BALADA SWANDARU GENI
Bab 3 : Gilang Pamungkas
Babak – 16
Bab 3 : Gilang Pamungkas
Babak – 16
Rasa terkejut Ki Sekar Tawang sudah mulai mereda, kini ia menatap Pandan Wangi dengan seksama. Ada rasa kagum yang sengaja ia sembunyikan ketika melihat kemampuan dan tekad Pandan Wangi yang besar dalam melindungi anaknya maupun dalam menghadapi bahaya yang kini mengancamnya.
“Sungguh perempuan yang luar biasa. Selain wajah jelita dan kemampuan yang tinggi, Pandan Wangi mampu mempergunakan otaknya dengan sangat baik. Tekadnya yang besar untuk melindungi anaknya juga menunjukkan ia juga seorang ibu yang bertanggung-jawab. Lalu bagaimana mungkin ia bersuamikan Swandaru yang konon mudah tergoda oleh kemolekan tubuh seorang Wiyati?”, - diam-diam Ki Sekar Tawang membuat penilaian sendiri.
Tiba-tiba muncul rasa penasaran untuk menjajagi kemampuan Pandan Wangi hingga tuntas.
“Umurnya tidak selisih banyak dengan umurku. Mestinya waktu yang kita habiskan untuk mempelajari olah kanuragan juga tidak terlalu berbeda, hanya seberapakah kedalaman ilmu kita masing-masing? Biarlah aku coba untuk menggalinya hingga tuntas”, - hati Ki Sekar Tawang tiba-tiba saja berdebar-debar.
Bagi seseorang yang mendalami olah kanuragan, bertemu dan bertarung dengan lawan tangguh adalah sebuah kesempatan untuk menguji diri atas apa yang selama ini mereka pelajari. Melihat tandang Wahana yang masih berusia muda dan kini menghadapi seorang perempuan yang sedemikian tangguh, tiba-tiba hati Ki Sekar Tawang diliputi rasa penasaran untuk menguji apa yang selama ini ia dalami.
Tubuh Ki Sekar Tawang tiba-tiba saja berkelebat menyerang Pandan Wangi dengan melakukan tendangan kaki samping yang cepat dan keras. Dengan mudah Pandan Wangi bergeser keluar dari garis serangan lawan, sementara tangan kanannya justru terayun mengancam dada lawan. Sadar dadanya terancam tangan lawan, Ki Sekar Tawang sengaja mengkerutkan dadanya sambil tangan kirinya menyilang membuat perlindungan seandainya terjadi sebuah benturan. Disaat yang sama, ia segera memutar tubuhnya dengan cepat sambil kaki kirinya melakukan tendangan sabit ke arah dada Pandan Wangi.
Meskipun gerakan itu dilakukan dengan sangat cepat, tetapi Pandan Wangi tidak menjadi gugup. Ia tidak meloncat mundur melainkan justru menjatuhkan dirinya ke depan seolah hendak mendekam di atas tanah. Sesaat kemudian dengan bertumpu pada kedua tangannya yang menempel ditanah, Pandan Wangi melancarkan tendangan dengan kaki kirinya mengancam lutut samping kanan lawan.
Sebenarnya serangan Pandan Wangi ini bukanlah serangan yang mematikan, tetapi Pandan Wangi seolah bisa merasakan betapa Ki Sekar Tawang sangat terkejut dengan serangannya ini. Dengan gerak tergesa-gesa Ki Sekar Tawang menghentakkan kakinya ke tanah sehingga tubuhnya terlontar dan melayang jauh, bahkan teramat jauh.
Dalam waktu singkat, kedua orang berlainan jenis itu telah bergebrak dalam jarak yang pendek dan saling membahayakan lawan. Pandan Wangi yang sudah kembali berdiri itu sempat merasa terheran-heran.
“Kenapa serangannya meskipun cepat dan keras tetapi tidak dilambari tenaga cadangan sama sekali? Juga saat tendanganku mengancam lutut bagian dalamnya, ia nampak sangat tergesa-gesa untuk menghindari seranganku. Mungkinkah bagian itu adalah salah satu yang terlemah?”, - Pandan Wangi menduga-duga.
Pandan Wangi tidak sempat merenung lebih lama, tiba-tiba saja terdengar suara Ki Sekar Tawang dengan nada berat.
