BALADA SWANDARU GENI
Sebuah Perjalanan
Babak-17
Sebuah Perjalanan
Babak-17
Watu Gempal terkejut ketika melihat Hantu Laut terlontar mundur dengan wajah menyeringai. Ia sangat mengenal kakak seperguruannya itu dan dari wajahnya ia langsung tahu bahwa benturan itu membuat Hantu Laut terkejut sambil menahan nyeri.
Sementara nampak Kiai Garda justru melangkah maju mendekat. Ia memang sengaja memapaki kepalan tangan Hantu Laut tadi dengan mengerahkan segenap tenaganya sambil menyilangkan kedua tangannya di dada untuk menjajagi kekuatan lawan.
Akibatnya dadanya terasa sesak dan hampir saja ia terpelanting, hanya saja pengalamanannya yang luas membuat ia bisa segera memperbaiki diri dan hanya tergetar mundur setindak.
Tetapi Kiai Garda sangat sadar bahwa agaknya Hantu Laut itu juga belum mengerahkan seluruh tenaganya, sehingga akibat yang baru saja terjadi hanyalah menjadi peringatan bagi masing-masing lawan.
Sementara Hantu Laut itu segera memperbaiki diri dan kembali mengumpat-umpat keras.
“Agaknya kau memang mempunyai cukup bekal sehingga berani menentang Hantu Laut. Baiklah, kita lihat apa yang bisa kau lakukan dan jangan salahkan aku jika halaman ini akan dipenuhi mayat para pengawal Kademangan”
Hantu Laut itu segera menggerakkan tangannya memberi aba-aba kepada seluruh anak muridnya yang langsung menebar menghadapi para pengawal yang sudah mulai mengepung mereka.
Demikianlah, suasana menjadi sangat tegang dan agaknya pertempuran akan segera terjadi. Ki Demang sudah memerintahkan salah seorang pembantunya untuk memberi isyarat agar pengawal yang tadi seolah-olah menuju Kademangan segera kembali ke halaman banjar ini.
Ditengah ketegangan itu, tiba-tiba saja terdengar suara Kiai Garda cukup keras.
“ Hantu Laut, bagaimana kalau kita membatasi persoalan ini? Marilah kita selesaikan masalah ini tanpa melibatkan pengawal Kademangan maupun murid-muridmu. Aku tantang kau berperang tanding!”
Wajah Hantu Laut yang berewok itu terlihat menegang, matanya menjadi semakin merah menahan amarah. Tetapi Hantu Laut itupun sadar bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang yang berkemampuan cukup tinggi, sehingga ia tidak mau bertindak tergesa-gesa.
“Siapakah nama atau julukanmu Kiai?”, - tiba-tiba saja ia bertanya.
Kiai Garda menarik nafas dalam-dalam, ia memang sedang berusaha untuk mengurangi korban yang tidak perlu. Selain itu ia berusaha sedikit mengulur waktu sambil menunggu pengawal yang segera kembali ke halaman ini. Perlahan-lahan ia melangkah lebih maju sambil menjawab.
“Hantu Laut, kakek guruku memang berasal dari Gunung Kidul. Tetapi aku sendiri sudah cukup lama tinggal di lereng bukit Muria. Aku tidak mempunyai sebutan atau julukan, orang biasanya langsung memanggil namaku, Kiai Garda"
Wajah Hantu Laut itu terlihat terkejut, demikian juga dengan wajah adik seperguruannya Watu Gempal, agaknya nama itu mempunyai pengaruh atas diri mereka atau paling tidak pernah di dengarnya.
Dengan wajah penasaran Hantu Laut itu maju mendekati Kiai Garda sambil bertanya.
“Kiai, apakah kau yang pernah berkunjung ke Goa Kalangan dan mengobrak-abrik serta membunuh pimpinan gerombolan disana?”
Kiai Garda mengerutkan keningnya sebelum kemudian menjawab dengan suara jelas.
