bahkan telah terlihat mengapung di permukaan meskipun sebenarnya jaraknya masih agak jauh dari pusat kedung atau tempuran sungai Belehan itu. Sebagian besar telah mati karena air yang tiba-tiba berubah menjadi sangat panas dengan mendadak dan sebagian lagi mati akibat keterkejutan yang membuat dada mereka seolah sedang di hantam walesan kayu keras milik para pemancing ikan.


Semua orang yang berdiri di tepian sungai itu tanpa berjanji telah memegang dada masing-masing dengan kedua tangannya. Mereka semua merasakan sebuah tekanan yang maha dahsyat di dada dan perasaan mereka sehingga untuk sesaat pikiran menjadi kosong. Belum sempat mereka menyadari keadaan, berturut-turut tubuh mereka roboh satu persatu.


Tanpa ada yang bisa menahan, tubuh Gilang roboh terlebih dahulu dan pingsan seketika. Disusul robohnya Ki Sindupati dan dua bekas pembantu Resi Kali Belehan yang memang berdiri lebih dekat dari sumber sinar kebiruan yang terlontar dari cambuk Agung Sedayu.


Akan tetapi ternyata tidak hanya berhenti sampai disitu, menyusul kemudian Ki Widura, Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirah yang semuanya roboh dan terjatuh pada kedua lututnya meskipun tidak sampai pingsan.


Hanya Kiai Garda yang sambil menekan dada dengan kedua tangannya sekaligus masih mampu mengalirkan hawa murni ke seluruh urat syarafnya sehingga ia masih mampu bertahan dan tidak sampai roboh. Kiai Garda mencoba menjaga kejernihan pikirannya sambil tetap mengawasi apa yang terjadi di hadapannya.


Salam,

Ries

Saturday, September 16, 2017

BSG - BAB.V - AUP - Babak-14

BALADA SWANDARU GENI
Bab V: Ajaran Untuk Pulang
Babak – 14



Mata wadag dan terlebih mata hati Kiai Garda segera melihat dengan jelas lima buah bola api kemerahan yang melesat ndedeg ke atas dengan kecepatan yang sangat tinggi. Tanpa terhindarkan, lima bola api itu pasti akan membentur dinding biru berbentuk kukusan yang terdiri dari ribuan titik atau lebih tepatnya ribuan gelembung energi yang sengaja di pasang oleh Rudita.


Kiai Garda tidak dapat membayangkan betapa akan dahsyat sekali benturan yang akan terjadi. Tanpa sadar seluruh urat syarafnya menjadi tegang dan matanya tanpa kedip menatap benturan yang akan terjadi itu.


Saat itulah Kiai Garda kembali membelalakkan matanya dan benaknya benar-benar dipenuhi rasa heran dan tanda tanya yang sangat besar. Tidak seperti bayangannya, benturan itu ternyata tidak menimbulkan ledakan yang dahsyat yang diiringi pecahnya bola api kemerahan dan berhamburannya dinding rapat kebiruan. Benturan itu ternyata hanya memperdengarkan letupan pelan beberapa kali dan bola api kemerahan itu terpental baik turun ke bawah. Ini tak ubahnya sebuah bola yang dilemparkan dengan sangat keras, kemudian membentur dinding lunak yang terbuat dari bahan karet sehingga bola itu justru mental kembali. Sama sekali tidak ada suara ledakan karena benturan, juga tidak ada yang pecah berhamburan.


“Ah, sungguh mengagumkan!”, - tiba-tiba saja Kiai Garda berseru seolah-olah baru tersadarkan - ,”Itulah ilmu pertahanan dalam tataran puncak. Semua yang bersifat keras mampu di ubahnya menjadi sangat lunak sehingga benturan itu tidak terlalu berakibat fatal pada kedua belah pihak”


Akan tetapi baru saja Kiai Garda menyadari terjadinya tahapan benturan itu, tiba-tiba mereka yang berdiri ditepian sungai itu merasakan berhembusnya udara panas yang menerpa kulit tubuh mereka semua. Agaknya meskipun benturan itu tidak langsung berdampak pada kerusakan bola api maupun dinding kukusan biru itu, akan tetapi hawa panas yang ditimbulkan masih bocor dan menyebar ke seluruh area.


“Mundur, kita harus menjauh beberapa langkah ke belakang”


Kiai Garda memberi aba-aba kepada semua yang hadir disitu dan ia sendiri mengawalinya dengan mundur beberapa langkah ke belakang. Tanpa ada yang membantah mereka semua bergerak mundur bahkan dalam jarak yang cukup jauh karena udara panas itu memang menyebar dan cukup menyengat.

Sementara itu, dua orang Agung Sedayu yang masing-masing berdiri di lubang menganga bekas batang pohon beringin raksasa itu terlihat melipat kedua tangannya di depan dada atau bersedekap. Tubuhnya berdiri tegak sementara sambil menarik nafas halus, sesungguhnya kedua Agung Sedayu saat itu sedang mengetrapkan salah satu ilmu andalannya. Dengan keyakinan yang tinggi, panggraita Agung Sedayu mampu melihat bahwa kedua lubang menganga bekas pohon beringin raksasa ini merupakan jalur yang sudah sangat dikenal atau bahkan sering dilintasi oleh Yoni pusaka itu selain dasar dan permukaan kedung. Ia menduga bahwa dibawah pohon beringin ini, Resi Kali Belehan sering mengadakan semacam upacara persembahan sehingga aura yang tertangkap disekitar pohon beringin itu terasa begitu gelap dan kuat.


Karena itu Agung Sedayu mengambil keputusan cepat untuk dapat melemahkan aura Yoni tersebut. Disaat Rudita mampu menyebar dinding perangkap untuk mencegah larinya Yoni tersebut, maka Agung Sedayu segera menutup dua lubang yang memungkinkan dipakai sebagai jalur lolos. Tanpa ada keraguan sedikitpun, Agung Sedayu segera memohon perlindungan kepada Yang Maha Agung sambil melepaskan salah satu ilmu puncaknya melalui kedua matanya.