“Bagus Nyi, dalam bertarung jarak pendek aku lihat kau cukup jeli dan tangguh. Sekarang aku ingin melihat apakah kau bisa bergerak secepat dugaanku”
Demikian kalimatnya selesai, tubuh Ki Sekar Tawang langsung berkelebat menyerang dari depan. Kali ini kecepatannya benar-benar berlipat dari sebelumnya sehingga bahkan Pandan Wangi hampir saja tidak mampu mengikuti gerak serangan itu. Tetapi dari angin yang menderanya, Pandan Wangi bisa menilai bahwa serangan kali ini juga hanya digerakkan oleh tenaga wadag saja tanpa dilambari tenaga cadangan. Karena itu, sambil bergeser kesamping secepat yang ia mampu, kedua tangannya terjulur ke depan hendak memapaki serangan yang datang.
Tidak disangka Ki Sekar Tawang justru menarik kedua tangannya sehingga urung berbenturan, sementara tubuhnya berkelebat hanya beberapa jari disamping Pandan Wangi. Saat itulah dengan perhitungan yang cermat, tangan kiri Ki Sekar Tawang melakukan gerak dorongan yang langsung mengenai pundak Pandan Wangi.
Meskipun sekedar dorongan tenaga wadag, tetapi tanpa bisa dicegah tubuh Pandan Wangi terpelanting beberapa langkah ke samping dan hampir saja terjerembab ke tanah. Hanya saja Pandan Wangi sempat membuat putaran beberapa kali sebelum kemudian kakinya dengan cepat membuat keseimbangan baru.
“Ia sengaja mengejutkanku”, - desis Pandan Wangi dalam hati.
Gilang yang melihat Ibundanya sempat terpelanting menjadi berdebar-debar. Dilihatnya wajah Ibundanya itu terlihat bersungguh-sungguh. Setelah menarik nafas pendek-pendek beberapa kali dan menyimpannya di dada, Pandan Wangi tiba-tiba saja melesat cepat menyusul dan menyerang lawan. Kini ia sengaja menyalurkan kekuatan cadangannya hanya pada kaki yang menopangnya untuk bergerak cepat mengimbangi lawan. Tubuhnya bagaikan bayangan yang sulit diikuti mata wadag dan langsung mengancam lawan.
Ki Sekar Tawang yang sudah melihat gerakan Pandan Wangi ketika merobohkan anak buahnya sudah bersiap sepenuhnya. Karena itu dengan gerakan yang tidak kalah cepatnya segera ia menghindar dengan cara melontarkan tubuhnya jauh kesamping. Sadar bahwa lawannya sudah bergerak menghindar, Pandan Wangi tidak berhenti dan tubuhnya terus bergerak mengejar sambil tangannya melancarkan gerakan mengancam.
Kalau sebelumnya adalah pertarungan dalam jarak pendek, kini yang terjadi adalah lontaran-lontaran tubuh dalam jarak yang cukup jauh. Kedua orang itu seolah hendak memamerkan kecepatan gerak mereka dimana mereka saling menyerang dan menghindar secara bergantian.
Gerak Pandan Wangi yang sedemikian lincah dan cepat tak ubahnya bayangan hantu disiang hari yang terkadang begitu mengagetkan lawannya. Sementara Ki Sekar Tawang seolah merubah dirinya laksana burung Rajawali yang melayang diangkasa lalu menyambar lawan dengan kecepatan penuh sementara cakar-cakarnya mengancam tubuh lawannya.
Dada Gilang terasa berdentangan, selama ini ia cukup tahu dan sangat kagum akan kecepatan gerak ibundanya. Meskipun masih bocah kecil, tetapi sebenarnya Gilang mampu membuat penilaian bahwa dalam hal tenaga, Ayahnya adalah seorang yang mempunyai tenaga teramat besar. Tetapi dalam kecepatan gerak, agaknya Ibundanya adalah orang yang tidak tertandingi.
