Thursday, April 6, 2017

BSG - Sebuah Perjalanan - Babak-25

BALADA SWANDARU GENI
Sebuah Perjalanan
Babak-25

Sebenarnyalah Swandaru sudah dalam keadaan yang sangat sulit. Betapapun ia melapisi tubuhnya dengan ilmu kebal sejenis Tameng Waja, tetapi ia masih merasakan tekanan hawa panas dari Watu Gempal yang juga meningkatkan ilmu api-nya hingga tataran puncak. Butiran keringat terus membasahi tubuh dan wajah Swandaru, sementara ia masih berusaha untuk mencari celah agar bisa melakukan serangan balik atas raksasa itu.

Cambuknya berputar cepat untuk menahan raksasa itu mendekat sehingga ia bisa sedikit menahan sengatan udara panas di tubuhnya. Beberapa sengatan ujung cambuknya bahkan telah kembali melukai tubuh Watu Gempal. Namun raksasa itu seolah tidak terpengaruh atas luka-luka itu dan terus melanda Swandaru dengan ayunan luwuk besarnya yang menebar terus udara panas.

Sebagaimana Hantu Laut yang merupakan kakak seperguruannya, Watu Gempal meyakini bahwa yang ia perlukan adalah membentur dan menyarangkan senjata atau pukulan tangannya yang sudah membara itu ketubuh lawan. Cukup sekali atau dua kali dan itu akan membawa kemenangan dipihaknya. Sementara luka-luka cambuk yang mulai silang menyilang ditubuhnya ia abaikan karena luka itu hanya memunculkan rasa pedih meskipun darah mulai mengalir.

Sekilas Wadas Gempal sempat melihat pertarungan antara kakak seperguruannya melawan Kiai Garda yang belum menampakkan tanda-tanda siapa yang lebih unggul. Ia sendiri sangat mengagumi kakak seperguruannya itu yang dalam berbagai hal menang satu-dua lapis diatasnya, baik dalam hal kemampuan berpikir maupun khususnya dalam olah kanuragan. Kini setelah sekian lama bertarung, ternyata kakak seperguruannya itu belum ada tanda-tanda kemenangan.

Karena itu Wadas Gempal begitu bernafsu untuk memojokkan Swandaru agar bisa melakukan serangan penghabisan yang akan mengakhiri pertarungan ini.

“Jika aku bisa menggores atau bahkan menghujamkan luwukku ke tubuh tambun ini, maka aku bisa segera bergabung dengan Kakang untuk mengakhiri pembunuh Ki Kalangan Abang itu”, desisnya dalam hati.

Karena itu ketika dalam sebuah kesempatan dimana  Swandaru sudah sulit untuk mengelak, maka tubuh Watu Gempal melesat bagai terbang dan menerkam lawannya sambil mengayunkan luwuknya yang berukuran besar. Ia yakin kali ini, gerak menghindar lawannya lebih sempit dan karena itu luwuknya pastilah bisa menjangkau tubuhnya.

Ketika terdengar dua buah ledakan dahsyat yang memekakkan telinga, Watu Gempal sama sekali tidak menghentikan geraknya, ia mempertaruhkan daya tahan tubuhnya untuk menahan sengatan cambuk berjuntai panjang yang sudah beberapa kali melukainya. Ia menimbang bahwa saat ini lawannya dalam keadaan tersudut, sulit untuk menghindar dan karena itu ia tidak mau melepaskan kesempatan itu sama sekali.
Terasa dua buah sengatan tajam di pinggang dan pundak kiri-nya, tetapi Watu Gempal benar-benar tidak berhenti. Tubuh raksasanya-nya meluncur deras tak terbendung menggempur lawannya.

Swandaru menyadari bahwa saat ini ia tidak mungkin bisa menghindar lagi kesamping. Tetapi ia telah mencoba melakukan petunjuk dari gurunya, bahwa dalam keadaan terjepit seperti ini maka ia harus memancing perhatian lawan dengan hentakkan cambuk yang berbunyi sangat keras, sebelum kemudian ia kerahkan seluruh tenaga cadangannya itu untuk menggetarkan udara sekitarnya.

Maka iapun tidak berniat untuk menghindar lagi. Keduanya benar-benar dalam keadaan tanpa pilihan selain saling berbenturan.

Ketika tubuh raksasa itu terus meluncur deras kearahnya tanpa merasakan dua ledakan cambuk sebelumnya, saat itulah cambuk di tangan kanan Swandaru melakukan gerak sendal pancing sambil mengerahkan segenap tenaga cadangannya hingga ke puncak. Sebuah getaran dahsyat tersalur melalui cambuk berjuntai panjang itu dan membelah udara malam dan mengenai dada kiri Watu Gempal.