“Meskipun selama ini aku lebih banyak menyerang benda yang nampak dimata wadag, akan tetapi aku meyakini bahwa remasan Netra Dahana ini akan berdampak lebih luas jika sasarannya adalah benda-benda yang tidak nampak. Apalagi pada sesuatu yang mengeluarkan aura atau energi hitam sebagaimana Yoni pusaka ini. Paling tidak, hawa panas ini akan membakar apapun yang ada di lajur ini hingga ke dasar kedung”, - Agung Sedayu masih sempat membuat beberapa pertimbangan sebelum kemudian bertindak.


Dari kedua matanya, dua Agung Sedayu yang ada diseberang sungai dan masing-masing berdiri menghadapi lubang manganga bekas batang pohon beringin itu kini terlihat cahaya merah kekuningan yang melesat cepat masuk ke dalam lubang dan menyusuri jalur lubang itu sejauh mungkin. Akar-akar pohon yang sudah rusak itu semakin hangus dan hancur sementara kekuatan itu terus bergerak mengaduk-aduk apapun yang dilewatinya.


Demikianlah, dalam waktu yang hampir bersamaan, tiba-tiba saja udara disekitar sungai itu meningkat menjadi panas luar biasa. Panas yang muncul dari aura yoni pusaka yang memang berwarna merah kehitaman, berbenturan dengan energi gelembung biru yang meskipun hanya mempunyai sifat pertahanan akan tetapi ternyata juga memunculkan hawa panas yang tidak kalah menyengat sehingga semua yang ada di dalam bangunan berbentuk kukusan itu terasa seperti dibakar. Sedangkan ajian yang keluar dari sinar mata Agung Sedayu yang mengandung sejuta remasan sebenarnya juga beralaskan pada hawa panas yang kini tersalur dan merambat ke jalur-jalur untuk menutup kemungkinan dilewatinya Yoni pusaka tersebut.


Sekali lagi, mereka yang ada di tepian sungai itu terpaksa melangkah mundur beberapa tindak lagi untuk menghindari dan mengurangi udara panas yang meningkat dengan sangat cepat. Mata Kiai Garda masih bisa menangkap betapa permukaan air sungai itu tiba-tiba saja beriak dan bergolak dengan cepat. Terlebih permukaan air yang ada di dalam perangkap kukusan biru itu kini bergejolak dengan dahsyatnya bagaikan air mendidih. Terlihat gelembung-gelembung air yang mulai membumbung ke atas disertai asap tipis akibat udara panas yang tercipta di dalam perangkap kukusan itu.


Sementara itu lima bola api membara yang terperangkap di dalam ruang kukusan itu terlihat berputar-putar dan membentur dinding biru tak tentu arah. Agaknya bola itu tidak mampu kembali masuk ke dasar kedung karena tersumbatnya jalur yang akan dilaluinya disertai munculnya permukaan air yang tiba-tiba saja mendidih dengan cepatnya. Agung Sedayu benar-benar berhasil menyumbat jalur alternative bagi Yoni tersebut agar tidak lolos dan bahkan semakin membuat suhu air di dalam ruang kukusan itu menjadi sangat panas.


Terdengar suara meletup-letup layaknya air yang mendidih ketika dimasak dalam kuali raksasa dan kini  disertai uap putih yang naik ke udara.


“Ini tidak ubahnya bagaikan lahar buatan yang sangat cocok untuk melarung sebuah pusaka”, - tanpa sadar Kiai Garda berdesis.


Bukan main tegangnya semua yang ada di tepian sungai malam itu, disaat yang sama sebuah rasa kekaguman menyelinap dalam hati masing-masing. Swandaru yang hatinya sebenarnya sudah mulai sumeleh benar-benar lebih terbuka mata hatinya ketika melihat Agung Sedayu yang juga kakak seperguruannya itu mengerahkan puncak-puncak ilmu pamungkasnya, dan itu semua berawal dari niat untuk menyelamatkan dirinya. Bahkan Rudita yang dulu merupakan anak cengeng dan sama sekali tidak mengenal ilmu kanuragan itu kini telah berkembang menjadi pribadi yang teramat matang dengan ilmu linuwih yang tidak terjangkau nalar.


Sementara disebelah Swandaru, istrinya,  Pandan Wangi berdiri bagaikan membeku. Kekhawatiran yang sangat telah melanda hatinya, ia seolah sedang melihat dua orang yang pernah dekat dengan dirinya itu sedang berjuang mati-matian sementara ia sendiri hanya bisa terdiam tanpa bisa berbuat sesuatu. Rudita yang dulu merupakan pribadi yang cengeng dan masih mempunyai hubungan kerabat dengan keluarganya itu pernah dekat sekali dengan dirinya semasa muda. Bukan dekat dalam pengertian rasa hati yang tertaut, melainkan rasa gemas, kasihan dan bahkan rasa jengkel yang bergelora sehingga ingin rasanya waktu itu ia memberi hajaran pada pemuda cengeng itu. Akan tetapi kini Rudita justru sedang bertarung untuk kepentingan semuanya, khususnya untuk diri dan keluarganya.


Sementara yang seorang lagi merupakan laki-laki yang terkadang membuat hatinya begitu lelah. Ia pernah menggantungkan harapannya kepada laki-laki itu, ia juga pernah merasakan bahwa harapannya itu tidak akan bertepuk sebelah tangan. Akan tetapi garis kehidupan ternyata telah menuntun mereka untuk hidup dengan saling beriringan meskipun bukan sebagai pasangan hidup. Garis kehidupan ternyata telah menorehkan jalinan rasa itu di dalam hati masing-masing sehingga yang nampak adalah rasa saling mengasihi atas semua keadaan dan kebahagiaan masing-masing. Bahwa rasa yang tertaut itu tidak selalu harus diwujudkan sebagai pasangan suami-istri.

