BALADA SWANDARU GENI
Sebuah Perjalanan
Babak-19
Sebuah Perjalanan
Babak-19
Tetapi Swandaru tidak bisa mengamati tata gerak Kiai Garda itu lebih seksama karena iapun harus menghindar dan melayani serangan-serangan dari Watu Gempal yang datang membadai. Hanya saja gerakan Kiai Garda yang cepat dan kemampuan merubah serangan dari segala arah dengan cara melenting-lenting itu rasanya tidak berbeda jauh dengan gerakan yang belum lama ini ditunjukkan istrinya saat melatih ajian Asta Sewu.
“Apakah orang itu yang menjadi sumber ajian Asta Sewu sebagaimana yang pernah diceritakan kakang Agung Sedayu?”, - Swandaru sempat bertanya-tanya dalam hati.
Sebuah sambaran tangan yang keras hampir saja menyentuh pundak kiri Swandaru, beruntung ia masih sempat memiringkan tubuh bagian atasnya. Angin sambaran itu berdesing tajam dan meninggalkan tusukan-tusukan di bagian kulit tubuhnya meskipun tidak terlalu tajam. Hal ini menyadarkan Swandaru bahwa melawan Watu Gempal yang bertubuh raksasa ini ia tidak boleh kehilangan kewaspadaan sama sekali.
Demikianlah, lingkaran pertempuran itu berkobar semakin seru.
Tetapi di lingkaran pertempuran antara para pengawal melawan lima orang murid Hantu Laut itu terjadi perubahan yang cukup cepat. Ternyata kehadiran tiga orang murid Kiai Garda itu sangat berpengaruh karena agaknya masing-masing memiliki tingkat kepandaian yang tidak berselisih jauh dengan lima orang murid Hantu Laut itu.
Ditambah dengan para pengawal yang berjumlah puluhan, maka dengan cepat mereka mampu mendesak dan bahkan memojokkan lima orang murid Hantu Laut tersebut. Bahkan beberapa goresan pedang mulai terlihat menghiasi tubuh murid-murid Hantu Laut itu yang terus berusaha melawan.
Keadaan itu tidak lepas dari pengamatan Hantu Laut maupun adik seperguruannya yang berjuluk Watu Gempal.
Kedua saudara seperguruan itu menggeram hampir bersamaan. Dalam perjalanan pulang setelah menempuh sebuah perjalanan, dua muridnya itu menemui mereka dan merengek-rengek agar mereka mau singgah untuk memberi pelajaran pada warga Kademangan yang telah menghinanya. Selama ini kedua kakak beradik ini memang telah menjadi murid kesayangan Hantu Laut dan ia cenderung memanjakannya.
Apalagi cerita kedua muridnya tentang betapa cantik dan menariknya menantu Ki Demang itu semakin mendorong kedua gegedug itu untuk memenuhi permintaan muridnya.
Bagi Hantu Laut dan Wadas Gempal, merampas seorang perempuan yang dalam perlindungan sebuah kademangan terpencil seperti Kademangan Krikilan sangatlah mudah. Apalagi saat itu ada beberapa murid lain yang menyertainya, maka mereka berdua langsung menyanggupinya tanpa berpikir lebih jauh. Mereka memang sudah terbiasa bahwa apapun yang mereka inginkan haruslah terpenuhi tanpa ada yang bisa menolak.
Adalah sama sekali diluar dugaan mereka bahwa di kademangan kecil ini, telah hadir dua orang yang mampu mengimbangi kemampuan mereka berdua sehingga mereka terikat dalam sebuah pertarungan yang ketat.
Kini mereka menghadapi kenyataan betapa liat perlawanan yang mereka hadapi dan bahkan murid-murid mereka terdesak hebat.
Hantu Laut maupun Watu Gempal menggeram keras dan tandang mereka semakin buas. Dengan suara bergemuruh Hantu laut itu berteriak menyemangati murid-muridnya yang sekarang begitu terdesak hebat.
“Jangan takut atau menyerah, kalian adalah murid Hantu Laut yang menguasai seluruh pesisir utara Tuban. Bunuh semua lawan tanpa ragu atau mati bersama mereka!”
Suara itu memang membuat murid-muridnya yang sudah terlihat lemah itu kembali bersemangat dan bertempur dengan lebih keras. Tetapi pada saat yang sama, membuat kemarahan para pengawal kademangan semakin terungkit pada puncaknya. Apalagi, mereka meyakini bahwa ada beberapa kawannya yang sekarang terbaring malang melintang di halaman ini yang sedang meregang nyawa.
Para pengawal itu menjadi semakin marah, mereka mengurung dan menyerang semakin ganas dan seolah-olah menjadi wuru. Mereka sudah tidak ingat lagi bahwa diantara lawan-lawan mereka itu terdapat dua anak muda yang sesungguhnya adalah kawan main mereka sewaktu kecil dan merupakan anak kandung dari pemimpin kademangan.
