Friday, March 23, 2007

"Business Breakthrough"

Kemarin sore sepulang sekolah, anak perempuan saya yang kecil menangis tersedu-sedu karena kakinya yang sebelumnya digigit semut - akibat main ‘bekel’ dilantai - tiba2 bengkak dan bahkan ber-nanah. Anak saya yang memang jarang atau mungkin belum pernah melihat ‘nanah’ (baca: darah putih) merasa jijik, apalagi melihat kakinya yang bengkak. Akibatnya, dia terus menangis dan menangis dan saya hanya bisa mengoleskan minyak gosok ‘tjap-tawon’ tanpa berhasil menenangkannya.
Malamnya, ketika dia sudah tidur, saya mengambil jarum dan kapas untuk kemudian ‘menyudet’ luka bernanah di kakinya (padahal sebelumnya dia sudah minta saya bersumpah untuk tidak disudet). Darah putihnya mengucur dan segera saya seka dengan kapas. Tidak ada tangisan ataupun jerit kesakitan seperti yang ditakutkan. Ia tetap tidur dengan nyenyak dan luka itupun dengan cepat mengering.
Pagi hari ketika bangun, anak saya sudah senyum2 sambil mengelus-elus kakinya yang sudah hampir balik normal. Kakaknya yang masih tidur disampingnya menggoda dan bercerita bahwa tadi malam kakinya itu disudet memakai pisau operasi.

Saya membayangkan:

  • Betapa ada, bahkan banyak hal-hal yang kita kuatir dan takutkan hanya karena tidak tahu dan takut akan bayangan
  • Kata ‘sudet’ ini mengingatkan saya pada istilah ‘business break-through’. Adakah jalan/ terobosan yang instant yang dapat menyembuhkan dan menggairahkan bisnis yang sedang sakit atupun lesu? Tanpa banyak kekuatiran ataupun rasa sakit .

Ada banyak pebisnis yang sukses dengan terobosan-terobosan baru yang mencengangkan. Ada banyak pula pebisnis yang jatuh bahkan gulung tikar gara-gara terbelenggu pada pola2 lama sehingga terlindas mereka yang inovatif.

Adalah mereka semua itu pernah menderita luka bernanah dan kemudian ‘disudet’?

Salam breakthrough,
Ries

Wednesday, March 21, 2007

Tentang ke-Hati2-an!!

Dalam sebuah pengajian di PUSDA - YDSF minggu lalu, ada uraian dari Ustadz penyaji yang patut kita catat dan garis-bawahi. Menjawab pertanyaan dari peserta pengajian, beliau menegaskan bahwa dimensi ibadah itu nantinya tujuan utamanya hanya mengarah ke dua tujuan. Semua amalan2 baik yang dikerjakan karena Allah dengan niat ibadah dan yang sesuai dengan tuntunan serta contoh dari Rosullulloh SAW, maka akan tertampung dalam kotak pertama, yaitu pahala dan ridho dari Allah SWT.
Sedangkan amalan2 yang dikerjakan bukan karena Allah - atau yang niat awalnya karena Allah tetapi proses ibadahnya tidak sesuai dengan isi Al-Qur’an dan sunnah Rosul, apalagi amalan jelek – maka otomatis akan tertampung pada kotak kedua yang dikelola oleh syaiton alias setan. Tidak ada kotak ketiga. Sebagaimana kita juga yakini bahwa kelak diakherat hanya ada dua tempat sebagai balasan untuk kita; surga dan neraka!

Yang saya tangkap disini bahwa Ustadz sangat menekankan sikap hati-hati dalam beribadah agar kita tidak gampang terjerumus. Ini sangat krusial, mengingat banyak orang merasa benar – karena telah berbuat baik – tetapi dia tidak sadar bahwa ia sedang melakukan bid’ah. Saya sungguh tidak berani mengupas tentang hal ini (bid’ah) mengingat hal ini biasanya akan memunculkan perdebatan panjang – sementara pengetahuan dan bekal saya tentang agama sungguh masih sangat minim.

Saya justru sedang membayangkan dan menarik hubungan dari uraian ustadz dengan pekerjaan yang kita geluti sehari-hari. Penjelasan tentang dimensi ibadah diatas sungguh terang benderang, bagaikan dua pilihan antara hitam dan putih. Bahwa bekerja adalah ibadah, maka hasil bekerja kitapun nantinya akan masuk ke salah satu dari dua kotak diatas.