Bahwa apapun yang sedang dihadapi oleh masing-masing, maka sebenarnya mereka ikut merasakan dan berusaha untuk menghibur dan memberi penyelesaian atas masalah itu.


Tiba-tiba Pandan Wangi terperanjat dan terpaksa memotong angan-angannya ketika dilihatnya sebuah kejadian yang membuat semua mata yang hadir disitu terbelalak.


Lima buah bola api membara yang terperangkap di dalam bangunan kukusan biru itu tiba-tiba saja mengeluarkan desisan keras dan menakutkan. Agaknya suhu panas yang meningkat dengan sangat cepat itu telah membuat masing-masing bola api membara itu bergerak tidak beraturan dan berkali-kali melesat cepat dan membentur dinding-dinding kebiruan yang berupa perangkap itu. Tak pelak bola-bola api itu kembali terpental bolak-balik, lalu kembali melakukan gerakan berulang-ulang dengan suara desisan yang semakin keras.


Bangunan kukusan yang terdiri dari gelembung energi kebiruan itu terlihat mulai berguncang. Agaknya benturan-benturan dari kelima bola api membara yang secara terus menerus tiada henti itu memberi tekanan yang cukup kuat sehingga bangunan kukusan itu bergoncang semakin keras.


Bahkan pada puncaknya, mata hati Kiai Garda yang jeli segera melihat betapa telah terjadi sesuatu yang sangat mendebarkan jantung. Kelima bola api membara yang terus melayang dan berputaran membentur dinding biru itu tiba-tiba bergerak berlawanan arah beberapa kali dengan teratur. Gerakan itu kemudian tidak lagi membentur dinding melainkan hanya berputaran di dalam ruangan perangkap itu akan tetapi menimbulkan suara menderu-deru yang sedemikian dahsyat dan menakutkan. Belum lagi Kiai Garda sempat mengedipkan matanya, tiba-tiba saja kelima bola itu saling membenturkan diri sehingga menimbukan suara ledakan yang teramat dahsyat.


Bangunan raksasa biru berbentuk kukusan itu benar-benar berguncang hebat dan bahkan hampir saja pecah berkeping-keping. Benturan dari kelima bola api raksasa itu ternyata telah menyatukan energi yoni dan menimbulkan getaran raksasa yang mengguncang daerah disekitar sungai Belehan itu. Yang nampak di dalam ruangan perangkap kebiruan itu kini bukan lagi lima buah bola api yang membara, melainkan hanya sebuah akan tetapi dengan ukuran raksasa. Terlihat titik tengahnya menghitam sementara disekitarnya adalah warna membara dengan jilatan-jilatan api yang mengerikan.


Wajah Sekar Mirah terlihat pucat dengan sendirinya, sementara tanpa sadar Pandan Wangi telah memekik sambil memegang pundak kiri Gilang anaknya.



Salam,

Ries

Thursday, September 14, 2017

BSG - BAB.V - AUP - Babak-13

BALADA SWANDARU GENI
Bab V: Ajaran Untuk Pulang
Babak – 13



Agung Sedayu dan Rudita adalah dua orang yang sudah saling mengenal sejak usia muda. Pada perkembangannya, ada sedikit perbedaan sikap antara keduanya, dimana Rudita lebih melihat bahwa olah kanuragan hanya akan menambah jumlah korban kekerasan. Sementara meski lebih menitikberatkan pada ajaran kasih sayang, akan tetapi Rudita sendiri mengakui bahwa ia sendiri sebenarnya juga mempelajari sebagian dari isi kitab Ki Waskita. Rudita sengaja memilih beberapa jenis ilmu yang lebih banyak bersifat untuk perlindungan dan jauh dari sifat kekerasan.


Adalah bukan sebuah kebetulan bahwa Ki Waskita yang juga ayah Rudita itu juga telah mempercayakan isi kitab itu agar dipelajari oleh Agung Sedayu. Sebagaimana kitab perguruan Windujati, kitab Ki Waskita yang bersumber pada ilmu jalur Pangrantunan itu juga telah dihafal Agung Sedayu di luar kepala. Sebagaimana yang dilakukan Rudita, ternyata Agung Sedayu juga tidak atau belum menguasai seluruh isi kitab yang memang isinya mengandung ajaran yang sangat tinggi dan memerlukan waktu yang teramat panjang untuk mendalami dan menguasai seluruh isinya.


Meskipun berbeda pandangan, akan tetapi keduanya merasa dekat karena masing-masing mengakui adanya keterbatasannya dalam dirinya. Bahwa semua tindakan adalah berdasarkan harkat dan martabat manusia selaku makhluk ciptaan Yang Maha Agung, sehingga mereka harus menjaga dan memelihara konsep keseimbangan dan keadilan bagi masyarakat. Bukan karena menuruti hawa nafsu yang tidak aka nada habis-habisnya.


Sekar Mirah yang cukup mengetahui perjalanan hidup keduanya tanpa sadar berdesis pelan - ,”Sesungguhnya keduanya adalah saudara seperguruan meskipun tidak secara langsung”


Ki Widura, Swandaru dan Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam sambil tetap pandangannya lurus ke depan. Ketiganya sama sekali tidak menyahut ungkapan Sekar Mirah itu, sementara Kiai Garda dan Gilang yang belum mengenal asal-usul Rudita terlihat hanya mengerutkan keningnya.


Malam terus merambat tanpa ada yang bisa menghalangi, suasana sunyi justru membuat suara jantung yang berdetak di dada masing-masing terdengar cukup keras. Saat itulah semua mata melihat betapa tiba-tiba saja Rudita bergeser sedikit ke samping kiri sambil kemudian duduk besila begitu saja diatas tepian sungai yang berpasir. Tangannya masih bersedekap didepan kedua dadanya, sementara kedua matanya sedikit terpejam.




