BALADA SWANDARU GENI
Sebuah Perjalanan
Babak-27
Sebuah Perjalanan
Babak-27
Tubuh Hantu Laut yang menebar hawa panas dan bahkan tangannya
yang membara itu kini berbenturan dengan
titik-titik salju beku yang sangat keras dan teramat dingin. Akibatnya kembali
terdengar suara mendesis yang keras dan panjang ketika tubuh membara itu
bersentuhan dengan percikan titik-titik salju beku yang merupakan penjelmaan dari
keringat Kiai Garda yang memang mengucur dengan deras. Selain menebar hawa teramat
dingin, ternyata ajian yang diterapkan Kiai Garda itu mampu merubah keringat
tubuhnya menjadi air membeku dan menjadi percikan-percikan yang sangat
membahayakan lawan.
Agak berbeda jika sarana bertemunya hawa panas dan dingin itu
adalah air dalam kolam, maka pengaruhnya adalah suhu air kolam itu akan berubah
menjadi panas atau dingin sesuai hawa mana yang lebih kuat pengaruhnya. Tetapi
kali ini sarana pertemuan hawa panas dan dingin membeku itu adalah di tubuh
Hantu Laut, maka tak bisa dibayangkan betapa sangat berpengaruhnya kulit dan
tubuh Hantu Laut itu.
Suara mendesis keras dan panjang itu muncul dari permukaan kulit
Hantu Laut yang kemudian terlonjak karena terperanjat dan rasa sakit yang menyengat
luar biasa.
Hantu Laut itu memang tidak mampu melapisi tubuhnya dengan ilmu
kebal. Ia justru mempercayakan pada ilmu api-nya untuk selalu keluar menyerang
dan selama ini tidak ada lawan yang mampu mendekatinya. Hantu Laut itu meyakini
bahwa pertahanan terbaik adalah dengan menyerang.
Kini percikan air beku yang keras dan sedingin salju itu ternyata
mampu menerobos dan bahkan menembus kulitnya yang membara. Sebuah tusukan-tusukan
kecil yang tajam tetapi membawa rasa sakit yang luar biasa dan menembus hingga
ke tulang. Bahkan ketika Hantu Laut itu sempat memperhatikan dengan seksama,
dilihatnya permukaan kulit yang tersentuh percikan itu telah berlubang dan kemudian
berasap sambil meninggalkan suara
mendesis berkepanjangan.
Akibat terperanjat dan menahan rasa sakit yang luar biasa itu, tubuh
hantu itu sampat terlonjak-lonjak beberapa kali dan kehilangan konsentrasinya. Kejadian
ini sama sekali diluar perhitungannya bahwa ada rasa dingin membeku yang sedemikian
tajam dan kemudian mampu menembus perisai ilmu apinya. Hantu Laut itu lengah
meski hanya beberapa kejap.
Tetapi yang sekejab itu berakibat sangat fatal, Kiai Garda yang
melihat kelengahan lawannya tidak mau membuang kesempatan. Tanpa berhenti tubuhnya
berputar lebih cepat seperti gasing sambil terus menebarkan percikan air dingin
membeku yang begitu keras.
Sebelum Hantu Laut itu bersiap dan menyadari keadaannya,
tiba-tiba ujung tangan kanannya mendapat sebuah hantaman yang keras dari
samping. Hantaman tongkat Galih Wulung yang disertai tenaga besar serta
berlapis udara beku itu membuat Hantu Laut tidak mampu mempertahankan keris
pusakanya untuk tetap di tangannya.
Tak tertahankan lagi Kiai Djangkung Dahana itu terlontar ke
udara dan kemudian jatuh ke tanah beberapa tombak dari lingkaran pertempuran
itu. Saat lepas dari tangan Hantu Laut itu, ternyata pamor keris itu sudah
tidak membara lagi dan kini tergeletak layaknya keris pada umumnya. Ini
membuktikan betapa tingginya ilmu api Hantu Laut yang mampu membuat apapun yang
dipegangnya menjadi membara.
Sementara itu Hantu Laut yang menyadari lepasnya pusaka dari
tangannya itu justru telah membuat keputusan nekad. Tanpa memperdulikan rasa
sakit yang menusuk-nusuk tubuhnya yang meninggalkan suara desisan panjang
akibat serangan butiran beku ditubuhnya, ia segera mengerahkan seluruh
tenaganya hingga ke puncak dan tiba-tiba saja tubuhnya meluncur cepat hendak menabrak
dan menembus putaran gasing Kiai Garda.
Hantu itu sudah memutuskan untuk mengadu nyawa apapun yang
terjadi.
Semua yang melingkari arena pertarungan itu seolah tidak sempat
bernafas lagi. Mereka seolah diberi sebuah tontonan yang sangat menegangkan dan
tidak pernah terbayangkan kedahsyatannya.
