



Sebenarnya malu juga mau nulis tentang gunung Bromo ini. Bukan apa2 sih, tetapi sebagai orang Jawa Timur dan sampai seumuran seperti ini saya baru sekali pergi kesana dan itupun baru sebulan yang lalu waktu libur Lebaran.
Setelah check-in di Bromo Cottage, siang menjelang sore itu saya dan anak2 jalan2 di halaman belakang. Pas saat itu para petani sedang panen wortel dan sayuran kubis/ kol, sehingga momen itu kita manfaatkan untuk berbelanja sayur sekalian. Model tawar-menawarnya sih seperti di pasar tradisional; satu kilo berapa pak? Boleh kurang tidak? Mau beli berapa kilo sih? And so on…and so on gitu….
Tapi, giliran membungkus barang, pak tani itu ternyata tidak punya timbangan, jadi akhirnya ya model kira2 saja (dan kayaknya mereka sudah terbiasa dengan model kira2 itu; he..he… mudah2an timbangannya tidak kurang J). Yang pasti - ini setelah kita coba di rumah – sayur kubisnya sangat renyah dan wortelnya ada rasa manis. Sehat banget!
Yang juga dapat kita nikmati adalah pesona aneka bunga yang jarang dapat kita temukan di kota. Baik dari jenis bunga yang baru maupun bunga yang sama tetapi mempunyai warna yang cerah dan lebih menarik.
Esok paginya pukul 03.45 kita kumpul di lobby dengan pakaian yang serba brukut. Kaos dalam rangkap tiga ditambah kaos sweater tebal, ditambah lagi jaket tebal plus tutup kepala ala orang kutub sono. Tidak lupa juga kaos kaki dan kaos tangan yang tebal. Secangkir teh panas yang kita nikmati pagi itu rasanya belum bisa menghangatkan badan yang menggigil.
Kata petugas hotel, pagi ini suhunya sekitar 9 drajat Celcius dan ini saat yang baik untuk melihat Bromo, karena bulan2 Desember – Januari biasanya suhunya lebih jahat hingga mencapai minus – belum lagi ditambah angin yang dipastikan tidak ramah.
Sekitar pukul 04.05 kita berangkat menggunakan jip ‘4-wheel drive’ yang memang menjadi kendaraan khusus untuk acara pendakian itu. Selain ketrampilan mengendarai mobil, pengenalan medan jalan sungguh sangat penting disini, karena kalau tidak bisa2 kendaraan kita bukannya naik tapi malah ‘nglondor’ turun he..he… Saran saya, kalau tidak yakin jangan bawa kendaraan MPV biasa deh, apalagi sewaktu di medan pasir, takutnya mobil slip dan banyak terselip pasir2 di mesin mobil.
Nah, pesona pertama adalah di Penanjakan Mount. Ada serombongan wis-dom berlogat Jakarta, yang mulutnya terus berdecak dan kemudian berbisik ke anaknya: “ Coba kokomu ikut…Ini tidak kalah dengan Swiss”
He..he.. saya jadi mikir, memang Swiss hebat ya? Saya memang sudah pernah lihat pegunungan Alpen yang kesohor itu, tetapi gambarnya doang…
Setelah check-in di Bromo Cottage, siang menjelang sore itu saya dan anak2 jalan2 di halaman belakang. Pas saat itu para petani sedang panen wortel dan sayuran kubis/ kol, sehingga momen itu kita manfaatkan untuk berbelanja sayur sekalian. Model tawar-menawarnya sih seperti di pasar tradisional; satu kilo berapa pak? Boleh kurang tidak? Mau beli berapa kilo sih? And so on…and so on gitu….
Tapi, giliran membungkus barang, pak tani itu ternyata tidak punya timbangan, jadi akhirnya ya model kira2 saja (dan kayaknya mereka sudah terbiasa dengan model kira2 itu; he..he… mudah2an timbangannya tidak kurang J). Yang pasti - ini setelah kita coba di rumah – sayur kubisnya sangat renyah dan wortelnya ada rasa manis. Sehat banget!
Yang juga dapat kita nikmati adalah pesona aneka bunga yang jarang dapat kita temukan di kota. Baik dari jenis bunga yang baru maupun bunga yang sama tetapi mempunyai warna yang cerah dan lebih menarik.