Kiai Garda mencoba memahami apa yang sedang dilakukan oleh Rudita maupun Agung Sedayu. Simpul-simpul syaraf dan kepekaan rasa ia kerahkan ke tingkatan tertinggi sehingga mata hatinya mampu melihat atau paling tidak bisa memberi gambaran atas peristiwa yang terjadi menjelang tengah malam itu.


Dalam pemusatan indra panggraita tertinggi itulah Kiai Garda melihat betapa dari tubuh Rudita yang sedang duduk diatas pasir itu, muncul titik-titik terang berwarna kebiruan yang sedemikian banyak. Titik-titik terang kebiruan itu semakin lama semakin banyak bagaikan ribuan kunang-kunang yang keluar dari tubuh Rudita dan kemudian merapat dan bergeser hampir memenuhi permukaan kedung sungai Belehan.


Suasana gelap ditengah malam itu berubah menjadi sangat aneh dimata siapapun. Gelap yang berarti juga hitam pekat itu kini berganti dengan biru terang. Akan tetapi sinar terang itu terbatas hanya pada titik-titik biru yang mirip ribuan kunang-kunang itu dan sama sekali tidak menyebar disekitarnya. Suasana diluar tetap terlihat gelap, hitam dan pekat.


Kiai Garda yang awalnya merasa aneh dengan titik-titik biru itu akhirnya mampu melihat bahwa sebenarnya sinar biru terang itu memang memancarkan sinarnya. Akan tetapi sinar itu bukanlah  memancar keluar, melainkan memancar kedalam pada titik-titik biru itu sendiri. Seolah sinar itu adalah energi yang sedang membangun dan mengisi titik-titik itu sehingga padat dan bersinar kedalam semakin lama semakin kuat.


“Ah, inilah sebuah ilmu pertahanan yang sangat luar biasa. Aku ingat eyang guru Pandan Alas pernah bercerita bahwa sifat-sifat pertahanan semacam ini adalah pengembangan dari Ajian Lebur Seketi yang sesungguhnya mempunyai sifat menyerang. Meskipun sinar yang dihasilkan adalah biru, akan tetapi sesungguhnya ia mempunyai sifat panas yang tinggi dan mampu membakar apapun yang menyentuhnya. Tidak bisa diragukan lagi, ini pastilah pengembangan dari Lebur Seketi dalam sifatnya untuk bertahan”, - hati Kiai Garda tercekat melihat kenyataan yang ada di hadapannya.


“Siapakah sesungguhnya Ki Rudita itu”, - Kiai Garda sempat bertanya-tanya dalam hati -,”Menurut eyang Guru, bahkan leluhur dari Pangrantunan sendiri belum bisa menguasai jenis aji pertahanan ini dengan sempurna. Tetapi apa yang aku lihat disini, Ki Rudita itu mampu membangun sebuah pertahanan yang sangat rapat dan teramat kuat. Tidak pelak lagi, hal ini hanya mampu dilakukan oleh seseorang yang mempunyai hati yang bersih serta keyakinan yang teramat kuat atas sebuah sikap”


Kini ribuan titik-titik biru yang memadat itu mulai berdesakan merapat dan membentuk sebuah bangunan yang melebar dibawah akan tetapi runcing dibagian atasnya. Ia bagaikan sebuah kukusan yang sedang melakukan perangkap penangkapan atas segala sesuatu yang ada di bawahnya agar tidak lolos. Kiai Garda meyakini bahwa energi titik-titik biru yang padat itu tidak hanya berhenti diatas permukaan air, melainkan masuk menembus dan bahkan menghujam didasar kedung sungai seolah hendak memagari seluruh area didalamnya.


Ketika semua mata seolah tidak sempat berkedip menatap ke arah bangunan raksasa berbentuk kukusan dan berwarna biru itu, saat itu Kiai Garda masih sempat melihat betapa secara perlahan-lahan Agung Sedayu mengurai kedua tangannya yang tadi bersedekap didepan dada. Bersamaan dengan turunnya kedua tangan itu, tiba-tiba saja tubuh Agung Sedayu itu terpecah menjadi tiga bagian dan bergeser ke samping kanan dan kiri. Kini telah berdiri tiga orang Agung Sedayu yang ternyata ditangannya masing-masing telah memegang sebuah cambuk berjuntai panjang.


“Ah”, - yang terdengar adalah suara Gilang yang tercekat hatinya ketika melihat tubuh pamannya itu berubah menjadi tiga orang - ,”Ibunda, Paman Agung Sedayu mampu membelah diri”


Pandan Wangi yang mendengar bisikan Gilang itu hanya mengangguk. Matanya tidak lepas dari bayang-bayang hitam laki-laki yang sangat ia kagumi dan pernah menempati sudut hatinya yang terdalam itu. Bahkan hingga kini.


Semua yang mendengar suara Gilang juga tidak ada yang menyahut. Bagi mereka, Agung Sedayu mampu merubah dirinya menjadi tiga orang bukanlah hal yang baru karena mereka sudah pernah menyaksikannya beberapa kali. Yang kemudian mereka lihat adalah dua orang Agung Sedayu itu tiba-tiba melompat atau lebih tepatnya terbang jauh ke seberang sungai.


Sebagaimana diketahui, kedung atau tempuran sungai itu merupakan pertigaan atau pertemuan antara dua arus sungai yang mengalir. Di sebelah kanan dan kiri lereng sungai itu tadinya masih tumbuh subur dua pohon beringin raksasa dan berumur ratusan tahun, akan tetapi kini ternyata sudah gundul akibat pertarungan Agung Sedayu dengan Resi kali Belehan sebelumnya. Sekarang hanya menyisakan batang pohonnya yang sudah hangus dan bahkan tercerabut akarnya sehingga batang itu terlihat miring. Disisi kanan dan kiri pohon beringin inilah kedua sosok tubuh Agung Sedayu itu melompat dan kemudian masing-masing berdiri dalam diam sambil mengamati lubang bekas batang yang tercerabut yang terlihat menganga.