Kini tatkala melihat Ibundanya bertanding dalam sebuah pertarungan yang sesungguhnya, kekaguman akan kecepatan gerak Ibundanya itu semakin berlipat-lipat. Matanya hampir tidak berkedip mengikuti gerak kedua bayangan yang terlihat samar meskipun matahari bersinar terik. Kecepatan gerak keduanya melebihi kemampuan gerak mata untuk selalu bisa menangkapnya. Tetapi Gilang masih bisa mengikuti pertarungan itu paling tidak berdasarkan warna pakaian, bentuk tubuh Pandan Wangi yang ramping sementara lawannya yaitu Ki Sekar Tawang mempunyai bentuk tubuh yang lebih besar dan tegap.
“Menurut Ibunda, paman Agung Sedayu-lah yang mengajarkan ilmu bayangan itu. Kalau kecepatan gerak Ibunda saja sudah sedemikian tinggi, lalu bagaimanakah kecepatan Paman Agung Sedayu?”, - diam-diam Gilang mebuat penilaian sendiri.
Gilang terpaksa menghentikan angan-angannya ketika mendengar teriakan keras dari mulut Ibundanya maupun dari mulut lawannya, yaitu Ki Sekar Tawang. Agaknya dalam pertarungan yang sangat cepat itu tidak memungkinkan mereka untuk hanya sekedar menghindar. Dalam kondisi terdesak dan karena tidak ingin terus mundur, tiba-tiba saja tubuh Ki Sekar Tawang melejit ke atas hendak melewati tubuh Pandan Wangi yang menyerangnya bagaikan badai.
Disaat hampir melewati tubuh lawan, mata tajam Ki Sekar Tawan sempat melihat gerak tangan Pandan Wangi terayun keras ke atas melakukan sebuah gempuran. Dalam kondisi berputaran diudara, Ki Sekar Tawang tidak sempat lagi menghindar melainkan menyambut serangan itu dengan tangan kanannya sambil mempergunakan tenaga benturan itu untuk mendorong dirinya melenting lebih menjauh lagi.
Terjadilah sebuah benturan yang cukup keras.
Pandan Wangi bergeser surut tiga langkah, wajahnya terlihat memerah sementara tangan kanannya terasa panas dan buku-buku jarinya nyeri. Meskipun benturan ini hanya mengerahkan tenaga wadag belaka, tetapi kekerasan dan kekuatan yang terlontar cukup besar.
Sementara tubuh Ki Sekar Tawang terlontar cukup jauh dan ia terpaksa harus membuat putaran beberapa kali diudara sebelum kemudian mendarat di tanah dengan susah payah. Benturan ini membuat dirinya lebih yakin bahwa kemampuan Pandan Wangi tidak bisa dianggap remeh.
“Baiklah, agaknya aku tidak boleh sekedar bermain-main lagi”, - desisnya dalam hati.
Perlahan-lahan Ki Sekar Tawang melangkah maju mendekati Pandan Wangi yang menunggunya dengan kedua kaki yang terbuka lebar. Ia lalu membuka caping lebarnya dan menimang-nimang caping itu dengan kedua tangannya.
Perlahan-lahan Ki Sekar Tawang melangkah maju mendekati Pandan Wangi yang menunggunya dengan kedua kaki yang terbuka lebar. Ia lalu membuka caping lebarnya dan menimang-nimang caping itu dengan kedua tangannya.
Pandan Wangi mengerutkan keningnya, ia sadar bahwa caping lebar itu bisa sebagai senjata lempar, tetapi di tangan Ki Sekar Tawang caping itu bisa juga sebagai senjata dalam sebuah pertarungan. Tanpa sadar hampir saja Pandan Wangi meraih kedua pedang tipis di pinggangnya.
Tetapi belum sempat keduanya bergerak, di lingkaran pertempuran yang lain terdengar Ki Widura berdesis menahan pedih. Agaknya Ki Juwana sedemikian bernafsu untuk mengalahkan lawan sehingga serangannya datang secara bergelombang. Beberapa luka kecil akibat ujung cambuk Ki Widura memang sudah bersarang di beberapa bagian tubuh Ki Juwana, tetapi luka itu tidak mengurangi serangannya dan justru menambah kemarahan dan kegarangan geraknya.
Sebuah serangan susulan akhirnya memojokkan Ki Widura dan tanpa sempat menghindar, ujung tombak lawan telah menggores lengan kirinya. Darah menitik cukup deras.
Salam,
No comments:
Post a Comment