Sambil berolah-raga, tadi pagi saya mendengarkan dialog di radio “Smart FM” tentang etos kerja. Ada yang menarik diungkapkan oleh “Guru Etos” Indonesia pak Johnson S., yaitu tentang “punishment”.
Diceritakan seorang kepala sekolah di sebuah SMA, yang memberikan hukuman atas ulah nakal para muridnya. Alih-alih menerapkan hukuman fisik ‘ala IPDN’, beliau justru membawa semua murid terhukum ini masuk ke Perpustakaan. Kemudian masing2 murid diwajibkan untuk membaca buku dan kemudian meringkas atau membuat sypnosis-nya. Sang kepala sekolah ikut menunggui kerja murid2 terhukum ini. Ketika bel sekolah berdentang tanda istirahat/makan siang, maka yang belum selesai dilarang keluar dan tetap kerja hingga selesai. Hebatnya, sang kepala sekolah tetap nunggu dan ikut menunda makan siangnya hingga semua murid2 terhukum ini selesai semua dengan pekerjaannya.
Betapa beberapa tahun kemudian, anak2 terhukum itu baru dapat memahami dan sangat merasakan makna hukuman itu serta kemudian menaruh hormat pada sang kepala sekolah yang sekarang sudah pensiun. Bahwa hukuman yang diberikan adalah semata-mata atas dasar cinta. Bahwa hukuman yang diberikan adalah tetap dalam kerangka mendidik anak2 kita agar tetap berjalan/ berkembang maju meski dengan sedikit tekanan (lembut).
Saya jadi teringat masa kecil dulu. Rasanya banyak dari kita pernah mengalaminya, yaitu ketika terlambat masuk kelas kita harus berdiri dipojok dengan kaki terangkat satu. Meski capek, tetapi yang lebih terasa dan membekas adalah rasa malu yang besar karena semua tatapan mata tertuju kekita. Ada yang tertawa-tawa sinis, ada pula tatap mata kasihan yang sebetulnya tidak perlu. Kita berjanji untuk lain kali tidak mengulanginya. Tapi sudahkah kita menyadari atau adakah makna dari hukuman itu? Apakah kita lebih pintar kemudian kita lebih menaruh rasa hormat pada guru kita akibat hukuman itu?
Dunia pendidikan memang berkembang, ilmu psikologi dengan berbagai aspeknya juga menemukan banyak teori baru yang lebih mengena subyek didik saat ini. Semuanya serba berubah, dan kitapun sedang dan harus berubah. Seandainya saat ini saya berbuat salah dan boleh memilih, saya ingin hukumanya adalah seperti yang diberikan bapak kepala sekolah SMA itu; “ a loving-punishment”
Loving you all as always,
Salam,
ries
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
BSG - BAB.V - AUP - Babak-16
BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...
-
“ Aku kira memang ini Glugut Pring Wulung “, - Ki Widura menjawab meskipun dengan sedikit ragu,” – memang gejala yang muncul masih belum n...
-
BALADA SWANDARU GENI Bab IV: Hilangnya Seorang Swandaru Geni Babak – 03 Sementara itu langit di bumi Mataram yang sebenarnya cu...
-
Pagi itu Kademangan Sangkal Putung turun hujan meskipun tidak terlalu lebat, bahkan ketika perlahan-lahan sinar mentari mulai menampakkan ...
No comments:
Post a Comment