Kiai Garda yang melihat tindakan nekad dari lawannya itu juga
tidak berniat untuk menghindar lagi. Dengan mempercayakan keselamatan dan
mengucap doa kepada Yang Maha Agung, putaran tubuhnya terlihat lebih cepat sambil
tangan kirinya beberapa kali terlihat melakukan tusukan dan tolakan, sementara
tangan kanannya melakukan hantaman dengan tongkatnya.
Tak terhindarkan lagi, terjadilah benturan antara dua bayangan
yang bergerak sangat cepat, dan menimbulkan suara teramat keras dan bergemuruh.
Diantara suara benturan keras dan desisan panjang itu, menyusul kemudian suara
jeritan menyayat menahan sakit yang luar biasa.
Sebenarnyalah, serangan yang melanda Hantu Laut disaat-saat
terakhir itu sangatlah dahsyat dan memang tidak bisa ditahannya. Niat Hantu
Laut untuk membenturkan tubuhnya dengan lawannya tidak pernah kesampaian.
Dengan tubuh yang berputar bagai gasing, Kiai Garda selalu bisa
menolak serangan yang datang, dan bahkan sambil melancarkan tusukan tangan
kirinya yang dilambari ajian Cunda manik. Pada saat yang sama, putaran tubuhnya
yang cepat itu menghasilkan keringat yang berlimpah dan berubah menjadi
percikan keras yang membeku yang menebar dan menyerang seluruh bagian tubuh
hantu itu.
Hantu Laut itu bagaikan terjebak dan terikat dalam sebuah sumur
sempit yang tidak memungkinkannya untuk menghindar lagi. Tubuh Kiai Garda
berputar mengelilinginya dan melakukan tolakan dan tusukan yang tidak mampu
lagi dihindarinya sehingga ia melolong kesakitan. Apalagi ketika sebuah
hantaman keras dari tongkat Galih Wulung itu menghantam dadanya. Sebenarnyalah
nyawa Hantu itu sudah melayang terlebih dahulu sebelum sebuah ayunan tangan
Kiai Garda melemparkannya beberapa tombak untuk kemudian jatuh terkapar di tanah.
Kedua bayangan itu kemudian secara hampir bersamaan terlontar
mundur hampir dua tombak jauhnya. Kiai Garda terlihat masih berdiri tegak dengan
nafas yang terengah-engah dan wajah yang sangat pucat. Bahkan agaknya ia tidak
mampu untuk terus berdiri, perlahan-lahan kakinya tertekuk turun dan kemudian membungkuk
dengan kedua tangannya menahan berat tubuhnya yang bertumpuan di tanah.
Murid Kiai Garda yang tertua segera berlari mendekati gurunya di
susul adik-adiknya.
“Bagaimana keadaan Guru”,-
tanyanya dengan wajah kuatir.
“Air”, - terdengar suara Kiai Garda tanpa menjawab pertanyaan
muridnya.
Muridnya yang termuda segera tanggap dan tanpa membuang waktu
segera ia berlari masuk ke dapur banjar untuk mencari kendi yang biasanya
berisi air minum.
Agaknya pertarungan itu cukup menguras tenaga Kiai Garda,
pengerahan ajian yang memanfaatkan keringat di tubuhnya itu telah menguras
cairan yang tersimpan dalam tubuhnya dengan cepat. Ajian ini memang tidak bisa
diterapkan untuk jangka panjang melainkan hanya di saat-saat terakhir pertarungan.
Meskipun Kiai Garda tidak mengalami luka dalam sama sekali
tetapi tubuhnya teramat letih akibat hilangnya cairan dalam tubuhnya. Hanya pada
jubah yang dikenakan itu juga terlihat beberapa titik hitam yang berlubang karena
hangus.
Sementara itu beberapa pengawal terlihat mendekat dan mengerumuni
tubuh Hantu Laut yang tergeletak tak bergerak lagi. Ketika sudah dekat,
beberapa diantara mereka terpaksa membuang wajahnya karena ngeri melihat
keadaan tubuh hantu itu. Hampir di semua bagian tubuhnya yang tidak tertutupi
pakaian terlihat berlubang dan melempuh merah kehitaman. Bahkan di wajahnya
juga ada beberapa pagian yang berlubang dan melempuh merah kehitaman akibat
terkena percikan air beku dari Kiai Garda.
Benar-benar sebuah akhir pertarungan yang mengerikan.
Demikianlah, malam sudah mendekati dini hari dan pertempuran di
halaman banjar itupun telah selesai. Kiai Garda nampak sedang duduk bersila dengan
tangan menyilang di dadanya, agaknya ia sedang memusatkan nalar budi-nya untuk
memperbaiki kondisi tubuhnya setelah minum air beberapa teguk dari kendi yang
diambilkan muridnya.
Sementara itu ternyata tubuh Swandaru Geni sudah diangkat naik
dan dibaringkan di pendapa banjar.
Salam,
Bagi para sanak-kadang FB yang ketinggalan/ belum membaca
seri-seri sebelumnya, silahkan bisa menikmatinya di blog sy; http://pudjo-riswantoro.blogspot.co.id
1 comment:
Matur-nuwun, Màntap.
Post a Comment