Betapa terperanjatnya hati Watu Gempal ketika ledakan cambuk terakhir yang lirih hampir tak bersuara itu ternyata justru membawa gelombang besar yang menekan perasaan dan daya pikirnya. Begitu dahsyat dan menyengat sehingga hampir saja ia terpelanting.

Tetapi raksasa itu mempunyai daya tahan yang luar biasa, tubuhnya yang sedang melayang di udara itu sempat menggeliat akibat menahan pedihnya sengatan ujung cambuk yang tanpa bunyi itu. Tetapi gerakan itu ternyata terus meluncur dan jaraknya bahkan sudah sedemikian dekat dengan lawannya. Hampir bersamaan dengan ledakan cambuk yang lirih itu, tangannya yang memegang luwuk besar itu berkelebat mengancam dada Swandaru.

Semua itu terjadi dalam waktu yang teramat cepat dan bahkan hampir tanpa selisih waktu.

Udara malam di halaman banjar itu dipecahkan oleh jerit kesakitan panjang dari Watu Gempal, sementara sebuah desah kesakitan yang menyayat terlontar dari mulut Swandaru.

Kedua tubuh yang berukuran lebih besar dari laki-laki dewasa pada umumnya itu terlihat ambruk ke tanah dengan posisi yang berbeda-beda.

Pada saat-saat terakhir setelah melontarkan serangan, Swandaru berusaha menggeliat dan melakukan sebuah egosan ke samping secepat yang ia mampu, sehingga terhindar dari benturan tubuh raksasa itu. Tetapi, ia tidak bisa sepenuhnya menghindari garis ayunan luwuk berapi yang berkelebat mengincar tubuhnya.

Tiba-tiba pundak kirinya seperti di sengat bara api yang luar biasa panasnya. Meskipun luka itu tidak terlalu dalam, tetapi rasa panas itu seolah tidak tertahankan sementara darah mulai mengalir dengan cukup deras.
Terdengar Swandaru menggeretakkan giginya sambil menahan rasa panas dan sakit yang menyengat. Tubuhnya kemudian terjungkal ke tanah dan sambil menggeram ia mencoba menahan darah yang mengalir deras disertai rasa panas yang menyengat. Ketika mencoba bangkit, hampir saja ia tersungkur, agaknya darah yang mengalir deras disertai rasa panas yang membara itu seolah telah menghisap seluruh tenaganya. Tubuh Swandaru terkulai diatas kedua lututnya yang bersandar di atas tanah.

Sementara itu, tubuh Watu Gempal yang melayang diudara itu meluncur tanpa bertabrakan dengan lawan sesuai harapannya. Akibatnya, tubuh itu bagaikan dilemparkan kedepan tak terkendali sehingga tersungkur ke tanah dengan kerasnya. Rasa pedih yang luar biasa akibat sengatan cambuk Swandaru itu telah membuatnya kehilangan kendali atas gerak tubuhnya.

Akibatnya raksasa itu terbanting dan bahkan terseret beberapa langkah sebelum kemudian membentur dinding pagar samping. Luwuk berapi-nya terlepas dan terlempar tidak jauh dari tubuhnya.

Dengan mengerang kesakitan Watu Gempal berusaha bangkit dan duduk di tanah. Tangannya memegangi dadanya yang terasa pepat dan bahkan nampak sebuah luka menganga yang jauh lebih besar dibanding sentuhan ujung cambuk sebelumnya. Sementara wajah dan bagian depan tubuhnya terlihat kotor oleh tanah dan bahkan hidungnya mengeluarkan darah cukup banyak akibat benturan dengan tanah.

Dengan wajah penuh darah, dada yang pepat dan luka-luka disekujur tubuhnya, raksasa itu tertatih-tatih meraih luwuknya dan berusaha berdiri. Dihampirinya Swandaru yang terduduk di tanah dengan tubuh yang terkulai seolah sudah tak bertenaga lagi.

Salam,


Bagi poro sanak-kadang FB yang ketinggalan/ belum membaca seri-seri sebelumnya, silahkan bisa menikmatinya di blog sy;  http://pudjo-riswantoro.blogspot.co.id




2 comments:

widiaxa said...

Matur-nuwun Ki-Pudjo-Riswantoro atas wedarannya,nglilir .......

widiaxa said...

Matur-nuwun Ki-Pudjo-Riswantoro atas wedarannya,nglilir .......

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...