Tetapi pada kenyataannya, dalam bekerja – bahkan bermasyarakat - kita sering menjumpai yang kita sebut ‘grey area’. Mungkin saja munculnya istilah ini adalah juga karena ada niat kita untuk ‘excuse’ atau mencari pembenaran agar tidak dianggap terlalu bersalah. Ambil contoh kecil tentang budaya dimasyarakat kita;>,- ketika kita ditangkap polisi karena “dianggap” melanggar lalu-lintas, maka agar tidak bertele-tele “kita berinisiatif” untuk memberikan salam tempel dan penyelesaian ditempat saat itu juga kepada pak polisi – toh uang kecil. Sayangnya, polisipun menyambut dan berkenan dengan solusi ini. Beres, semua selesai tanpa merasa sakit hati terlalu berlebihan.

Kita akan berkata; saya memberikan salam tempel karena sebenarnya saya tadi itu tidak bersalah. Polisinya saja yang sok teliti dan terlalu mencari-cari kesalahan. Kalau harus ke pengadilan kan repot, makan waktu, bertele-tele dan pasti juga tetap didenda/ bayar. Belum lagi kemungkinan bahwa uang denda yang kita bayarkan ternyata juga bisa dikorupsi, kan sama saja. Daripada repot ngurusi itu, mending waktunya saya pakai kerja dan ibadah di masjid. Jadi kita memang harus praktis.

Polisi akan berkata; wong saya tidak minta, dia sendiri yang memberi salam tempel sebagai rasa bersalah. Wajar saja kalau orang bersalah - tetapi tidak ingin repot – mengeluarkan biaya penyelesaian seperti ini. Saya juga tidak akan makan sendiri dan mungkin akan sumbangkan sebagian dari salam tempel ini ke pengemis atau masjid.

Nah lo…

Masalah diatas memang sudah dianggap selesai (didunia).

Tetapi dari dimensi ibadah, akankah tindakan kita dan pak polisi itu masuk ke kotak yang kedua? Kalau kotak pertama rasanya gak mungkin ya – ataukah kalau memang tidak ada kotak ketiga – adakah amalan yang mengambang untuk kemudian – setelah final calculation - masuk ke salah satu dari dua kotak yang ada?

Tetapi Ustadz sudah menegaskan; tidak ada amalan yang mengambang!! Pada akhirnya kita akan dihadapkan pada dua pilihan akhir;>,- putih-hitam, halal–haram dan surga- neraka.

Padahal contoh diatas adalah hal yang biasa kita anggap sepele Sementara dalam berbisnis kita banyak menjumpai hal-hal yang jauh lebih besar, yang melibatkan banyak pihak dan yang celakanya solusinya adalah dengan berkompromi. Kata ‘kompromi’ sekarang ini konotasinya sering bermakna meng-akomodasi kepentingan orang lain yang cenderung negative – ataukah selangkah akan sama dengan kolusi(?)

Bukan main, kita memang harus lebih berhati-hati!!

Salam dari hati,
Ries

Monday, March 19, 2007

Kejelian itu...

Ada kisah yang cukup inspiratif (bagi saya) yang ditulis Khaled Hossaini dalam bukunya ‘The Kite Runner’ yang sempat jadi best seller di US itu. Inti cerita dari Amir Agha – yang notabene terpelajar dan dari keturunan ningrat – itu singkatnya mengisahkan seorang pria miskin yang menemukan cangkir ajaib. Ajaib, karena ia tahu bahwa kalau dia menangis dihadapan cangkir itu, maka air mata yang jatuh kedalam cangkir itu akan berubah menjadi butiran-butiran mutiara.
Tetapi, meskipun selalu hidup dalam kemiskinan, pria itu senantiasa bahagia dan jarang meneteskan air mata. Jadi dia berusaha menemukan berbagai cara untuk membuat dirinya bersedih sehingga airmatanya bisa membuatnya kaya. Seiring dengan bertambah tingginya tumpukan mutiara, keserakahannya-pun bertambah besar. Kisah ini berakhir dengan si pria yang duduk diatas tumpukan mutiara - dengan pisau penuh darah ditangan – menangis sejadi-jadinya diatas cangkir itu sambil memeluk tubuh istri tercintanya yang sudah tidak bernyawa lagi.
Sang Amir Agha yang bangga dengan ide cerita itu kemudian tersendak dan tidak bisa menjawab ketika ditanya oleh seorang ‘hazara’ miskin dan buta huruf; Cerita itu memang sangat mengharukan, tetapi mengapa pria itu harus membunuh istrinya? Mengapa dia harus merasa sedih untuk mengucurkan airmatanya? Bukankah lebih mudah kalau dia menghirup aroma bawang merah saja?