Sementara seorang Agung Sedayu lainnya masih tetap berdiri ditempat semula yaitu beberapa langkah dari Rudita yang sedang duduk diatas tepian sungai berpasir.


Belum lagi getar di dada semua orang reda karena pemandangan yang ada di depannya, tiba-tiba mata mereka melihat adanya percikan-percikan merah yang muncul dari dasar kedung sungai melesat ke udara. Percikan itu tidak terlalu banyak dan berupa semacam bola api yang membara dan mengeluarkan suara mendesis sangat keras, semuanya berjumlah lima buah.


Bola api membara itu terlihat sangat mengerikan karena selain kecepatannya yang tinggi, suara desisan panjang itu seolah ikut menekan seluruh perasaan mereka yang hadir disitu. Tak dapat di hindari lima buah bola api itu pastilah akan menghantam dinding perangkap biru yang sedang dihamparkan Rudita.
Kiai Garda yang menajamkan penglihatan mata hatinya melihat betapa bola api membara itu melesat dengan kecepatan tinggi. Sementara permukaan kedung atau tempuran itu telah dibatasi oleh sebuah bangunan raksasa berwarna kebiruan dan berbentuk kukusan.


Kejadian demi kejadian yang saling susul-menyusul itu seolah tidak sempat membuat mereka yang hadir disitu untuk sejenak menarik nafas. Kini mereka seolah sedang menyaksikan sebuah puncak pertunjukkan yang akan menghentak dada dan perasaan masing-masing.



Salam,

Ries

BSG - BAB.V - AUP - Babak-12

BALADA SWANDARU GENI
Bab V: Ajaran Untuk Pulang
Babak – 12



Pandan Wangi terkejut dan sedikit bertanya-tanya dalam hati ketika Agung Sedayu memanggil namanya. Tetapi segera dibuangnya semua pikiran yang tidak pada tempatnya itu ketika dilihatnya wajah Agung Sedayu yang sedemikian bersungguh-sungguh itu sedang merangkul pundak Gilang yang memang berdiri di sebelah kiri-nya. Sementara di sebelah kanan Agung Sedayu, telah berdiri suaminya, Swandaru yang pelan-pelan kesadaran sudah mulai utuh kembali.


Segera Pandan Wangi bergabung dengan suami dan anaknya, sementara Kiai Garda sendiri juga ikut mendekat dan mendengar apa yang akan dikatakan murid tertua Kiai Gringsing itu.


Sebenarnyalah dalam waktu yang teramat singkat dan mepet, Agung Sedayu sempat berbicara dengan Kiai Garda tentang kemungkinan-kemungkinan terburuk yang mungkin akan mereka hadapi. Panggraitanya yang tajam seolah melihat adanya sebuah bahaya yang mengancam dan karena itu ia memutuskan untuk berterus terang kepada semuanya agar bersiap menghadapi apapun yang terjadi nanti.


“Adi Swandaru dan kau Wangi, tengah malam ini mungkin akan ada sebuah kejadian yang benar-benar membutuhkan perhatian kita semua. Aku memang meyakini bahwa Yoni pusaka yang ber-aura gelap itu akan segera bangkit dan mencari wadah baru untuk menyebarkan pengaruh hitamnya ke segenap manusia dan pengikutnya”, - Agung Sedayu berhenti sejenak dan sengaja menurunkan suaranya lebih perlahan seolah berbisik - ,”Adalah sama sekali diluar dugaanku bahwa Gilang agaknya akan terlibat sangat jauh dalam masalah ini. Tadinya aku mengajak Gilang dengan alasan bahwa kemampuan bidiknya yang tinggi itu akan sangat membantu kita dalam membebaskan adi Swandaru. Juga ini tentu memberi pengalaman yang sangat berharga bagi Gilang untuk masa depannya. Akan tetapi ternyata bawah kini ada sesuatu yang memerlukan perhatian kita dengan sungguh-sungguh terkait dengan keselamatan Gilang”


Dada Swandaru dan Pandan Wangi menjadi berdebar-debar, keduanya masih belum menangkap maksud perkataan Agung Sedayu. Sementara sambil menepuk pundak Gilang yang berdiri disebelahnya, Agung Sedayu itu berkata.


“Gilang, meskipun umurmu masih bocah, akan tetapi kau bukanlah anak biasa. Mungkin saja kau akan heran dengan semua kejadian yang telah dan akan kau lihat nanti, akan tetapi janganlah takut, ada kedua orangtuamu dan juga aku dan kita semua disini yang akan melindungimu”, - Agung Sedayu berhenti sebentar lalu ia menoleh kepada Kiai Garda -,”Sebaiknya Kiai saja yang menjelaskan agar semua yang ada disini bisa bersiap dan menyadari kemungkinan apa saja yang akan kita hadapi, khususnya terhadap Gilang”


Swandaru yang sedari tadi mendengar perkataan Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar, bahkan kemudian keluar pula pertanyaan yang didasari oleh rasa kuatir yang besar -,“Sebenarnya ada kemungkinan apakah terhadap Gilang, Kiai?”


Kiai Garda yang diserahi tugas untuk menjelaskan situasi yang mereka hadapi terlihat menelan ludahnya terlebih dahulu sebelum mulai berbicara.


Mereka semua terlihat berkumpul mendekat terutama Ki Widura dan Sekar Mirah, sementara Agung Sedayu justru melangkah agak mundur dan berdiri di dekat Rudita yang memandang kearah permukaan tempuran sungai Belehan itu.