Kiai Garda mengerutkan keningnya sebelum kemudian menjawab dengan suara jelas.
“Kalau yang kau maksudkan adalah Ki Kalangan Abang yang tinggal di Goa Kalangan, ya, memang aku pernah kesana dan dengan terpaksa harus membunuhnya karena kalau tidak akulah yang akan terbunuh. Apakah kau ada hubungan dengan orang itu Hantu Laut?”
Mendengar jawaban Kiai Garda itu, Hantu Laut justru tertawa berkepanjangan sementara adik seperguruannya berulang kali menggeram.
“Ya, aku memang mempunyai hubungan dengan si muka bopeng Kalangan Abang itu. Hubungan kami adalah sebagai musuh bebuyutan dalam hal perebutan kekuasaan untuk menguasai daerah sekitar Kalangan sementara ia justru ingin merebut kekuasaanku sepanjang pesisir utara”, - disela-sela tertawanya Hantu Laut itu masih sempat menjawab pertanyaan Kiai Garda.
“Dulu kami pernah bertarung dan sama-sama terluka parah dan bahkan hampir mati. Tetapi setelah mesu diri selama tiga tahun ini, ternyata si muka bopeng itu malah sudah mati ditanganmu. Maka biarlah hari ini aku menguji ilmuku dengan cara membunuhmu”, - seketika tertawanya lenyap dan digantikan suara yang menyeramkan.
Belum lagi getar suara itu hilang, tiba-tiba terdengar suara gemuruh yang memperdengarkan suara langkah kaki puluhan orang disertai teriakan-teriakan. Ternyata para pengawal yang tadi hendak ke Kademangan dengan cepat telah kembali ke halaman banjar padukuhan itu dan bergabung dengan teman-temannya untuk melakukan pengepungan.
Hantu Laut dan adik seperguruannya yang bernama Watu Gempal itu segera tersadar bahwa agaknya tipu muslihat mereka untuk memecah kekuatan lawan tidak berhasil. Tetapi hal itu sama sekali tidak membuat hati mereka ciut, bahkan kemarahannya semakin menyala-nyala.
Tangan hantu itu segera naik keatas memberi aba-aba sambil berteriak keras.
“Jangan ragu, bunuh semua yang berani melawan kita”
Aba-aba itu seolah-olah juga menjadi peringatan bagi para pengawal untuk merapatkan pengepungan meskipun Ki Demang belum meneriakkan perintah.
Sementara Kiai Garda melangkah lebih maju mendekati Hantu Laut dan bermaksud membatasi gerak hantu itu, tiba-tiba halaman itu dipenuhi beberapa jerit kesakitan disusul robohnya dua orang pengawal.
Ternyata Watu Gempal yang sejak awal hanya menggeram sudah tidak bisa menahan diri dan langsung mengayunkan kaki dan tangannya tanpa menunggu aba-aba Hantu Laut itu selesai diucapkan. Dua orang pengawal yang berdiri didekatnya menjadi sasaran dan tanpa sempat mengelak dada kedua pengawal itu menjadi pepat dan matanya berkunang-kunang sebelum kemudian roboh dan pingsan.
Ki Demang yang melihat kejadian itu menjadi sangat marah, sehingga sambil mengacungkan pedangnya ia berteriak memberi aba-aba.
“Jangan gentar, kita lawan gerombolan ini sampai titik darah penghabisan”
Para pengawal yang sudah memegang pedang terhunus itu menjadi marah melihat dua temannya roboh. Segera pedang mereka terayun-ayun melakukan penyerangan kepada Watu Gempal dan bermaksud mengepungnya dalam lingkaran yang lebih kecil.
Tetapi usaha itu langsung buyar ketika lima sosok bayangan yang dua diantaranya adalah anak termuda Ki Demang ikut melibatkan diri. Maka halaman banjar yang sebenarnya cukup luas itu menjadi terasa sempit serta kisruh karena terjadi beberapa lingkaran pertempuran.