Kiai Garda yang melihat keadaan itu menjadi berdebar-debar, ia berharap ketiga muridnya itu bisa membantu mengendalikan perasaan marah para pengawal yang sedang marah itu, sementara ia sendiri berusaha menekan Hantu Laut itu lebih keras.
Tetapi Hantu Laut sendiri justru dengan cepat meningkatkan serangannya dan berbalik menekan Kiai Garda. Kecepatan gerak hantu itu tiba-tiba meningkat pesat dan seolah-olah selalu mengejar dan mampu memotong semua gerak lenting dari Kiai Garda. Geraknya begitu cepat seolah tak tertangkap mata telanjang, agaknya gerak inilah yang mendasari sebutannya sebagai hantu.
Tanpa terhindarkan lagi terjadilah beberapa kali benturan keras yang membuat mereka berdua harus terpental mundur sebelum kemudian hantu itu meloncat maju dan melibat Kiai Garda lagi.
Tanpa terhindarkan lagi terjadilah beberapa kali benturan keras yang membuat mereka berdua harus terpental mundur sebelum kemudian hantu itu meloncat maju dan melibat Kiai Garda lagi.
Hantu Laut itu seolah tidak memerlukan waktu untuk mengambil nafas atau ancang-ancang sama sekali melainkan terus menggempur lawannya.
Kiai Garda yang mengalami gempuran itu menjadi semakin berhati-hati, ada hal yang menjadi perhatiannya bahwa pada setiap benturan, tenaga Hantu Laut itu justru senantiasa meningkat lebih besar. Kini bahkan secara sadar ia merasakan hawa panas yang muncul semakin kuat pada setiap benturan anggota tubuh mereka. Terpaksa Kiai Garda berusaha menghindari setiap benturan yang muncul karena agaknya hantu itu kini sudah merambah ada ilmu-ilmu simpanannya.
“Mampuslah, kau Kiai Garda, kau boleh saja berbangga mampu membunuh Ki Kalangan Abang, tetapi iapun akan terbakar mati jika menghadapi ilmu api-ku ini”, - suara Hantu Laut itu terdengar bengis disela-sela serangannya yang melanda tanpa henti.
Gerakan tangan dan kaki Hantu Laut menyambar-nyambar bergantian sambil menebarkan hawa panas disekitarnya. Bahkan dalam keremangan malam semakin lama tangan itu terlihat semakin merah dan membara, agaknya setiap sentuhan tangan itu akan mengakibatkan hangus terbakar.
Hantu Laut itu begitu bernafsu untuk mengejar dan melibat Kiai Garda agar bisa membentur dan melesakkan tangannya ke tubuh lawannya. Tetapi Kiai Garda begitu liat hingga sejauh ini ia belum mampu menyentuh atau membenturkan serangannya.
Bahkan sesaat kemudian Hantu Laut itu terpaksa menghentikan geraknya karena ia merasa kehilangan lawannya.
Sejauh ini, seberapapun cepat dan jauhnya gerak dan lentingan Kiai Garda, matanya masih mampu menangkap gerak itu dan kemudian memburu atau memotong geraknya agar bisa berbenturan.
Tetapi kini, orang maupun bayangan hitam Kiai Garda sama sekali tak terlihat sama sekali sehingga hantu itu terpaksa menghentikan serangannya sesaat.
Sesungguhnyalah Kiai Garda telah menerapkan salah satu ilmunya untuk bisa menghindar dari kejaran Hantu Laut yang tiada henti. Ia sudah tidak bisa lagi mengandalkan kecepatan gerak ataupun kemampuan melenting tinggi yang agaknya telah diimbangi oleh Hantu Laut itu.
Karena itu disaat ia terpojok oleh kejaran Hantu Laut itu, tiba-tiba saja tubuhnya bagaikan menghilang dan dalam sekejab telah berdiri disisi yang lain tanpa sempat di tangkap oleh mata Hantu Laut itu.
Hati Hantu Laut itu terasa berdebar-debar kencang, ia sadar bahwa Kiai Garda adalah orang yang telah membunuh musuh bebuyutannya Ki Kalangan Abang. Tetapi ia sama sekali tidak mengira bahwa saat ini ia bahkan tidak mampu menangkap bayangan lawannya itu sama sekali.
Tetapi hantu itupun mempunyai pengalaman yang bertimbun di dalam dirinya dan tidak mudah putus asa. Panggraitanya segera menangkap dan menyadari bahwa sesungguhnya lawannya itu telah berdiri di belakangnya sejak tadi dan sengaja membiarkannya untuk menilai keadaan.
Sesaat kemudian Hantu Laut itu membalikkan tubuhnya justru dengan pelan-pelan.
Dilihatnya Kiai Garda berdiri tegak memandangnya sambil tersenyum.
Sambil melangkah mendekat Hantu Laut itu menggeram,” – Ini sama sekali bukan Aji Panglimunan, ilmu apakah yang sedang kau terapkan ini Kiai?”
Salam,
No comments:
Post a Comment