Sunday, May 13, 2007

" Financial Revolution "

Dahsyat!! Ungkapan ini sering terlontar dan digemakan oleh Pak Tung ( Tung Desem Waringin)yang juga pengarang buku dengan judul diatas. Pendapat pibadi saya sendiri (dengan tidak) terpaksa harus mengakui bahwa apa yang ditulis Pak Tung dibuku itu memang benar2 dahsyat. Kata ini tidak berlebihan untuk menggambarkan betapa tulisan2 Pak Tung bisa membangkitkan, menggelorakan dan bahkan membakar semangat untuk lebih berani, lebih mandiri dan lebih optimis dalam berwirausaha. Ini buku (pengarang) lokal yang membuat semangat dan motivasi saya kembali berdegup kencang.

Meskipun mungkin tidak banyak hal2 baru yang ditulis dalam buku itu, tetapi gaya dan cara memprovokasi pak Tung benar2 membuka mata kita untuk lebih peka terhadap fenomena sekitar. Dengan gamblang pak Tung menjabarkan bahwa pameo “uang bukan segala-galanya” terbantahkan oleh kenyataan bahwa “meskipun uang bukan segala-galanya, tetapi segalanya perlu uang”
Apa yang nomor satu dalam hidup kita ini? Beribadah? Keluarga? Karier? Teman? Kesenangan dan hobby? Atau apapun, semuanya adalah pilihan kita. It’s a matter of choices!

Kenyataan bahwa anugrah waktu yang 24 jam sehari itu kalau diringkas kita manfaatkan untuk 3 ranah kegiatan, yaitu:

Pertama : tidur (7-8 jam)
Kedua : bekerja 8 – 10 jam (bahkan masih ada yang rela lembur)
Ketiga : kegiatan keluarga, bersantai, sex, hobby dll (6 – 7 jam)

Bekerja menghabiskan waktu terlama (8-10 jam) yang tujuannya satu/ sama yaitu “mencari uang”. Bahwa uang itu nantinya adalah untuk kebutuhan keluarga, hobby, berlibur dan seterusnya, itu adalah azas manfaat setelah memiliki uang. Jadi uang tetaplah nomor satu.
Tentu saja tetap ada pengecualian khususnya terkait hubungan kita dengan Allah Sang Maha Pencipta alam semesta, dimana meski tidak memiliki uang, kita tetap bisa beribadah dengan baik. Tetapi sesungguhnya, dengan memiliki uang kita bisa beribadah dengan lebih baik, yaitu melalui pintu amal. Bagaimanapun juga, ketika kita bicara pada level yang sama; sama2 sholeh, sama2 khusu’ dll, maka muslim yang kaya akan lebih banyak bisa berbuat amal melalui hartanya. Kalau ada pilihan, kita tentu memilih sebagai hambaNya yang sholeh dan kaya daripada hambaNya yang sholeh dan miskin. Betul sahabat? ;-)

Sekarang ini saya mencanangkan target yang lebih jelas dalam bisnis. Juga setiap saat senantiasa meng-affirmasi diri untuk menjaga dan meningkatkan semangat dan motivasi. Bahwa; setiap hari tambah sehat – setiap hari tambah kuat – setiap hari tambah kaya. Hehe…. ;-)

Sebagai murid Anthony Robin, Pak Tung memang ahli motivasi dan pembicara nomor satu (dan sudah kaya) di Indonesia saat ini. Seminarnya selalu membakar semangat dan senantiasa mampu membangun optimisme peserta. Terlebih ada yang bertemakan “Awaken The Giant Within”. Dahsyat!! Ketika mengikuti seminar atau setelah melihat VCD-nya, saya selalu bisa mengangkat dada dan berkata “Saya pasti bisa. Saya hanya perlu mencari cara dan jalan yang benar”

Pada saat yang sama, saya bersyukur punya teman2 yang senantiasa mengingatkan/ menasehatkan pentingnya proses dalam bekerja. Bahwa uang menjadi nomor satu boleh2 saja, tetapi hakekat nomor satu tentulah terkait penggunaan uang itu sendiri. Sudahkah diperoleh dengan cara yang halal? Sudahkah dibelanjakan sesuai jalan yang diridhoi Allah? Uang memang perlu dan bahkan penting. Tetapi hakekat hidup adalah untuk beribadah kepada Allah.

Memang betul, ketika mati kita tidak akan membawa uang. Tetapi kalau boleh memilih, selain meninggalkan ilmu, amal dan anak yang sholeh/sholehah, ketika mati saya ingin meninggalkan warisan; UANG!! ;-)

Salam Dahsyat,
Ries

Thursday, May 3, 2007

"A Loving-Punishment"

Sambil berolah-raga, tadi pagi saya mendengarkan dialog di radio “Smart FM” tentang etos kerja. Ada yang menarik diungkapkan oleh “Guru Etos” Indonesia pak Johnson S., yaitu tentang “punishment”.
Diceritakan seorang kepala sekolah di sebuah SMA, yang memberikan hukuman atas ulah nakal para muridnya. Alih-alih menerapkan hukuman fisik ‘ala IPDN’, beliau justru membawa semua murid terhukum ini masuk ke Perpustakaan. Kemudian masing2 murid diwajibkan untuk membaca buku dan kemudian meringkas atau membuat sypnosis-nya. Sang kepala sekolah ikut menunggui kerja murid2 terhukum ini. Ketika bel sekolah berdentang tanda istirahat/makan siang, maka yang belum selesai dilarang keluar dan tetap kerja hingga selesai. Hebatnya, sang kepala sekolah tetap nunggu dan ikut menunda makan siangnya hingga semua murid2 terhukum ini selesai semua dengan pekerjaannya.

Betapa beberapa tahun kemudian, anak2 terhukum itu baru dapat memahami dan sangat merasakan makna hukuman itu serta kemudian menaruh hormat pada sang kepala sekolah yang sekarang sudah pensiun. Bahwa hukuman yang diberikan adalah semata-mata atas dasar cinta. Bahwa hukuman yang diberikan adalah tetap dalam kerangka mendidik anak2 kita agar tetap berjalan/ berkembang maju meski dengan sedikit tekanan (lembut).

Saya jadi teringat masa kecil dulu. Rasanya banyak dari kita pernah mengalaminya, yaitu ketika terlambat masuk kelas kita harus berdiri dipojok dengan kaki terangkat satu. Meski capek, tetapi yang lebih terasa dan membekas adalah rasa malu yang besar karena semua tatapan mata tertuju kekita. Ada yang tertawa-tawa sinis, ada pula tatap mata kasihan yang sebetulnya tidak perlu. Kita berjanji untuk lain kali tidak mengulanginya. Tapi sudahkah kita menyadari atau adakah makna dari hukuman itu? Apakah kita lebih pintar kemudian kita lebih menaruh rasa hormat pada guru kita akibat hukuman itu?

Dunia pendidikan memang berkembang, ilmu psikologi dengan berbagai aspeknya juga menemukan banyak teori baru yang lebih mengena subyek didik saat ini. Semuanya serba berubah, dan kitapun sedang dan harus berubah. Seandainya saat ini saya berbuat salah dan boleh memilih, saya ingin hukumanya adalah seperti yang diberikan bapak kepala sekolah SMA itu; “ a loving-punishment”

Loving you all as always,
Salam,
ries

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...