“Ki Swandaru dan semuanya”, - terdengar Kiai Garda memulai kalimatnya - ,”Sesungguhnya ini masih berdasarkan pengetahuanku yang dangkal dan juga berdasar panggraita yang sangat tajam dari Ki Agung Sedayu. Bahwa Yoni sebuah pusaka, biasanya ditangkap dan ditanam oleh pembuatnya yang pastilah seorang Mpu yang memiliki kemampuan sangat tinggi disertai laku ritual yang sangat rumit alias tidak gampang. Berdasarkan sifatnya, maka Mpu pembuat keris itu mampu menyesuaikan pula dengan bahan dasar dari pusaka yang mewadahi Yoni tersebut, yang biasanya terbuat dari besi murni yang sangat keras akan tetapi juga mudah dibentuk. Sekeras-kerasnya sebuah besi pilihan, akan tetapi di tangan seorang Mpu pembuat keris, ia mampu membentuk pusaka itu dengan sangat mudah. Ibaratnya, dengan mengenali sifat dasar dari bahan yang akan menjadi pusaka, lalu menyelaraskannya dengan Yoni yang akan mewadahi pusaka tersebut, maka seorang Mpu akan mampu membentuk sebilah keris dengan hanya memijat-mijat besi pilihan itu dengan jemarinya. Jadi ini tentang sifat dari bahan dasar sebilah pusaka, yaitu sesuatu yang murni alias pilihan yang juga mudah dibentuk”


Kiai Garda berhenti sebentar sebelum kemudian melanjutkan kalimatnya.


“Masalahnya sekarang adalah Mpu pembuat keris itu sudah tidak ada dan Yoni pusaka itu telah terlepas dari wadah aslinya. Ia sekarang bergentayangan mencari wadah baru yang tidak selalu sesuai dengan sifatnya karena tidak ada tahapan penyelarasan. Tidak ada yang bisa melakukan penyelarasan sifat Yoni dengan sifat wadah atau pusaka tersebut selain Mpu yang membuatnya”


Semua yang mendengar penjelasan Kiai Garda itu semakin diliputi perasaan tegang. Meskipun Kiai Garda sudah berbicara cukup panjang, akan tetapi mereka belum bisa menangkap sepenuhnya tentang penjelasan itu kaitannya dengan Gilang.


Kiai Garda yang juga memahami rasa penasaran dihati semua orang itu akhirnya berkata dengan suara yang lirih tetapi bernada berat.


“Ketahuilah, sifat-sifat untuk mewadahi Yoni sebuah pusaka itu ada semua pada Gilang. Ia masih bocah karena belum pernah menikah atau berhubungan badan dengan lawan jenis. Gilang masih sangat murni. Gilang juga mempunyai tulang yang sangat baik dan dalam usianya yang masih bocah ini ia telah memiliki kemampuan yang mengagumkan, maka Gilang adalah bocah pilihan. Yoni pusaka itu harus menemukan wadahnya sebelum fajar, dan di sekitar daerah ini tidak ada calon wadah Yoni itu yang lebih cocok selain Gilang!”


Bagi Swandaru dan Pandan Wangi, penjelasan Kiai Garda yang cukup gamblang meski diucapkan dengan suara pelan itu terdengar bagaikan petir yang menyambar di langit. Sebagai orangtua, adalah sangat menakutkan dan mengkhawatirkan ketika anak laki satu-satunya ternyata justru menjadi incaran dari sesuatu yang sangat menakutkan dan bahkan mereka sama sekali belum kenali. Bahwa sesuatu yang menakutkan itu adalah sebuah kekuatan hitam yang selama ini bersarang dan mendiami tubuh seorang yang mereka sebut Resi Kali Belehan.


“Tetapi Kiai”, - suara Swandaru terdengar terbata-bata -,”Kalau memang syarat wadah Yoni itu adalah sifat-sifat murni dari seseorang, bagaimana mungkin Yoni itu tadinya bersarang pada Resi Kali Belehan? Bukankah Resi itu sudah sangat tua dan pastilah bukan seorang perjaka”


Kiai Garda terlihat menggelengkan kepalanya dan mencoba menjawab pertanyaan Swandaru itu dengan hati-hati.


“Ki Swandaru, yang aku uraikan tadi adalah syarat dasar dan tahapan dalam penanaman sebuah Yoni kedalam wadahnya. Sudah tentu ada cara lain yang sesungguhnya sangat tidak wajar dan terkadang bahkan bersifat pemaksaan atau adanya upaya saling tawar menawar. Aku menduga, bahwa Resi Belehan yang haus akan ilmu kesaktian itu melakukan sebuah tahapan penawaran agar Yoni pusaka itu mengendap ke dalam dirinya. Bisa saja penawaran itu berbentuk sebuah tumbal atau sebuah upacara persembahan yang mengambil darah anak-anak perawan atau yang lainnya”, - Kia Garda berhenti sejenak, sebenarnya ada keinginannya untuk menanyakan hal ini kepada bekas pembantu Resi Belehan, akan tetapi ia batalkan dan melanjutkan kalimatnya -,”Hanya saja kita tidak akan membahasnya sekarang, waktu kita tidak banyak karena sebentar lagi sudah ngancik tengah malam. Kita semua harus bersiap-siap sekarang”


Kalimat Kiai Garda itu seolah-olah menjadi aba-aba bagi semua orang yang ada disitu. Tanpa sesadarnya, mereka menempatkan Gilang di tengah-tengah. Swandaru dan Pandan Wangi berdiri agak di depan Gilang, sementara  Ki Widura dan Sekar Mirah berdiri sedikit dibelakangnya.


“Gilang, aku percaya kau akan mampu melindungi dirimu sendiri. Apalagi disini banyak saudara kita yang akan membantu dan melindungimu. Bukankah potongan bambu kuning itu masih ada padamu”, - Kiai Garda mencoba menenangkan Gilang.

Tidak disangka-sangka Gilang justru tersenyum, wajahnya sama sekali tidak menampakkan rasa takut. Sambil menunjukkan potongan bambu kuning kecial ia menjawab -,”Ya paman Garda, aku sama sekali tidak takut. Potongan bambu itu juga masih ada padaku”


Kiai Garda tersenyum, sementara Swandaru dan Pandan Wangi justru sedang mengelap peluh di dahi mereka. Agak maju ke depan, ternyata Ki Sindupati dan kedua pembantu utama Resi Kali Belehan berdiri tegak dibelakang Agung Sedayu dan Rudita. Sesungguhnya mereka bertiga masih tidak tahu apa yang harus mereka lakukan, akan tetapi bahwa perkembangan yang terjadi ini mau tidak mau telah menuntun nalar mereka untuk berpikir dan menilai perkembangan yang terjadi.