Sungguh, pemikiran kitapun mungkin terlalu terbawa-bawa sebagaimana ide cerita diatas. Bahwa kesuksesan atau keberhasilan itu harus dicapai dengan kerja keras dan melakukan sesuatu yang besar. Kitapun siap mengorbankan waktu, tenaga dan semua yang kita miliki (sebagai modal) agar kita bisa ‘kaya’. Untuk menjadi kaya mestinya kita punya pabrik dengan ratusan/ ribuan karyawan. Kalau kita karyawan, paling tidak kita harus menduduki jabatan yang cukup tinggi agar punya wewenang yang besar serta datangnya penghormatan karena jabatan kita itu. Mungkin juga kita harus berangkat pagi2 (atau mungkin siang) tetapi biasanya pulang larut malam (meskipun mungkin itu sekedar untuk memperluas network dengan acara2 dinner atau yang lain2). Pokoknya harus berkorban dan kerja keraslah!!

Seorang teman menyanggah, bukankah itu memang yang benar adanya dan memang harus dilakukan, lalu dimana salahnya?

Ya, sayapun sepakat bahwa itu adalah benar dan bahkan sedang saya lakukan!!

Tetapi kisah diatas mengingatkan saya akan adanya pepatah : “Work smarter not (only) harder”. Terlebih beberapa waktu yang lalu saya sempat mengorek dapur/penghasilan dari seorang penjual ‘soto ayam’ yang berjualan mulai jam 07.00 s/d 14.00. Dalam satu hari rata-rata omzet adalah 1.5 – 2 jt. Dengan asumsi net-profit sekitar 30%, maka keuntungan bersihnya minimal 13.5 jt/ bulan!! Sebagai pemilik usaha (meskipun hanya soto ayam) dia cukup mengawasi saja dan tidak harus kerja keras – apalagi berkorban!! Belum lagi kalau kita amati beberapa orang yang mengelola ‘niche’ market yang ada. Sebutlah (lagi2) Ahira – Internet Marketer - yang milyarder itu, lalu Gunawan bos-nya “Godong Ijo” yang sukses menjalankan bisnis hobbinya, ada lagi Keith Wilson dengan ‘Anything Left-Handed’ yang mengkhususkan diri untuk menjual barang2 khusus untuk orang2 kidal. Mereka memang smart dan menjalankan pekerjaan dengan santai tetapi jeli.

Kejelian tiap orang memang tidak sama, tetapi sangat mungkin untuk bisa kita tangkap sesuai dengan porsi kita. Nah, ketika kejelian itu tertangkap, masihkan kita HARUS bekerja keras?

Kejelian itu luar biasa.

Salam jeli,
ries

Thursday, March 15, 2007

(my first) Take Action !!

Assalamua'alaikum wr wb.

Sungguh tidak mudah untuk memulai ini. Saya yang dasarnya memang 'gaptek' dan tidak paham komputer, sekarang memberanikan diri untuk membuat blog ini. Serasa masuk dalam belantara hutan, yang meskipun didalamnya terdapat beraneka rambu, tetapi masih juga membuat saya ragu dan sering termangu.

Berawal dari ekpos yang bombastis tentang perkembangan internet marketing di Indonesia. Wah...benar gak sih dari internet lahir seorang milyarder seperti Anne Ahira itu? Sejauh ini, saya hanya menggunakan internet sebatas untuk email saja (maklum jenis pekerjaan juga masih tradisional sih). Gak lebih. Koq seorang Ahira - yang katanya juga berawal dari 'nol puthul' -sekarang bisa masuk dalam jajaran Top 10 Internet Marketing dunia?

Ya sudah,..katanya pak Tung Desem Waringin yang ahli motivator itu, selain membaca/belajar maka tahap yang juga sangat penting adalah 'take action'. Tak perduli seberapa jelek dan banyak kesalahan yang kita buat pada awalnya, tetapi setelah melangkah kita bisa menilai dan memperbaiki kekurangan2 yang ada. Dengan 'take action' proses belajar jadi bisa lebih cepat.
Makanya, tulisan awal ini mungkin tidak banyak bermakna, tetapi saya sangat berharap akan ada perbaikan dikelak kemudian hari. Itu karena saya juga sangat meyakini pepatah bijak; "no action, nothing happen; take action, miracle happen; only action can bring us closer to our dream".

Mungkin juga 'title' bog ini serasa 'kemelipen' (ketinggian), tetapi memang saya berharap bahwa dengan media ini akan ada interaksi dengan teman-teman seprofesi, sehobby, seiman dan se...se... yang lain. Kita bisa menulis apa saja tentang ketertarikan kita dalam pekerjaan, lingkungan, ibadah atau yang lainnya sehingga kita bisa mendekati 'goal setting' kita i.e.: "Enhancing The Quality of Life"

Wassalam,
ries

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...