BALADA SWANDARU GENI
Sebuah Perjalanan
Babak-25
Sebuah Perjalanan
Babak-25
Sebenarnyalah Swandaru sudah dalam keadaan yang sangat sulit.
Betapapun ia melapisi tubuhnya dengan ilmu kebal sejenis Tameng Waja, tetapi ia
masih merasakan tekanan hawa panas dari Watu Gempal yang juga meningkatkan ilmu
api-nya hingga tataran puncak. Butiran keringat terus membasahi tubuh dan wajah
Swandaru, sementara ia masih berusaha untuk mencari celah agar bisa melakukan
serangan balik atas raksasa itu.
Cambuknya berputar cepat untuk menahan raksasa itu mendekat sehingga
ia bisa sedikit menahan sengatan udara panas di tubuhnya. Beberapa sengatan ujung
cambuknya bahkan telah kembali melukai tubuh Watu Gempal. Namun raksasa itu
seolah tidak terpengaruh atas luka-luka itu dan terus melanda Swandaru dengan
ayunan luwuk besarnya yang menebar terus udara panas.
Sebagaimana Hantu Laut yang merupakan kakak seperguruannya, Watu
Gempal meyakini bahwa yang ia perlukan adalah membentur dan menyarangkan
senjata atau pukulan tangannya yang sudah membara itu ketubuh lawan. Cukup
sekali atau dua kali dan itu akan membawa kemenangan dipihaknya. Sementara
luka-luka cambuk yang mulai silang menyilang ditubuhnya ia abaikan karena luka
itu hanya memunculkan rasa pedih meskipun darah mulai mengalir.
Sekilas Wadas Gempal sempat melihat pertarungan antara kakak
seperguruannya melawan Kiai Garda yang belum menampakkan tanda-tanda siapa yang
lebih unggul. Ia sendiri sangat mengagumi kakak seperguruannya itu yang dalam
berbagai hal menang satu-dua lapis diatasnya, baik dalam hal kemampuan berpikir
maupun khususnya dalam olah kanuragan. Kini setelah sekian lama bertarung,
ternyata kakak seperguruannya itu belum ada tanda-tanda kemenangan.
Karena itu Wadas Gempal begitu bernafsu untuk memojokkan
Swandaru agar bisa melakukan serangan penghabisan yang akan mengakhiri
pertarungan ini.
“Jika aku bisa menggores atau bahkan menghujamkan luwukku ke
tubuh tambun ini, maka aku bisa segera bergabung dengan Kakang untuk mengakhiri
pembunuh Ki Kalangan Abang itu”, desisnya dalam hati.
Karena itu ketika dalam sebuah kesempatan dimana Swandaru sudah sulit untuk mengelak, maka tubuh
Watu Gempal melesat bagai terbang dan menerkam lawannya sambil mengayunkan
luwuknya yang berukuran besar. Ia yakin kali ini, gerak menghindar lawannya
lebih sempit dan karena itu luwuknya pastilah bisa menjangkau tubuhnya.
Ketika terdengar dua buah ledakan dahsyat yang memekakkan
telinga, Watu Gempal sama sekali tidak menghentikan geraknya, ia mempertaruhkan
daya tahan tubuhnya untuk menahan sengatan cambuk berjuntai panjang yang sudah
beberapa kali melukainya. Ia menimbang bahwa saat ini lawannya dalam keadaan
tersudut, sulit untuk menghindar dan karena itu ia tidak mau melepaskan kesempatan
itu sama sekali.
Terasa dua buah sengatan tajam di pinggang dan pundak kiri-nya,
tetapi Watu Gempal benar-benar tidak berhenti. Tubuh raksasanya-nya meluncur
deras tak terbendung menggempur lawannya.
Swandaru menyadari bahwa saat ini ia tidak mungkin bisa
menghindar lagi kesamping. Tetapi ia telah mencoba melakukan petunjuk dari
gurunya, bahwa dalam keadaan terjepit seperti ini maka ia harus memancing
perhatian lawan dengan hentakkan cambuk yang berbunyi sangat keras, sebelum
kemudian ia kerahkan seluruh tenaga cadangannya itu untuk menggetarkan udara
sekitarnya.
Maka iapun tidak berniat untuk menghindar lagi. Keduanya benar-benar
dalam keadaan tanpa pilihan selain saling berbenturan.
Ketika tubuh raksasa itu terus meluncur deras kearahnya tanpa
merasakan dua ledakan cambuk sebelumnya, saat itulah cambuk di tangan kanan
Swandaru melakukan gerak sendal pancing sambil mengerahkan segenap tenaga
cadangannya hingga ke puncak. Sebuah getaran dahsyat tersalur melalui cambuk
berjuntai panjang itu dan membelah udara malam dan mengenai dada kiri Watu
Gempal.