Demikianlah, perapian sengaja dimatikan. Menjelang tengah malam, kegelapan semakin pekat menyelimuti tepian sungai. Anehnya angin seolah telah berhenti berhembus, binatang malam yang biasanya berisik juga berhenti sama sekali seolah mereka telah dibungkam oleh sebuah kekuatan yang membuat mulut mereka berkerut.


Suasana malam begitu mencekam, sejauh mata memandang hanya bayang-bayang hitam yang bisa mereka tangkap. Mereka mencoba melipatgandakan semua bekal yang selama ini telah mereka miliki, ajian Sapta Pandulu, Sapta Pangganda dan terutama Sapta Panggraita.


Saat itulah semua mata melihat bayangan Agung Sedayu dan Rudita melangkah maju beberapa tindak dan berhenti sekitar tiga tombak di tepian sungai, dekat dengan pusat kedung atau tempuran Kali Belehan itu. Keduanya berdiri tegak seolah merupakan dua buah patung dengan kedua tangan yang terlipat di dada masing-masing.


Malam benar-benar terasa sangat sepi, angin sama sekali tidak berhembus, rasa dingin tengah malam justru tergantikan hawa panas yang keluar dari ketegangan hati masing-masing. Mereka semua seolah sedang menyelaraskan tarikan nafas dengan detak jantung masing-masing yang terdengar cukup keras di hati dan perasaan.



Salam.

Ries

Tuesday, September 12, 2017

BSG - BAB.V - AUP - Babak-11

BALADA SWANDARU GENI
Bab V: Ajaran Untuk Pulang
Babak – 11



Tetapi apa yang tertangkap dimata Pandan Wangi tidaklah sesuai dengan apa yang ada dalam pikirannya. Awalnya ketika telinganya menangkap alunan lembut di gendang telinganya, ia langsung menduga bahwa itu pastilah suara seruling dari seorang gembala muda yang bernama Gupita. Nada yang mengalun naik turun dan mampu menindih berisik suara malam serta membungkam para binatang malam agar untuk sementara waktu berdiam diri.


Yang terlihat adalah bahwa Agung Sedayu itu sama sekali tidak memegang seruling dan justru sedang menegakkan punggungnya sambil memandang kearah kegelapan malam. Raut wajahnya terlihat tenang bahkan kemudian tersungging senyuman tipis, entah ditujukan untuk siapa.


Sekar Mirah yang duduk disebelah Ki Widura sambil memeluk kedua lututnya juga merasakan hal yang sedikit ganjil. Awalnya ia juga menyangka bahwa suara itu berasal dari seruling yang ditiup suaminya, sebagaimana siang tadi ketika mereka masih duduk dibawah pohon rindang dan diganggu oleh beberapa burung gagak hitam peliharaan Resi Kali Belehan. Suara seruling itu terasa lembut menekan, akan tetapi hingga beberapa lama mereka tidak tahu siapa yang meniupnya.


Bahkan Kiai Garda yang mencoba melipatgandakan seluruh panca-indranya hingga beberapa saat masih belum mengetahui darimana sumber suara itu berasal.


Sementara itu, Agung Sedayu terlihat berdiri tegak sambil memandang kegelapan malam dan menghadap ke tebing sungai dimana disitu terdapat sebuah batu yang cukup besar. Ia mengajak semua untuk berdiri sambil berdesis pelan.


“Marilah, agaknya kita kedatangan seorang tamu yang juga seorang saudara dekat kita. Wangi, bukankah kau sangat mengenali suara seruling itu?”


Sekar Mirah terlihat mengerutkan keningnya ketika suaminya justru menyebut nama Pandan Wangi yang dianggap mengenal orang yang disebut tamu atau saudara itu. Ia kesulitan untuk mengurai makna ungkapan kata Agung Sedayu.


Sementara mendengar perkataan Agung Sedayu itu dada Pandan Wangi berdegup kencang luar biasa, betapa hatinya sangat terperanjat sehingga wajahnya memerah dan terasa panas. Untunglah kegelapan malam menyembunyikan raut wajah gugupnya sementara ia sendiri memang sudah berdiri membelakangi perapian sehingga wajahnya terlindungi dari sinar terang. Ia benar-benar kebingungan dengan ungkapan kalimat yang disuarakan oleh Agung Sedayu.

Hampir saja Pandan Wangi tidak bisa menguasai suara hatinya.


“Selama hidup, suara seruling yang sangat aku kenal dan bahkan sangat membekas dalam hatiku adalah tiupan seorang gembala muda yang bernama Gupita. Tetapi mengapa kakang Agung Sedayu mengatakan kalimat itu di hadapan begitu banyak orang?”, - tanpa bisa dicegah hati Pandan Wangi terasa sangat galau dan bahkan kebingungan.


Tanpa sesadarnya sudut mata Pandan Wangi sempat menangkap raut wajah Sekar Mirah yang juga sudah ikut berdiri. Hanya saja Pandan Wangi tidak bisa membaca kesan yang timbul dari wajah adik perempuan suaminya itu.


Seolah tidak memerlukan jawaban Agung Sedayu melangkah maju beberapa tindak dan  menyapa peniup seruling itu dengan suara yang sewajarnya.


“Marilah Rudita, kami sangat senang kau bisa hadir di tepian sungai ini. Bergabunglah dengan saudara-saudara kita yang sedang menghangatkan diri di tepi perapian ini”


Mendengar kalimat Agung Sedayu itu, hati Pandan Wangi yang sempat pepat dan diliputi tanda tanya itu tiba-tiba saja menjadi lega luar biasa. Ibarat air yang tadinya tersumbat, maka ketika sumbatan itu terlewati, airpun mengalir dengan sangat lancar. Ya, Rudita memang saudaranya, meskipun terhitung saudara jauh. Meskipun tidak terlalu sering, akan tetapi ia tahu bahwa saudaranya itu terkadang juga meniup seruling.


