Saturday, April 1, 2017

BALADA SWANDARU GENI - Sebuah Perjalanan - Babak-21

BALADA SWANDARU GENI
Sebuah Perjalanan
Babak-21

Keduanya memang mempunyai keyakinan diri yang tinggi dan tidak hanya mengandalkan tenaga besar. Masih banyak ilmu lain yang tertimbun dalam diri dan ini saat yang tepat untuk mengungkapnya dan menundukkan lawan.
Sambil mempersiapkan diri untuk memasuki pertarungan lebih lanjut Swandaru mulai melindungi dirinya dengan ilmu sejenis Tameng Waja yang selama ini sudah mulai dikuasainya meskipun belum terlalu baik. Ia sadar bahwa jika lengah maka kekuatan raksasa itu akan benar-benar mampu meremukkan tulang-tulangnya.
Malam yang dipenuhi dengan teriak dan jerit kesakitan itu kembali dipecahkan oleh pekikan yang sangat keras dari Watu Gempal. Swandaru terperanjat ketika dengan gerak yang sangat cepat Watu Gempal sudah melompat dan kedua tangannya terayun-ayun bergantian hendak menyambar kening dan dadanya. Gerak itu dimata Swandaru memang terlalu cepat dan matanya sedikit terlambat untuk menangkapnya secara jelas. Tetapi pekikan, kebiasaan menggeram dan ayunan tangan raksasa yang senantiasa menimbulkan kesiur angin tajam itu justru membantu Swandaru untuk menentukan arah menghindar.
Tanpa berpikir panjang Swandaru segera bergeser ke kiri beberapa langkah sambil kedua tangannya melakukan tolakan kesamping berulang-ulang. Gerakan itu dilakukan dengan cepat dan dilambari kekuatan yang besar. Akibatnya tak terhindarkan, kembali terjadi benturan kekuatan yang sangat besar dan membuat keduanya sama-sama terperanjat.
Watu Gempal merasa betapa tangannya bagaikan membentur dinding yang sangat tebal dan bahkan terpental sebelum mengenai tubuh fisik lawannya. Pengerahan tenaga yang semakin besar justru membuatnya terpental ke belakang dengan lebih keras.
“Gila, agaknya kau berlindung di balik ilmu kebal”, - geram raksasa itu semakin marah.
Sebaliknya Swandaru juga terkejut bukan kepalang, meskipun ia sudah melapisi tubuhnya dengan ajian sejenis Tameng Waja dan kekuatan benturan itu tidak terlalu menggetarkannya lagi, tetapi ia merasakan ada udara panas yang merambat menyerang tubuhnya.
Segera Swandaru menarik nafas dalam-dalam melalui hidungnya dengan cepat dan menahannya di dada, sesaat kemudian ia menyalurkan tenaga cadangannya ke bagian-bagian tubuh tertentu sehingga terbebaskan dari rasa panas yang menggigit.
Semua kejadian itu terjadi dalam waktu yang sekejab, sehingga ketika Watu Gempal sudah memperbaiki diri dan bersiap menyerang, maka Swandaru pun sudah bersiaga dengan kewaspadaan yang lebih tinggi.
“Bukan main, tenaga yang sedemikian besar ini masih dilapisi dengan ilmu api”, - diam-diam hati Swandaru cukup bergetar.
Tetapi Swandaru sendiri adalah seorang yang mempunyai keyakinan tinggi dan sama sekali tidak merasa dibawah kemampuan raksasa itu.
Demikianlah, dengan gerakan yang jauh lebih cepat dari sebelumnya Watu Gempal kembali memburu Swandaru sambil membangkitkan ilmu api sebagaimana yang dikuasai kakak seperguruannya. Serangannya mengalir dari segala arah dengan pengerahan tenaga cadangan yang semakin memuncak. Ia bagaikan burung elang raksasa yang menyambar-nyambar dengan kuku tajamnya yang siap mencengkeram sementara sayapnya yang terkepak lebar menyebarkan udara panas yang semakin lama semakin menyengat.
Sebenarnya Swandaru harus mengakui bahwa kecepatan gerak lawannya ini cukup menyulitkannya, apalagi kini disertai udara panas yang menyebar dan membakar udara disekitarnya.
“Agaknya kecepatan raksasa ini tidak dibawah Pandan Wangi, meskipun masih agak jauh jika dibandingkan dengan kecepatan kakang Agung Sedayu”, - Swandaru masih sempat membuat penilaian atas lawannya.
Terpaksa ia harus bekerja lebih keras dengan mengandalkan ilmu kebal dan meningkatkan tenaga cadangannya secara terus-menerus untuk menahan gempuran lawan. Dengan tidak kalah kerasnya Swandaru menyambut atau menolak serangan sambil terus mengawasi gerak lawan untuk mencari kelemahannya. Ia tak ubahnya seekor banteng yang tangguh dan senantiasa merunduk, siap menyambut lawan dengan kedua tanduknya yang tajam.