Hal ini justru sangat tidak menguntungkan bagi para pengawal, karena Watu Gempal seolah mendapatkan kesempatan untuk melakukan pembantaian. Dengan tanpa ragu sama sekali kaki dan tangan adik seperguruan Hantu Laut itu bergerak cepat dan akibatnya pedang ataupun senjata yang terayun ke arahnya justru terpental balik.
Agaknya ia mampu membaca gerak serangan para pengawal dan mendahuluinya sehingga dalam waktu yang singkat beberapa pengawal kembali roboh.
Anak Ki Demang yang tertua dan baru saja hadir di halaman itu setelah membatalkan perjalanannya ke Kademangan segera meneriakkan aba-aba.
“Jangan bingung, kita perluas dan geser pengepungan ini ke halaman samping atau bahkan ke jalanan di depan banjar ini!”
Kiai Garda yang melihat kesulitan para pengawal khususnya yang berhadapan dengan Watu Gempal menjadi gelisah. Ia tidak ingin membuang-buang waktu sehingga korban bertambah banyak. Dari mulutnya terdengar perintah untuk ketiga muridnya agar segera terlibat, sementara tubuhnya sendiri langsung melesat melakukan penyerangan terhadap Hantu Laut yang segera menyambutnya dengan penuh gairah.
Ketiga murid Kiai Garda itu segera menghambur ke halaman dan bermaksud untuk melakukan pengeroyokan kepada Watu Gempal. Tetapi salah seorang murid Kiai Garda itu justru tertahan oleh salah seorang murid Hantu laut yang langsung melibatnya dengan keras.
Beberapa murid Hantu Laut lainnya yang juga sudah terkepung segera mencabut senjatanya dan bergerak sebat memecahkan kepungan serta mencari mangsa. Tetapi jumlah pengawal memang terlalu banyak dan bahkan pelan-pelan para pengawal itu bisa menggeser lingkaran pertempuran itu ke halaman samping.
Dua orang murid Kiai Garda dengan cepat menyesuaikan diri dan mulai memimpin pengepungan terhadap Watu Gempal di halaman depan banjar. Secara bergantian mereka mengatur penyerangan dan sedikit memperlebar pengepungan agar bisa memanfaatkan jangkauan senjata pedang maupun tombak para pengawal.
Tetapi agaknya hal itu juga tidak terlalu berpengaruh, karena Watu Gempal mampu bergerak dengan cepat dan lincah menjangkau kepungan. Tinggi dan berat badannya seolah tidak menghalangi raksasa itu untuk mampu berloncatan sambil mengayunkan tangan dan kakinya, sehingga para pengawal masih saja ada yang tumbang sebelum digantikan oleh pengawal yang lain.
Demikianlah, telah terjadi beberapa lingkaran pertempuran di halaman depan dan halaman samping banjar padukuhan itu. Ki Demang dan anaknya yang tertua memilih ikut melakukan penyerangan terhadap Watu Gempal dan menyerahkan pengepungan lainnya kepada Ki Jagabaya dan para pengawal termasuk pengepungan terhadap kedua anaknya yang telah menjadi murid Hantu Laut itu.
Tetapi jumlah yang banyak ternyata justru membuat Watu Gempal itu menjadi semakin garang. Ia seolah sedang menemukan kegemarannya dan menyalurkan kemarahannya itu dengan ayunan tangan dan tendangan yang mengundang maut.
Kiai Garda yang terlibat dalam pertarungan dengan Hantu Laut itu masih sempat mengamati jalannya lingkaran pertempuran di halaman itu. Kegelisahannya semakin meningkat, meskipun ia tidak mengkuatirkan lingkaran pertempuran yang lain, tetapi keadaan muridnya dan para pengawal yang mengepung Watu Gempal benar-benar mencekam. Korban dari para pengawal secara bergantian terus berjatuhan padahal raksasa itu masih belum menggunakan senjatanya.