Sementara Sekar Mirah terlihat mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia juga cukup mengenal Rudita yang menurutnya mempunyai watak yang sedikit berbeda dengan kebanyakan orang pada umumnya. Rudita adalah orang yang telah meletakkan kedamaian sebagai sebuah keyakinan dalam dirinya. Langkah kehidupan dan warna hari-harinya sangat jauh dari dunia kekerasan. Akan tetapi menurut Agung Sedayu, keyakinan itu justru telah membuat Rudita memiliki dan menguasai bekal yang teramat berharga dalam dirinya. Rudita adalah seorang pilih tandang tanpa harus menguasai ilmu-ilmu kanuragan sebagaimana yang mereka pelajari.  Ia jauh dari sikap-sikap iri, dengki atau tamak yang biasanya menjadi penghambat seseorang dalam mencecap ilmu-ilmu hakiki tentang kehidupan.


Dengan keyakinannya yang begitu tinggi, Rudita justru dengan mudah menguasai berbagi ilmu sejati yang sangat berguna untuk melindungi sesama. Ia adalah sebuah kedung yang teramat dalam dan luas yang mampu menampung berapapun air yang mengalir ke dalam dirinya. Apalagi ia adalah anak laki-laki satu-satunya dari Ki Waskita, seorang linuwih yang juga sudah dianggap sebagai guru oleh Agung Sedayu.

Kiai Garda yang juga sudah ikut berdiri segera menangkap alunan suara seruling yang melambat dan kemudian berhenti itu. Diam-diam ia merasa sangat kagum dan merasa betapa orang yang meniup seruling itu pastilah mempunyai kemampuan pinunjul dan susah di jajagi.


“Hmm… jika ada yang mengatakan bahwa batas pandangan kita adalah langit. Sebenarnyalah langit itu sendiri tidak berbatas, diatas langit masih ada langit! Pandangan kitalah yang sangat terbatas”, - tanpa sadar Kiai Garda merangkai kalimat untuk dirinya sendiri.


Sementara itu, semua mata seolah mengikuti arah pandangan Agung Sedayu dimana sejenak kemudian muncullah sesosok bayangan dari balik batu yang cukup besar itu. Perlahan-lahan bayangan itu berjalan menuruni tebing sungai yang sebenarnya juga tidak terlalu curam. Jalannya terlihat hati-hati seolah ia takut kalau kakinya tergelincir dan sama sekali tidak menunjukkan kelebihan sebagai seorang yang mampu menguasai ilmu olah kanuragan. Ketika sudah berdiri dekat, sesungguhnyalah Pandan Wangi melihat dan meyakini bahwa yang hadir benar-benar adalah Rudita saudaranya.


Sesungguhnya pertemuan itu sangat menggembirakan bagi Agung Sedayu, selama ini mereka sudah beberapa kali bertemu dalam suasana yang kurang menggembirakan karena perbedaan sikap yang terkadang cukup tajam antara keduanya.


Betapa dulu Agung Sedayu sempat termenung lama, ketika Rudita berkata bahwa ia adalah orang yang paling dekat, akan tetapi berdiri di seberang! Rudita yang menganggap bahwa ilmu kanuragan hanyalah ilmu yang akan semakin menyuburkan kekerasan dalam hidup, sementara Agung Sedayu sendiri berpendapat bahwa dengan ilmu itu ia justru bisa memberi penyeimbang atas ketidak-adilan dan tindak sewenang-wenang dari orang yang berniat jahat.


Demikianlah, setelah saling menyapa dan memperkenalkan diri pada beberapa orang yang hadir disitu, Agung Sedayu mengajak Rudita untuk mengambil tempat duduk untuk melingkari perapian lagi. Akan tetapi Rudita tidak segera duduk melainkan memandang Agung Sedayu sambil berdesis perlahan.


“Agung Sedayu, bukankah tengah malam tinggal sebentar lagi. Aku kira kau mempunyai sebuah tugas yang teramat penting dan belum tuntas kau selesaikan. Meskipun mungkin tidak berarti, tetapi jika diijinkan aku ingin membantu”


Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam, agaknya Rudita memang sudah hadir lama dan mengetahui semua yang sedang terjadi di tepian sungai Belehan ini. Ia tidak perlu lagi bercerita dan bahkan sesungguhnya hatinya bersyukur bahwa ternyata Rudita hadir di saat-saat yang sesungguhnya cukup sulit karena menghadapi situasi yang aneh dan belum terlalu dikenalnya.



“Ini adalah kali pertama aku bisa bekerja sama dengan Rudita. Agaknya Rudita juga memiliki pandangan yang sama bahwa kekuatan yang beralaskan pada ilmu hitam dari Resi Kali Belehan ini akan menyebar kerusakan pada tatanan hidup sehingga pantas untuk di musnahkan. Mudah-mudahan lain kali kami akan mempunyai pandangan yang sama atau tidak jauh berbeda”, - tanpa sadar Agung Sedayu berdesis dalam hati.


Karena itu, Agung Sedayu segera berdiri dan berkata - ,”Baiklah, aku dan Rudita akan bergeser mendekati tempuran atau kedung sungai itu. Sementara Kiai Garda aku mohon tetap disini bersama yang lainnya, sehingga kalaupun ada kebocoran yang tidak mampu kami tangani, maka Kiai bersama yang lain akan bisa melindungi diri”


Kiai Garda menganggukkan kepalanya tanpa menjawab, sementara sebelum melangkahkan kakinya untuk bergeser, tiba-tiba saja Agung Sedayu menoleh sambil berkata.


“Wangi, kemarilah. Ada sesuatu yang ingin aku katakan kepadamu”, - suara Agung Sedayu terdengar pelan.


Salam,

Ries

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...