Dalam sebuah pengajian di PUSDA - YDSF minggu lalu, ada uraian dari Ustadz penyaji yang patut kita catat dan garis-bawahi. Menjawab pertanyaan dari peserta pengajian, beliau menegaskan bahwa dimensi ibadah itu nantinya tujuan utamanya hanya mengarah ke dua tujuan. Semua amalan2 baik yang dikerjakan karena Allah dengan niat ibadah dan yang sesuai dengan tuntunan serta contoh dari Rosullulloh SAW, maka akan tertampung dalam kotak pertama, yaitu pahala dan ridho dari Allah SWT.
Sedangkan amalan2 yang dikerjakan bukan karena Allah - atau yang niat awalnya karena Allah tetapi proses ibadahnya tidak sesuai dengan isi Al-Qur’an dan sunnah Rosul, apalagi amalan jelek – maka otomatis akan tertampung pada kotak kedua yang dikelola oleh syaiton alias setan. Tidak ada kotak ketiga. Sebagaimana kita juga yakini bahwa kelak diakherat hanya ada dua tempat sebagai balasan untuk kita; surga dan neraka!
Yang saya tangkap disini bahwa Ustadz sangat menekankan sikap hati-hati dalam beribadah agar kita tidak gampang terjerumus. Ini sangat krusial, mengingat banyak orang merasa benar – karena telah berbuat baik – tetapi dia tidak sadar bahwa ia sedang melakukan bid’ah. Saya sungguh tidak berani mengupas tentang hal ini (bid’ah) mengingat hal ini biasanya akan memunculkan perdebatan panjang – sementara pengetahuan dan bekal saya tentang agama sungguh masih sangat minim.
Saya justru sedang membayangkan dan menarik hubungan dari uraian ustadz dengan pekerjaan yang kita geluti sehari-hari. Penjelasan tentang dimensi ibadah diatas sungguh terang benderang, bagaikan dua pilihan antara hitam dan putih. Bahwa bekerja adalah ibadah, maka hasil bekerja kitapun nantinya akan masuk ke salah satu dari dua kotak diatas.
Tetapi pada kenyataannya, dalam bekerja – bahkan bermasyarakat - kita sering menjumpai yang kita sebut ‘grey area’. Mungkin saja munculnya istilah ini adalah juga karena ada niat kita untuk ‘excuse’ atau mencari pembenaran agar tidak dianggap terlalu bersalah. Ambil contoh kecil tentang budaya dimasyarakat kita;>,- ketika kita ditangkap polisi karena “dianggap” melanggar lalu-lintas, maka agar tidak bertele-tele “kita berinisiatif” untuk memberikan salam tempel dan penyelesaian ditempat saat itu juga kepada pak polisi – toh uang kecil. Sayangnya, polisipun menyambut dan berkenan dengan solusi ini. Beres, semua selesai tanpa merasa sakit hati terlalu berlebihan.
Kita akan berkata; saya memberikan salam tempel karena sebenarnya saya tadi itu tidak bersalah. Polisinya saja yang sok teliti dan terlalu mencari-cari kesalahan. Kalau harus ke pengadilan kan repot, makan waktu, bertele-tele dan pasti juga tetap didenda/ bayar. Belum lagi kemungkinan bahwa uang denda yang kita bayarkan ternyata juga bisa dikorupsi, kan sama saja. Daripada repot ngurusi itu, mending waktunya saya pakai kerja dan ibadah di masjid. Jadi kita memang harus praktis.
Polisi akan berkata; wong saya tidak minta, dia sendiri yang memberi salam tempel sebagai rasa bersalah. Wajar saja kalau orang bersalah - tetapi tidak ingin repot – mengeluarkan biaya penyelesaian seperti ini. Saya juga tidak akan makan sendiri dan mungkin akan sumbangkan sebagian dari salam tempel ini ke pengemis atau masjid.
Nah lo…
Masalah diatas memang sudah dianggap selesai (didunia).
Tetapi dari dimensi ibadah, akankah tindakan kita dan pak polisi itu masuk ke kotak yang kedua? Kalau kotak pertama rasanya gak mungkin ya – ataukah kalau memang tidak ada kotak ketiga – adakah amalan yang mengambang untuk kemudian – setelah final calculation - masuk ke salah satu dari dua kotak yang ada?
Tetapi Ustadz sudah menegaskan; tidak ada amalan yang mengambang!! Pada akhirnya kita akan dihadapkan pada dua pilihan akhir;>,- putih-hitam, halal–haram dan surga- neraka.
Padahal contoh diatas adalah hal yang biasa kita anggap sepele Sementara dalam berbisnis kita banyak menjumpai hal-hal yang jauh lebih besar, yang melibatkan banyak pihak dan yang celakanya solusinya adalah dengan berkompromi. Kata ‘kompromi’ sekarang ini konotasinya sering bermakna meng-akomodasi kepentingan orang lain yang cenderung negative – ataukah selangkah akan sama dengan kolusi(?)
Bukan main, kita memang harus lebih berhati-hati!!
Salam dari hati,
Ries
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
BSG - BAB.V - AUP - Babak-16
BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...
-
“ Aku kira memang ini Glugut Pring Wulung “, - Ki Widura menjawab meskipun dengan sedikit ragu,” – memang gejala yang muncul masih belum n...
-
BALADA SWANDARU GENI Bab IV: Hilangnya Seorang Swandaru Geni Babak – 03 Sementara itu langit di bumi Mataram yang sebenarnya cu...
-
Pagi itu Kademangan Sangkal Putung turun hujan meskipun tidak terlalu lebat, bahkan ketika perlahan-lahan sinar mentari mulai menampakkan ...
No comments:
Post a Comment