Terpaksa Kiai Garda meningkatkan kemampuannya dengan cepat agar bisa menyelesaikan pertarungan melawan hantu ini sehingga bisa membantu lingkaran pertempuran yang lain.
Tetapi Hantu Laut benar-benar bukan sekedar nama kosong, seberapapun Kiai Garda meningkatkan kemampuan ia masih juga mampu mengimbanginya.
Ditengah suasana yang mencekam dan kegelisahan Kiai Garda yang meningkat, tiba-tiba saja udara di atas halaman banjar itu kembali dipecahkan oleh tertawa yang gemuruh.
Meskipun suara tertawa itu tidak dilambari ajian Gelap Ngampar, tetapi suara itu sungguh mengganggu siapapun yang sedang bertempur di halaman itu. Suara tertawa itu terdengar keras tetapi sangat sumbang, dan bahkan kadang terputus-putus.
“Setan alas, siapa yang berani main gila disini!”, - terdengar Watu Gempal berteriak.
Suara sumbang itu berhenti sejenak digantikan suara terbatuk-batuk kecil, agaknya sumber suara itu merasa tenggorokannya agak serak setelah memaksakan diri untuk mengeluarkan suara tertawa yang cukup keras.
“Hai, raksasa dungu, apakah kau tidak mengenal aku?”, - terdengar suara keras tapi serak.
Bukan main panasnya rasa hati Watu Gempal mendengar jawaban yang menyakitkan itu. Ia segera mencari sumber suara itu dan dalam waktu yang pendek ia segera mengetahui bahwa agaknya rerimbunan pohon jambu air itu telah menyembunyikan seseorang.
“Keluarlah kau dari rimbunnya pohon jambu itu, kalau tidak aku akan menyusulmu dan langsung merobek mulutmu!”, - ancaman raksasa itu terdengar menyeramkan.
Tidak terdengar jawaban dan lingkaran pertempuran seolah-olah ikut berhenti sejenak.
Tiba-tiba suasana malam yang diterangi lampu oncor dibeberapa tempat itu menangkap sosok tubuh yang meloncat dari rimbunnya pohon jambu air dan langsung menggelinding menuju halaman banjar.
Loncatan itu terlihat pelan saja layaknya orang biasa yang meloncat dari atas ke bawah. Kecepatan itu sama sekali jauh dibandingkan kecepatan Hantu Laut maupun Watu Gempal yang baru saja ditunjukkan dalam pertempuran itu.
Tetapi ketika kaki sosok bayangan itu menyentuh tanah, tiba-tiba saja bumi terasa bergetar seolah sedang di landa gempa. Juga saat tubuh itu seperti menggelinding menuju halaman banjar itu membuat hati beberapa orang berdebar-debar. Bagi yang mampu menilai, segera mereka menyadari bahwa paling tidak pendatang baru ini mempunyai tenaga cadangan yang sangat besar.
Sosok bayangan itu berdiri sambil sedikit menggoyang-goyangkan tubuhnya yang tidak terlalu tinggi. Satu yang menyolok bahwa tubuh yang dibungkus baju lurik terlihat agak sedikit bulat, sementara wajah dan pipinya sedikit gembul dan dihiasi sebuah senyuman.
Senyuman yang sangat menyakitkan dimata Watu Gempal.
“He, anak iblis, iapa kau, apakah kau memang sudah bosan hidup”,- Watu Gempal berteriak marah sambil melangkah maju.
Sosok bayangan itu kembali tersenyum.
“Sabarlah raksasa dungu, kalau kau cepat marah maka sepantasnya namamu diganti menjadi Watu Kopong”.
Watu Gempal benar-benar tidak bisa menahan diri, tanpa menjawab tubuhnya langsung melesat dan tangannya terayun mengerikan ke arah kening orang yang baru datang itu.
Terdengar sebuah benturan yang teramat keras, beberapa pengawal bahkan meloncat mundur akibat terkejut.
Salam,
No comments:
Post a Comment