Esok paginya pukul 03.45 kita kumpul di lobby dengan pakaian yang serba brukut. Kaos dalam rangkap tiga ditambah kaos sweater tebal, ditambah lagi jaket tebal plus tutup kepala ala orang kutub sono. Tidak lupa juga kaos kaki dan kaos tangan yang tebal. Secangkir teh panas yang kita nikmati pagi itu rasanya belum bisa menghangatkan badan yang menggigil.
Kata petugas hotel, pagi ini suhunya sekitar 9 drajat Celcius dan ini saat yang baik untuk melihat Bromo, karena bulan2 Desember – Januari biasanya suhunya lebih jahat hingga mencapai minus – belum lagi ditambah angin yang dipastikan tidak ramah.
Sekitar pukul 04.05 kita berangkat menggunakan jip ‘4-wheel drive’ yang memang menjadi kendaraan khusus untuk acara pendakian itu. Selain ketrampilan mengendarai mobil, pengenalan medan jalan sungguh sangat penting disini, karena kalau tidak bisa2 kendaraan kita bukannya naik tapi malah ‘nglondor’ turun he..he… Saran saya, kalau tidak yakin jangan bawa kendaraan MPV biasa deh, apalagi sewaktu di medan pasir, takutnya mobil slip dan banyak terselip pasir2 di mesin mobil.
Nah, pesona pertama adalah di Penanjakan Mount. Ada serombongan wis-dom berlogat Jakarta, yang mulutnya terus berdecak dan kemudian berbisik ke anaknya: “ Coba kokomu ikut…Ini tidak kalah dengan Swiss”
He..he.. saya jadi mikir, memang Swiss hebat ya? Saya memang sudah pernah lihat pegunungan Alpen yang kesohor itu, tetapi gambarnya doang…
Ketika terpana dengan pesona didepan, tiba2 orang-orang pada ribut dan teriak2: Sun-rise…sun-rise, ….cepat…. dari sini” Saya jadi ikut2an mencari posisi yang pas untuk menikmati matahari terbit dan bisa mengambil gambarnya. Momen fantastis yang hanya tidak lebih dari 5 menit itupun serasa membekas panjang di ingatan….
Setelah dari Gunung Penanjakan, kita turun dan menyusuri “Sea of Sand” dan saat seperti inilah kendaraan Jip-4 Wheel Drive mengambil peran. Dengan gagah menerjang hamparan pasir.
Pengalaman mengendarai kuda dan naik ratusan tangga mungkin anak2 yang lebih terkesan. Sementara anak yang besar sudah membalap di depan, saya yang mendampingi si kecil yang baru pertama kali naik kuda sempat mendengar dia bertanya pada pemandunya; “ Pak, kudanya namanya siapa”.
Sang pemandu menjawab dengan pendek:”Wage“
Sayang, kawah Bromo tidak bisa dilihat dasarnya. Terlebih lagi aroma belerang begitu kuat sehingga kita tidak bisa berlama-lama diatas.
Tetapi pesona Bromo memang luar biasa. Hati siapa yang tidak tersentuh oleh indahnya kawah Bromo yang mengeluarkan asap belerang, sementara disampingnya tegak dengan manisnya Gunung Batok dengan goresan2 fantantis di badannya.
Ketika badan dan rambut penuh debu, ternyata hati justru penuh haru.
Salam pesona,
Ries
Pengalaman mengendarai kuda dan naik ratusan tangga mungkin anak2 yang lebih terkesan. Sementara anak yang besar sudah membalap di depan, saya yang mendampingi si kecil yang baru pertama kali naik kuda sempat mendengar dia bertanya pada pemandunya; “ Pak, kudanya namanya siapa”.
Sang pemandu menjawab dengan pendek:”Wage“
Sayang, kawah Bromo tidak bisa dilihat dasarnya. Terlebih lagi aroma belerang begitu kuat sehingga kita tidak bisa berlama-lama diatas.
Tetapi pesona Bromo memang luar biasa. Hati siapa yang tidak tersentuh oleh indahnya kawah Bromo yang mengeluarkan asap belerang, sementara disampingnya tegak dengan manisnya Gunung Batok dengan goresan2 fantantis di badannya.
Ketika badan dan rambut penuh debu, ternyata hati justru penuh haru.
Salam pesona,
Ries
No comments:
Post a Comment