Sementara itu di sudut-sudut bangunan banjar itu ada beberapa pengawal yang sengaja tidak melibatkan diri dalam pertempuran itu. Mereka bertugas untuk menjaga bangunan banjar itu agar tidak ada musuh yang terlepas dan masuk ke dalam, apalagi di gandok dalam ada menantu Ki Demang yang memang menjadi incaran Hantu Laut dan anak muridnya.
Diantaranya adalah seseorang berumur setengah baya yang beberapa kali harus bergeser memperbaiki cara berdirinya karena agaknya pinggangnya masih mengalami cedera. Ia adalah penunggu banjar yang menerima Swandaru sejak awal kedatangannya.
“Tidak kusangka Ki Gupala yang bertubuh gemuk itu mempunyai kemampuan sedemikian tinggi. Tubuhnya yang sedikit gemuk itu mampu menahan gerak raksasa adik seperguruan Hantu Laut itu”, - gumamnya pada diri sendiri penuh kekaguman.
Sementara salah seorang pengawal yang berdiri di sebelahnya sempat berbisik.
“Apakah benar ia saudaramu Ki”, - tanyanya pelan.
Penunggu banjar itu terlihat termangu-mangu, sejenak kemudian ia menjawab juga dengan berbisik.
“Ya, ia memang saudaraku. Saudara teramat jauh”
Pengawal yang bertanya itu mengerutkan keningnya, tetapi ia kemudian memilih diam.
Keriuhan malam itu kembali dipecahkan oleh teriakan-teriakan keras terutama di lingkaran pertempuran yang melibatkan para pengawal. Agaknya kemampuan murid-murid Hantu Laut itu sudah hampir melewati batasnya. Serangan dari tiga murid Kiai Garda yang begitu terarah membuat mereka harus memeras keringat, sementara kesempatan untuk menghindar semakin kecil akibat sambaran-sambaran senjata para pengawal yang seolah tiada henti dan menutup geraknya.
Tubuh murid-murid Hantu Laut itu sudah dihiasi banyak goresan dan darah yang merembet terus dari luka itu. Betapapun kuatnya keinginan untuk melawan, tetapi mereka harus melihat kenyataan bahwa semakin lama tubuh mereka semakin lemah. Banyaknya darah yang keluar membuat tubuh mereka semakin melemah sementara tekanan dari lawan-lawannya yang berjumlah banyak itu justru semakin kuat.
Hal itu terjadi di semua lingkaran yang melibatkan murid-murid Hantu Laut itu.
Ketiga murid Kiai Garda yang melihat keadaan lawan-lawan mereka yang sudah melemah itu, segera mengurangi tekanan.
“Menyerahlah, tak ada gunanya kau terus melawan”,- kata salah seorang murid Kiai Garda itu -,”Lihatlah, bahkan gurumu yang berjuluk Hantu Laut itu tidak akan menang melawan guruku”
“Persetan”, - salah seorang murid Hantu Laut itu justru mengumpat.
Jawaban yang berupa umpatan dari murid Hantu Laut itu membuat kemarahan para pengawal semakin meledak tak tertahankan. Pertempuran yang sudah berjalan sekian lama itu membuat darah mereka sedemikian panas, apalagi beberapa kawan mereka tampaknya sudah meregang nyawa. Akibatnya perasaan marah itu tertumpah bagaikan air bah yang melibas dan menerjang murid-murid Hantu Laut itu.
Sabetan pedang dan tusukan tombak secara terus menerus melanda tanpa henti meskipun tubuh murid-murid Hantu Laut itu sudah sedemikian lemah dan bahkan mulai tidak mampu menangkis ataupun menghindar.
“Tahan, tunggu!”, - teriak murid Kiai Garda berulang-ulang mencoba menahan arus serangan para pengawal yang diliputi kemarahan.
Tetapi suaranya seolah tertelan keriuhan dan gerak para pengawal yang benar-benar tak tertahankan. Bahkan terhadap kedua anak termuda Ki Demang Krikilanpun para pengawal sudah tidak menahan diri lagi.
Satu persatu kelima murid Hantu laut itu roboh di rajam puluhan senjata yang menggores dan menusuk tubuhnya. Disaat-saat terakhir, murid tertua Kiai Garda yang mencoba menahan arus serangan para pengawal itu sempat melihat betapa muncul sorot ketakutan dan rasa jeri pada murid Hantu Laut itu. Itulah sifat manusiawi yang terkadang muncul disaat-saat terakhirnya.
Tetapi murid-murid Kiai Garda itu memang sudah tidak mampu menahan kemarahan para pengawal.
Suasana di halaman banjar itu terasa begitu mencekam dan mengerikan. Terjadi pembantaian yang tak mampu dicegah oleh siapapun, kelima orang murid-murid Hantu Laut itu roboh dengan luka arang kranjang termasuk kedua anak Ki Demang.
Murid tertua Kiai Garda terlihat menundukkan kepalanya dalam.

Salam,

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...