Betapa terperanjatnya hati Watu Gempal ketika ledakan cambuk
terakhir yang lirih hampir tak bersuara itu ternyata justru membawa gelombang
besar yang menekan perasaan dan daya pikirnya. Begitu dahsyat dan menyengat
sehingga hampir saja ia terpelanting.
Tetapi raksasa itu mempunyai daya tahan yang luar biasa, tubuhnya
yang sedang melayang di udara itu sempat menggeliat akibat menahan pedihnya
sengatan ujung cambuk yang tanpa bunyi itu. Tetapi gerakan itu ternyata terus meluncur
dan jaraknya bahkan sudah sedemikian dekat dengan lawannya. Hampir bersamaan
dengan ledakan cambuk yang lirih itu, tangannya yang memegang luwuk besar itu berkelebat
mengancam dada Swandaru.
Semua itu terjadi dalam waktu yang teramat cepat dan bahkan
hampir tanpa selisih waktu.
Udara malam di halaman banjar itu dipecahkan oleh jerit
kesakitan panjang dari Watu Gempal, sementara sebuah desah kesakitan yang
menyayat terlontar dari mulut Swandaru.
Kedua tubuh yang berukuran lebih besar dari laki-laki dewasa
pada umumnya itu terlihat ambruk ke tanah dengan posisi yang berbeda-beda.
Pada saat-saat terakhir setelah melontarkan serangan, Swandaru
berusaha menggeliat dan melakukan sebuah egosan ke samping secepat yang ia
mampu, sehingga terhindar dari benturan tubuh raksasa itu. Tetapi, ia tidak
bisa sepenuhnya menghindari garis ayunan luwuk berapi yang berkelebat mengincar
tubuhnya.
Tiba-tiba pundak kirinya seperti di sengat bara api yang luar
biasa panasnya. Meskipun luka itu tidak terlalu dalam, tetapi rasa panas itu
seolah tidak tertahankan sementara darah mulai mengalir dengan cukup deras.
Terdengar Swandaru menggeretakkan giginya sambil menahan rasa panas
dan sakit yang menyengat. Tubuhnya kemudian terjungkal ke tanah dan sambil
menggeram ia mencoba menahan darah yang mengalir deras disertai rasa panas yang
menyengat. Ketika mencoba bangkit, hampir saja ia tersungkur, agaknya darah
yang mengalir deras disertai rasa panas yang membara itu seolah telah menghisap
seluruh tenaganya. Tubuh Swandaru terkulai diatas kedua lututnya yang bersandar
di atas tanah.
Sementara itu, tubuh Watu Gempal yang melayang diudara itu
meluncur tanpa bertabrakan dengan lawan sesuai harapannya. Akibatnya, tubuh itu
bagaikan dilemparkan kedepan tak terkendali sehingga tersungkur ke tanah dengan
kerasnya. Rasa pedih yang luar biasa akibat sengatan cambuk Swandaru itu telah
membuatnya kehilangan kendali atas gerak tubuhnya.
Akibatnya raksasa itu terbanting dan bahkan terseret beberapa
langkah sebelum kemudian membentur dinding pagar samping. Luwuk berapi-nya
terlepas dan terlempar tidak jauh dari tubuhnya.
Dengan mengerang kesakitan Watu Gempal berusaha bangkit dan
duduk di tanah. Tangannya memegangi dadanya yang terasa pepat dan bahkan nampak
sebuah luka menganga yang jauh lebih besar dibanding sentuhan ujung cambuk
sebelumnya. Sementara wajah dan bagian depan tubuhnya terlihat kotor oleh tanah
dan bahkan hidungnya mengeluarkan darah cukup banyak akibat benturan dengan
tanah.
Dengan wajah penuh darah, dada yang pepat dan luka-luka
disekujur tubuhnya, raksasa itu tertatih-tatih meraih luwuknya dan berusaha
berdiri. Dihampirinya Swandaru yang terduduk di tanah dengan tubuh yang
terkulai seolah sudah tak bertenaga lagi.
Salam,
Bagi poro sanak-kadang FB yang ketinggalan/ belum membaca
seri-seri sebelumnya, silahkan bisa menikmatinya di blog sy; http://pudjo-riswantoro.blogspot.co.id
2 comments:
Matur-nuwun Ki-Pudjo-Riswantoro atas wedarannya,nglilir .......
Matur-nuwun Ki-Pudjo-Riswantoro atas wedarannya,nglilir .......
Post a Comment